
Ketika Perempuan Kampung Bergerak Untuk Kemajuan Literasi
“Dek, saya pengen buka taman baca di kampung kita. Tapi saya ini tidak hobi baca. Nah kalau kamu kan suka baca. Bagaimana menurutmu, Dek?” tanya Mbk Iin, teman sekaligus tetangga di Kampung sana, sekitar dua tahun yang lalu. Wah, pas banget ini. Aku memang suka banget baca buku, dan ingin sekali membuka suatu saat nanti punya perpustakaan yang bsia diakses siapapun. “Ayok bikin, mbak. Aku juga pengen buka perpustakaan.” sahutku, kala itu.
“Apa visimu dek pengen buat taman baca?” Tanyanya. “Bukan apa-apa aku tanya gini, kalo satu visi akan lebih mudah menjalaninya,”
Aku ungkapkan bagaimana kebiasaan membaca buku telah membawaku menemui impianku. Selain itu ada banyak pengalaman, ilmu dan kesempatan. Oleh karenanya, aku ingin membagikan harapan yang sama dari apa yang ku peroleh dari membaca buku.
“Bukan apa-apa, Dek. Sesuatu yang bergerak di literasi maupun pengajaran harus digerakkan dengan jiwa ikhlas tanpa harus memikirkan dapat apa (uang). Karena memang bukan bisnis. Masyarakat kita masih berpikirnya ke arah ekonomi (uang). Kita yang muda bersemangat untuk mencerdaskan bangsa. Tetapi yang tua malah mengkendor dengan bilang, “untuk apa? Capek-capek gak dapat uang,” jelas Mbak Iin.
“Visimu sama denganku, mau melakukan sesuatu bermanfaat di kampung. Visi ini harus kita tanam dalam-dalam.”
Itulah awal mula ketika Aku dan Mbak Iin ingin memulai membuka Taman Baca di Kampung kami, Bujur. Setelah percakapan itu, kami mulai memikirkan konsepnya. Mulai dari nama, siapa saja yang akan dilibatkan, bagaimana operasionalnya , dsb.
Semua ide itu kami bicarakan di pertengahan tahun 2017, melalui pesan Whatsapp, karena aku merantau ke Jakarta dan Mbk Iin tetap di Madura. Ide itu sempat ditangguhkan karena kesibukan masing-masing dan kembali dibahas memasuki bulan ke dua tahun 2018, ketika aku pulang kampung. Mbk Iin kemudian mengumpulkan anak muda kampung untuk rembukan soal ide ini.
Nah, inilah problem yang kami hadapi. Tidak semua tertarik dan mau, sekadar menghadiri rembukan. Hanya beberapa yang datang dan salutnya, mereka adalah para perempuan. Bukannya mengecilkan ketidakhadiran lelaki, kehadiran para perempuan ini telah membuka sekat yang kerap mengikat perempuan dengan berbagai stigma. Ya, kehadiran mereka adalah representasi perempuan Madura masa kini yang lebih terbuka. Dari rembukan itu kami menemui sepakat untuk membuka Perpustakaan.
Setelah Diresmikan, Lalu Apa?
Selang beberapa bulan setelahnya, dari buku koleksi pribadi dan donasi dari Pustaka Bergerak Indonesia, Kami meresmikan perpustakaan pertama di kampung Kami. Perpustakaan itu bernama Rumah Kubuku. Setelah peresmian, perjuangan kami tidak selesai hanya dengan adanya perpustakaan. Buku-buku itu harus didatangi pembacanya dan dibaca sebab itulah fungsi perpustakaan. Bukan sekadar ada, memajang tanpa disentuh kecuali oleh debu.
Mbak Iin dan para perempuan ini kemudian menggelar/lapakan buku di hari jumat dan minggu. Pada awalnya masih sepi peminat. Namun karena rutin melapak di hari libur dan sering mengajak adik-adik, satu persatu mulai berdatangan. Bahkan untuk menarik minat adik-adik, Mbak Iin dan para perempuan ini sering menyelingi dengan kegiatan olahraga, permainan hingga membuat kreasi dari kertas. Semua hal dilakukan untuk menarik minat baca. Tak berhenti di situ saja, Mbk Iin dan para volunteer perempuan ini juga berinisiatif menyebar virus membaca dengan menggelar lapak buku hingga ke kampung sebelah.
Menuju setahun Rumah Kubuku, para perempuan ini menjadi tulang punggung gerakan literasi Rumah Kubuku. Pun ketika aku dan Mbak Iin menggagas Festival Literasi Kampung Bujur. Mereka selalu siap mendukung dan jadi bagian dari panitia festival. Pada kesempatan kali ini, para lelakinya mulai ikut bergerak bersama kami. Sebuah pencapaian yang harus terus dipupuk agar semakin banyak bibit yang tumbuh dan saling memberi manfaat.
Satu hal yang tak bisa aku nafikan, di balik perjuangan para perempuan ini, peran lelaki tetap ada. Mbak Iin, misalnya. Sang suami mendukungnya penuh sejak awal ide ini dikemukakan. Lebih sekadar dukungan karena juga kerap terlibat dalam kegiatan.
