Memeluk Luka Lama dan Mengubur Masa Lalunya
Seorang anak kecil ingin tertidur pulas di punggung bulan. Ia terlalu lelah, sungguh lelah dengan dunia yang memberinya banyak luka. Ia memohon pada Bulan, Ia ingin tertidur lama sehingga tak perlu tumbuh menjadi dewasa. Cukup menjadi anak sehingga luka itu tak perlu turut pada masa depannya. Anak kecil pun tertidur pulas di punggung bulan. Tak tumbuh, tetap menjadi anak kecil dengan luka yang tak pernah sembuh.
Ia memilih tetap merengkuh lukanya dengan tetap menjadi anak kecil. Ia menolak tumbuh dan sembuh karena Ia tahu luka itu terlalu menyakitkan dan telah merusak dunianya. Dia merekam semua peristiwa dan trauma dengan sangat baik. Ia mengingat dengan sempurna wajah-wajah yang menorehkan luka.
Sewaktu-waktu Ia mengunjungiku yang telah dewasa, memutar rekaman yang Ia simpan untuk mengingatkanku akan banyak hal. Terutama jika dipicu oleh hal-hal yang disinggung oleh orang lain, yang merasa lebih tahu.
Luka Masa Kecil
Orang-orang dewasa selalu menganggap anak kecil tidak tahu apa-apa. Mereka menganggap kemampuan mereka terbatas padahal ia bisa merekam dengan baik apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan. Yang tidak bisa dia pahami adalah menafsirkan dengan baik hal-hal tersebut. Kelak, ketika ia tumbuh, perlahan ia akan menemukan jawaban lalu menafsirkan apa yang pernah dia lihat, dia dengar dan dia rasakan kala itu. Ia memvalidasinya dari berbagai pengalaman dirinya atau orang lain sehingga memiliki pemahaman baru tentang hal itu.
Aku memiliki luka masa kecil yang traumatis yang hingga saat ini tak kunjung sembuh, seberapapun usahaku untuk sembuh. Saking traumatisnya, aku pernah mengalami fase tidak percaya diri, tidak ingin menikah, membenci lawan jenis yang menyukaiku, selalu berpikiran negatif. Hanya itu saja? Tentu tidak, aku sering gelisah dan gemetar ketika melihat orang bertengkar, mudah terpecah konsentrasinya, kerap bermimpi buruk jika sosok itu muncul dalam tidurku. Dan hal-hal semacam ini dianggap biasa oleh orang lain dan menganggapku berlebihan. Mudah mengatakannya bagi orang yang tak pernah merasakan dan berada di posisi ini.
Lalu suatu ketika, muncul seseorang, mengirim permintaan pertemanan di Instagramku. Cukup terkejut saat aku lihat profilnya sebab ia biang keladi dari semua yang terjadi. Aku blokir dia. Selang beberapa bulan kemudian, muncul orang yang berbeda namun berkontribusi memberi luka yang sama. Aku abaikan permintaannya namun tak ku sangka, ia mengorek lebih jauh tentangku melalui situs blog yang aku sematkan di profil Instagramku. Statistik Blog ku mendadak naik drastis hari itu. Ia membuka banyak tulisanku, termasuk tulisan tentang rumitnya mengurus administrasi pernikahan karena akta lahirku. Di sana ia meninggalkan komentar panjang lebar bak pahlawan kesorean.
Ia mengatakan, “Kita tidak pernah tau apa permasalahan mereka saat itu, tentunya dalam sebuah rumah tangga pasti ada masalah. Kita kan sudah berumah tangga, harusnya kita tau itu.”
Semoga kamu yang meninggalkan komentar, membaca tulisan ini sebab aku memang tidak tertarik untuk membalas pesanmu dan keinginan-keinginanmu (tuntutanmu).
