Ruang Kata & Rasa

Merengkuh Luka Dan Asa

Aku selalu suka tempat ini, lantai teratas gedung paling elite di negeri ini. Tak beratap sehingga aku bisa melihat langit begitu leluasa disini. Tak berdinding, hanya pembatas kaca setinggi pinggang orang dewasa sehingga aku bisa merasakan desir angin menerpa tubuhku. Aku sering menghabiskan jam istirahat kerja di rooftop gedung ini. Bahkan jika pekerjaanku selesai, aku selalu menyempatkan diri kesini untuk melihat sunset dan senja yang menakjubkan.

Namun sore ini aku tak sendiri. Ada seseorang yang datang lebih dulu dariku dan langsung menyita perhatianku. Dia berdiri memunggungiku diatas pembatas rooftop. Tas dan sepatunya tergeletak begitu saja di lantai. Cepat kakiku mendekatinya.

“hei nona, sedang apa disana? Itu berbahaya!” tegurku khawatir. Dia menoleh, memperjelas identitasnya dimataku. Seorang gadis cantik berseragam SMA. Wajahnya berurai air mata, penuh kesedihan, kemarahan dan kekecewaan. Aku segera paham situasinya. Kuulurkan tanganku padanya. “turunlah,” pintaku setengah memohon. Gadis itu menggeleng dan mengembalikan pandangannya ke bawah sana.

“tindakan bodohmu tidak akan menyelesaikan masalah.” ujarku mencoba mengubah pikirannya. “hidup memang sulit tapi bukan berarti kamu harus mengakhirinya.”

“tau apa kau tentang hidupku, tentang masalahku!!!” teriaknya histeris. “aku kehilangan impianku!!”

Aku terdiam sejenak, menghela nafas, menghembuskannya perlahan.

“aku juga pernah gagal sama sepertimu dan berdiri di posisi yang sama denganmu saat ini.” Ungkapku berat. Gadis itu melihatiku mencemooh, tak percaya dengan apa yang kukatakan. Ah, haruskah kuceritakan masa laluku yang teramat sulit itu? Baiklah, jika itu mampu mengubah pikiran gadis SMA ini.

Delapan tahun yang lalu ketika gedung ini selesai dibangun, media gembar-gembor memberitakan. Gedung ini menjadi gedung tertinggi di Asia Tenggara, mengalahkan Petronas Tower dan Baiyoke Tower. Saat itu aku baru lulus kuliah S1 dengan predikat Cum Laude. Masa depan cerah seolah menantiku. Aku bahkan dengan arogannya bermimpi jika aku akan bekerja disalah satu kantor gedung ini kelak. Tak ada yang mengolokku kala itu. Hei, aku lulusan terbaik mana mungkin perusahaan akan menolak calon karyawan dengan prestasiku. Aku percaya diri sekali sampai aku lupa satu hal. Kenyataan tak semudah dan seindah dengan apa yang diharapkan.

Sebulan setelah kelulusan, aku melamar ke salah satu perusahaan yang berkantor di gedung ini. Satu posisi dan seribu pelamar. Aku ada diantara seratus pelamar itu. Aku optimis lolos interview dengan bekal pendidikan dan nilai IPK-ku yang sempurna. Aku juga memiliki banyak pengalaman karena sering magang di perusahaan manajemen. Tapi aku salah besar, semua itu ternyata tak membantu. Aku gagal interview hanya karena satu hal, aku tak memilki koneksi. Belakangan aku tahu, yang lolos ke perusahaan itu karena memiliki koneksi.

Gagal di satu kesempatan tak membuatku jera mencari kesempatan yang lain. Kerja keras adalah modal utama orang-orang sepertiku, kalangan menengah kebawah. Aku lupakan sejenak ambisiku untuk bekerja di gedung paling ellite di negeri ini. Aku melamar pekerjaan ke perusahaan diluar gedung ini. Tapi lagi-lagi aku gagal. Jurus Cum Laude tak seampuh yang dosen bilang.

