Bicara Selangkangan Perempuan di Persimpangan
Suatu sore di sebuah ruang kerja, seorang pria memulai bercandaan bernada seksis kepada rekan perempuannya dan segera disambut tawa, pun rekan perempuan lainnya. Bercandaan menjadi semakin seru ketika rekan yang lain menimpali dengan cerita pengalaman berhubungan seksual bersama pasangannya. Sesekali mengolok ukuran kemaluan dan kemampuan organ intimnya.
Bercandaan seksis, selalu mendapat tempat dan dimaknai lumrah oleh kebanyakan orang. Lalu di mana tempat bagi mereka yang risih dengan bercandaan seperti itu? Ke laut aja, mainnya kurang jauh!
Di waktu dan tempat yang berbeda, sebuah laman berita mengabarkan kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, dan tindakan asusila lainnya. Highlight berita, tentu saja menyoroti pada apa yang melatarbelakangi pelaku melakukan tindakan tersebut. Misalnya perempuan berpakaian terbuka, mengundang perhatian lelaki, dsb. Lengkap dengan ilustrasi yang menggambarkan sosok perempuan berpakaian terbuka dan menonjolkan bagian tubuhnya.
Kalimat direka, memberikan satu kesimpulan bahwa tindakan asusila terjadi karena peran korban juga. Dan sebagian dari kita, mengamini hal tersebut. Diam-diam turut menyalahkan korban. Di mana tempat bagi korban, setelah dipermalukan berkali-kali? Tutup aurat, di rumah saja!
Pada kasus yang berbeda, tindak kekerasan pada perempuan dan anak pun tak beda jauh justifikasinya. Perempuan akan selalu ditempatkan sebagai pihak yang melatarbelakangi sebuah peristiwa. Seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga, perempuan akan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Salah istrinya, suami bisa selingkuh. Istrinya tidak bisa dibilangin, makanya suami main tangan.
Dari tiga cerita di atas, perempuan selalu menjadi korban utama (tidak dipungkiri korban lelaki juga ada).
Perempuan Madura Memandang Seksualitas
Sebagai orang Madura, gue juga pernah mengalami bercandaan seksis yang sama sekali tidak lucu. Baik itu terjadi di lingkungan umum maupun secara personal. Katanya, “Wih orang Madura, rapet mulu dong dipake beberapa kali. Kan ada ramuan Madura,” atau ketika seorang sopir ojek online iseng bertanya asal saya dari mana. Mendengar jawaban Madura, reflek dia berkata, “Perempuan Madura kan pakai sarung, gampang dong masukinnya,”. Terdengar remeh temeh, tapi buat gue itu melecehkan dan sama sekali bukan omongan yang sepantasnya. Bahkan diksi kata organ intim dalam bahasa Maduramdiselewengkan menjadi becandaan yang kerap ditanyakan pada/untuk orang Madura.
Bukan cuma orang kota kok, di Madura, bercandaan seksis juga sama. Bisa ditemui di warung kopi, obrolan grup whatsapp bahkan forum kajian! Ketika anak-anak dilarang bersinggungan dengan hal berbau seksualitas, para orang dewasa justru vulgar tanpa tedeng aling-aling bicara tentang seksualitas.
Berbicara tentang seksualitas adalah hal yang tabu. Penyebabnya adalah sempitnya pemaknaan terhadap kata seks sendiri. Seks yang diyakini adalah persetubuhan. Proses persetubuhan antar laki-laki dan perempuan. Melibatkan kata seks dalam obrolan anak kecil ataupun remaja, haram!
Padahal jika merujuk kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), seks bermakna: 1 jenis kelamin; 2 hal yang berhubungan dengan alat kelamin. Kurangnya pemahaman dan penggunaan kata seks yang cenderung provokatif, menjadikannya salah persepsi.
Eh, Terus Gimana Dong?
Saat ini ada banyak yang menyerukan betapa pentingnya pendidikan seks sejak dini. Jangan keburu sensi, pahami. Apa yang bisa dipahami? Pendidikan seks sejak dini bukan berarti mengajarkan anak-anak cara bersetubuh akan tetapi mengenali lebih jauh mengenai alat kelamin dan ssitem reproduksinya. Bagaimana seorang perempuan dengan alat kelaminnya dan seorang lelaki dengan kelaminnya. Hak apa yang harus dipenuhi sebagai pemilik tubuh terhadap kelaminnya. Misalnya, perempuan ketika menghadapi masa puber yang ditandai dengan menstruasi dan perubahan pada bentuk fisik lainnya. Pada tahap berikutnya, permasalahan lain terkait kelamin: penggunaan kontrasepsi, penyakit kelamin, cara bersetubuh, dsb.
Menurut hemat gue, pemahaman tentang seks yang baik, akan ada rasa tanggung jawab dan saling menghargai kelamin satu sama lain. Pada contoh kasus yang pertama, para pelaku akan lebih peka dan memahami bahwa pengalaman seksualitas masing-masing individu itu berbeda. Apalagi jika itu berada dalam suatu forum umum dengan individu yang unik, dan beragam.
Mereka juga akan lebih terbuka dan adil memandang suatu kasus yang melibatkan perempuan dan laki-laki. Ketika ada insiden pemerkosaan, mungkin akan lebih bijak melihat dan menilai permasalahan, serta memberikan penanganan yang tepat pada korban maupun pelaku. Bukan malah mendramatisir dan menjustifikasi korban yang kerap menjadi korban lagi.
Ingat ya, menjaga kelamin lelaki (menjaga nafsunya) adalah tanggung jawabnya sendiri, bukan tanggung jawab perempuan sehingga perempuan harus berpakaian tertutup. Harus ada keadilan bagi para pemilik kelamin. Jangan tiba-tiba menjadi kaum yang tidak berdaya hanya karena melihat bentuk tubuh perempuan. Yang perlu diperbaiki adalah kontrol pikiran dan dirinyanya, bukan mengontrol orang lain harus begini dan begitu.
Tahun sudah berganti, masa iya pikirannya masih di selangkangan mulu? Hei, kamu sudah lahir ke dunia dan dunia lebih luas dari selangkangan perempuan!