Semua luka ini berawal jauh sebelum perceraian orang tuaku. Argumennya tentang aku yang tidak tahu apa-apa, sepenuhnya salah. Aku tahu betul dan merekam dengan baik semua apa yang terjadi puluhan tahun lalu. Ketika bapak mulai selingkuh, menikah lagi dengan beberapa perempuan, ya tidak hanya satu perempuan! Ibumu bukan satu-satunya perempuan yang dinikahi bapak, tetapi dialah alasan bapak meninggalkan ibuku, aku dan kakakmu. Tentu kamu tidak akan tahu sebab kamu belum lahir dan hanya tahu cerita setelahnya. Hanya soal selingkuh? Orang-orang memang punya kecenderungan mengecilkan masalah yang sebenarnya besar. Selingkuh, ya selingkuh. Kesetiaan terhadap pasangan adalah hal yang tidak bisa ditawar dan itu harga diri bagi setiap orang.
Lebih dari selingkuh, bapak adalah seorang yang temperamental. Ia kerap melayangkan kepalan tangannya ke tubuh ibuku. Seolah tangan Tuhan yang berhak menghukum. Seolah dia yang yang selalu paling benar. Itu tidak terjadi sekali, tapi berulang kali. Aku rasa kamu tahu betul soal ini dan dapat memvalidasinya. Bukankah kalian pernah menjadi korbannya?
Dan, hal-hal lain yang tidak mungkin akan diceritakan ke kamu.
Pengkhianatan itu aku tahu rasanya, KDRT itu aku melihat rupanya.
Bahkan ketika gugatan cerai ibuku diabaikan, dia juga mengabaikan tanggung jawabnya sebagai bapak yang harus menafkahi dua anak perempuannya. Dia terlalu sibuk membangun rumah tangga baru dengan ibumu. Merasa tidak dihargai, akhirnya Mak Nyai langsung membawa kasus perceraian ke Pengadilan Agama di Bangkalan. Mendahului permintaan awalnya ke kepala desa karena tak juga direspon oleh bapak. Mak nyai membiayai semua administrasi proses perceraian sehingga pada satu hari itu keluar putusan cerai. Ya, bapak tidak menyangka bahwa Mak Nyai akan bereaksi seperti itu. Tiba-tiba saja datang surat cerai yang harus dibubuhi tanda tangannya.
Tidak ada perebutan hak asuh anak, karena memang bapak tidak pernah menginginkan kami. Setelah putusan resmi pengadilan, dia tidak pernah memberikan kami nafkah untuk membiayai pendidikan dan hidup kami. Hidup kami seolah tidak berarti buatnya, dan itu menjadi lekat dalam benak kami untuk hari-hari berikutnya. Terutama aku, yang kala itu memang masih kecil, tetapi yang paling pandai menyimpan semua luka itu.
Apakah kamu tahu, saking traumanya pada sosok bapak, namanya aku coret di belakang tulisan namaku. Aku enggan masuk kamar kakak karena di sana masih terpampang fotonya (dulu, sekarang entah ada di mana itu foto). Saat sekolah aku punya ketakutan akan didatangi bapak. Bermimpi tentangnya saja bagiku itu mimpi buruk. Trauma itu menghantuiku sepanjang hidupku.
Suatu ketika, saat lebaran kami mengunjungi Mbah Cici dan Mbah Tari, oleh ibukmu kami diperlakukan seperti pengemis nafkah. Padahal yang kami kunjungi adalah rumah Mbah, bukan rumah bapak. Lalu berpuluh tahun kemudian, ibumu minta diundang dalam acara pernikahanku, gak punya malu! Bahkan, bapak yang kamu bilang menyanyangiku itu, masih sempat berucap yang tak sepantasnya sebagai bapak pada orang-orang. Jadi tak perlu membelanya ini dan itu, karena aku juga tak butuh pengakuannya.
Kalau kamu berkesempatan membaca tulisan ini, tolong jangan berkomentar dan menghiba. Aku terlalu malas menanggapinya. Tulisan ini terakhir yang aku buat sebagai penutup luka di masa lalu (meski aku ga yakin luka itu akan benar-benar sembuh). Aku telah menganggap yang membuatku luka di masa laluku, ia hanya boleh tinggal di masa laluku. Ia tidak boleh ada di masaku sekarang. Kebaikan yang bisa aku berikan kepadamu, hanya sebuah harapan agar kamu dan anak-anakmu tidak pernah merasa dikhianati batin dan fisiknya oleh orang yang seharusnya melindungimu.
Semoga kamu berpikir, dan paham.