Setahun aku menyandang title baru, Sarjana pengangguran. Aku mencoba realistis, melamar ke perusahaan berskala kecil. Gagal, gagal dan gagal. Tak terhitung berapa rupiah yang kuhabiskan di fotocopian. Bahkan mukaku sudah kebal diledekin tukang fotocopian dan tetangga. Pada akhirnya aku harus puas dengan bekerja di mini market sebagai pramuniaga.

Empat tahun aku bekerja di mini market dan harus rela hati dengan posisi sebagai pramuniaga. Tak ada jenjang karir seperti yang iming-imingkan ketika pertama kali aku melamar kerja. Semuanya berjalan begitu statis. Tak ada yang berubah dengan hidupku kecuali usiaku yang semakin bertambah. Hidupku terasa membosankan.

“impianku pupus.” Kenangku pahit.

“tapi kamu punya orang yang mau menerima kegagalanmu.” Ucap gadis itu putus asa.

Aku menggeleng. Aku bahkan tak punya siapa-siapa didunia ini. Aku hidup sendiri, orang tuaku meninggal ketika aku masih kecil. Teman? Aku memiliki banyak teman saat aku kuliah tapi tidak ketika aku hanya seorang pramuniaga mini market. Orang-orang memilih untuk lupa mengenalku. Begitu pun teman-teman kuliahku, mereka benar-benar lupa siapa yang dulu sering membantu mereka menyelesaikan tugas kuliah dan siapa yang paling bersemangat menyelesaikan sekalipun itu bukan tugasku. Jika pun ada yang mengingat mereka hanya mencibir kegagalanku.

Pasangan? Hal rumit lain yang aku miliki. Harus aku akui, parasku biasa saja. Tak ada hal menarik dari fisikku yang bisa menarik perhatian kaum adam. Aku berusia 28 tahun kala itu. Usia yang tak lagi muda untuk ukuran seorang lajang. Mulut-mulut tetanggaku makin berisik mengusik kesendirianku. Padahal mereka tahu betul sendiri bukan hal baru dalam hidupku.

Aku sendiri sejak itu. Lalu aku mengenalnya. Pertemuan tak sengaja namun ditakdirkan.

Kala itu aku kembali ke gedung ini membawa ambisi lama. Namun baru saja turun dari bus, aku diguyur hujan deras. Tubuhku basah kuyup begitupun surat lamaran kerjaku. Tak ada yang bisa diselamatkan. Aku merasa begitu sial. Aku menangis sejadinya diantara guyuran hujan. Menangisi hidupku yang menyedihkan.

Hujan semakin menderas, tapi tidak disekitarku. Rintik hujan itu tiba-tiba menghindari tubuhku. Aku mendongakkan wajah dan terlihat payung hitam besar menaungiku. Kubalik tubuhku dan nampaklah sosok itu. Sepasang mata teduh yang langsung melenakanku dan membawaku pada janji indah masa depan. Pertemuan itu berarti banyak untuk hidupku.

Dia satu-satunya lelaki yang mau menerimaku apa adanya dan yang membuatku memutuskan mengakhiri kesendirian ini. Kami pun menikah dan bahagia seperti yang aku harapkan. Aku berhenti dari pekerjaanku karena rasa tanggung jawabnya yang begitu besar. Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama, dia meninggal dalam kecelakaan tragis. Meninggalkan aku bersama jabang bayi, buah cinta kami. Terpukul dengan situasi itu, aku keguguran dan harus kehilangan lagi.

“aku kembali sendiri,” kisahku, menghentikan tangis gadis itu. Aku dan gadis itu terdiam hingga suara deringan ponsel yang berasal dari tas gadis itu memecah kesunyian diantara kami. “setidaknya masih ada yang mengkhawatirkanmu.” Kataku sembari menunjuk kearah deringan telfon. Gadis itu tak bekutik sedikitpun dari pembatas rooftop, membiarkan panggilan suara itu tak terjawab.

