Cabai Madura: Sekelumit Cerita Tentang Rasa, Tradisi dan Potensinya
Cabai Madura tidak sepopuler diksi lain yang kerap diidentikkan dengan pulau Madura. Semisal garam, kerapan sapi atau julukan lain yang mencirikan pulau ini. Padahal nih, cabai punya makna yang cukup penting bagi kearifan lokal Madura. Seperti yang pernah dibahas sebelumnya dalam tulisan ini (Ne’ kene’ cabbhi lete’). Dalam kesusatraan Madura, diksi cabai banyak diserap menjadi karya sastra pengalem, parebhasan, saloka. Ia menjadi alat manusia Madura untuk berbahasa, memuji, dan menyampaikan pesan-pesan penting.
Saat menyelisik lebih jauh, tanaman yang termasuk dalam kelompok buah-buahan ini ternyata punya cerita yang menarik dan memiliki keterkaitan dengan kearifan lokal orang Madura. Cabai menjadi bagian dari olahan khas sekaligus menjadi simbol tradisi hingga dipercaya sebagai penangkal hujan. Mari kita bahas satu persatu.
Cabai rawit / Cabbhi Lété’
Kondisi tanah pulau Madura yang cenderung kering membuat tanaman yang tumbuh di daerah ini cukup spesifik. Salah satunya cabai rawit yang mudah tumbuh di tanah yang kering dan suhu pulau Madura yang panas. Jenis cabai kecil ini memiliki rasa pedas yang khas. Cabai pedas ini banyak diolah untuk aneka sambal pada kuliner khas Madura seperti sambal pencit, sambal jerenges, sambal petis, sambal mentah, dan sambal lainnya.
Cabai rawit juga digunakan dalam rangkaian prosesi Kerapan Sapi. Sebelum bertanding, biasanya pemilik sapi akan mengolesi seluruh badan sapi dengan cabai agar sapi kerapan dapat berlari kencang. Cara ini cukup kontroversial karena dianggap menyiksa hewan sehingga prakteknya mulai banyak ditinggalkan.
Cabai merah / Cabbhi rajâ / Cabbhi méra
Karena rasanya tidak sepedas cabai rawit, cabai merah menjadi bumbu dasar untuk olahan lebaran seperti ayam palappa méra (ayam bumbu merah). Ayam bumbu merah menjadi menu utama untuk hantaran lebaran atau ter-ater. Melengkapi nasi tumpeng kecil dan aneka kue tradisional.
Cabai merah juga dijadikan simbol bulan Jhinpeddis atau bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Bulan Jhinpeddis dianggap bulan penuh berkah dan diperingati dengan bersedekah tajhin peddhis. Tajhin Peddhis atau bubur pedas merupakan bubur putih dengan taburan kacang goreng, irisan telor dadar, seledri dan irisan cabai merah.
Cabai merah dan rawit juga menjadi simbol pada tradisi pernikahan adat Madura. Cabai menjadi bagian dari sajian untuk menangkal hujan. Sajian berupa nasi tumpeng yang dibungkus daun pisang lalu ditancapkan sebatang lidi yang berisi cabai merah, cabai rawit, bawang merah dan bawang putih. Sifat cabai dan bawang yang pedas dan panas, dipercaya bisa membuat hujan takut turun. Sementara lidi dimaknai sebagai bagian dari sapu lidi dengan maksud dipercayai sebagai pembersih. Maka diharapkan mendung yang ada di langit akan bersih dan kembali cerah.
Cabai jamu / Cabbhi jhâmo
Di Pulau Madura cabai jawa atau cabai jamu cukup populer sebagai obat herbal atau jamu. Orang Madura menyebutnya dengan sebutan cabbhi jharno, cabbhi ongghu dan cabbhi solah. Jenis cabai yang tumbuh menjalar ini sering digunakan sebagai bahan baku utama obat tradisional. Cabai Jamu memiliki rasa pedas yang tajam dan khas sehingga pengolahan cabai jenis ini berbeda dengan cabai pada umumnya. Sebelum diolah menjadi bahan baku obat, cabai yang sudah matang (berwarna merah) akan direbus, kemudian dijemur hingga berwarna kehitaman. Bahan baku inilah yang kemudian diolah sebagai berbagai macam obat. Baik berupa bubuk, cair atau campuran dengan bahan obat lainnya.
Seorang perempuan Madura, Jamilatus Sa’diyah, S.Pd., M.Si, pernah menjadikan cabai jamu sebagai objek penelitian untuk studi pasca-sarjananya. Penelitian yang dilakukannya untuk mengetahui diversitas cabai jamu berdasarkan morfologi dan kandungan fitokomianya.
“Berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan, cabai jawa yang tumbuh di sepanjang pulau Madura memiliki ukuran morfologi daun serta amentum (buah majemuk) yang berbeda-beda. Kandungan fitokimia (piperine dan minyak atsiri) pada cabai jawa di pulau Madura juga berbeda-beda.” Ujar perempuan yang kini menjadi dosen di Universitas Negeri Makassar ini.
Cabai jamu merupakan tanaman asli Indonesia yang memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai anti-oksidan, anti-inflamasi, anti-depresan, karminatif, anti-hipertensi, anti-tumor, anti-mikroba, dll. Cabai ini juga digunakan sebagai ramuan penghangat badan yang dicampur kopi, teh, dan susu. Selain dikonsumsi oleh manusia, cabai jenis ini juga kerap dijadikan ramuan untuk sapi yang akan mengikuti pertandingan Kerapan Sapi.
“Karena potensinya sebagai tanaman herbal, maka kebutuhan cabai jamu di pasar lokal dan internasional juga sangat besar. Pada tahun 2019, tercatat 77 kemasan jamu tradisional yang diproduksi pabrik terkemuka yang menggunakan bahan baku cabai jamu.” imbuhnya.
“Kebutuhan ekspor cabai jamu di beberapa negara (Amerika, Eropa, China, Timur Tengah, Malaysia, Singapura) mencapai 6 juta ton/tahun. Madura sebagai salah satu sentra produksi hanya mampu menghasilkan sekitar 5 ribu ton/tahun. Oleh karenanya pelestarian, budidaya, dan pengembangan penelitian pada tanaman cabai jamu ini perlu diperhatikan oleh generasi-generasi muda di Indonesia.” Ungkap Jamila. Kini, budidaya cabai jamu menyebar di semua wilayah Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Penulis: Ifaikah Kalidin
Ilustrator: Vika Nunabi
Penerjemah Bahasa Madura: Mardiyah
Narasumber: Jamilatus Sa’diyah, S.Pd., M.Si
Konten ini juga dipublikasikan di Instagram Cerita Embuk