“aku terlalu takut dengan kenyataan yang ku terima dan aku tak bisa hidup dengan itu.” ucapnya diantara isak tangisnya.

“kamu akan berharap hidup ketika kamu tahu apa itu kematian.” Tukasku, mengembalikanku pada ceritaku yang belum usai.

Kehilangan calon bayi ternyata berdampak juga pada kesehatanku. Aku mulai merasakan rasa sakit ditubuhku. Rasa sakit yang tak biasa  dan tak bisa ku tahan bahkan dengan obat sekalipun. Kematian seolah sangat dekat denganku. Aku takut, aku ingin sembuh dan hidup lebih lama lagi. Tapi dokter justru memvonisku mengidap kanker serviks. Hidupku tak akan lama.

Oh, apalagi yang tuhan inginkan dariku? Tidak cukupkah rasa sakit karena kehilangan orang-orang tercintaku? Inikah akhir dari hidupku yang menyedihkan? Mati kesakitan sendiri?

Rasa inilah yang kemudian menuntunku berdiri di tempat yang sama dengan gadis ini. Aku ingin menyudahi semua rasa sakit ini. Aku tak mau penyakit ini membunuhku secara perlahan. Aku Aku hanya ingin mempercepat takdir hidupku disini.

Aku pun berdiri diatas pembatas rooftop, merengkuh semua rasa sakit, putus asa dan kecewa.

“aku lebih punya alasan untuk berdiri ditempatmu. Impianku hilang, sama sepertimu. Tapi kamu masih muda dan punya banyak waktu untuk meraihnya lagi. Tidak denganku, sampai saat ini aku harus terima dengan pekerjaan cleaning servis-ku di gedung ini. Aku dan kamu sama-sama mengecewakan orang yang kita sayangi, tapi mereka masih mengkhawatirkanmu. Tidak denganku, aku sendiri.” Aku menahan nafas, menahan emosi yang perlahan menguasai hati. Gadis itu menyeka air matanya, melihatku dengan sempurna.

“lalu apa yang membuatmu bertahan?” tanyanya ingin tahu.

Aku tersenyum, setidaknya gadis ini mulai ingin menemukan alasan untuk kembali hidup. Aku naik ke pembatas rooftop dan berdiri tak jauh dari sisinya. Ku lakukan hal yang sama seperti satu bulan yang lalu ketika aku memutuskan menyelesaikan hidupku disini. Ku tutup kedua mataku dan kurentangkan kedua tangan. Ada satu pertanyaan besar di hidupku yang ingin ku tanyakan pada tuhan. Kenapa hidupku sungguh sangat berbeda dengan orang lain?

Tuhan mengirimku jawaban lewat angin yang berhembus ke wajahku. Aku buka mataku dan kulihat senja yang menyemburat indah di langit. Kemanusiaan ku tersentak. Lihatlah senja itu! Dia juga salah satu ciptaan tuhan, dia sungguh berbeda dengan yang lainnya. Hadirnya pun cuma sesaat namun memiliki arti. Ia patuh, tak pernah mendebat takdirnya.

“sementara aku siapa? Sudahkah aku memberi arti untuk hidupku sendiri? Apa hakku atas diriku dan takdirku hingga memutuskan untuk menyudahi hidupku? Tidakkah aku terlalu tidak tau diri sebagai manusia jika aku mendahului takdirNya?” Aku menoleh, menatap gadis itu penuh pengharapan. “aku harap kamu berpikir hal yang sama dan mungkin menemukan alasan lain yang lebih kamu terima.” Kataku sembari mengulurkan tanganku. Dia tergugu, ragu dan akhirnya menyambut uluran tanganku. Aku tersenyum lega dan kupeluk dia. “kamu masih punya harapan.”

“kamu telah memberi arti untuk hidupku. Terima kasih.” Bisiknya ditelingaku.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!