Rak Buku

Monolog Aan Mansyur: Kenangan Masa Kecil, Surat & Kata-kata Yang Berbahaya

Puisi tidak menyelamatkan apapun namun memberi keberanian membuka jendela dan pintu pada pagi hari. Menyeret kakiku menghadapi dunia yang meleleh di jalan-jalan kota yang tidak berhenti berasap. 

– Aan Mansyur.

Saya mengenal nama Aan Mansyur setelah booming film Ada Apa Dengan Cinta 2. Ketika puisi-puisi Rangga selama di perantauan ditulis oleh Aan. Lalu berlanjut pada karya puisinya “Kau Membakarku Berkali-kali” melalui musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Waktu Jeda pada gelaran Asean Literary Festival 2016 lalu.

Meski belum membaca banyak karyanya, satu hal yang pasti adalah bahwa ia sosok sastrawan yang besar. Kata-kata yang ia tulis, baik puisi, cerpen maupun novel tenyata berbicara dengan penuh makna. Saya pun jatuh cinta pada karyanya. Saya selalu penasaran kisah di balik sebuah karya tercipta atau bagaimana perjalanan sang sosok itu sendiri.

Kesempatan pun datang melalui acara Monologue yang digelar oleh CNN Indonesia pada 17 April 2018 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Aan Mansyur menjadi salah satu tokoh yang bermonolog tentang perjalanannya menjadi seorang penyair. Di sinilah saya tahu, kenapa karyanya begitu dalam dan penuh makna. Berikut saya narasikan kembali perjalanan sang penyair.

Kenangan Masa Kecil

Monolog Aan dimulai pada kenangan masa kecilnya di meja makan. Aan kecil ditanya oleh sang kakek tentang siapa penemu lampu listrik. Tentu itu pertanyaan yang cukup mudah dijawab karena pada saat itu banyak buku tentang penemuan diterbitkan dan Aan sudah membacanya di perpustakaan milik kakeknya.

Jawaban Aan dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, “Menurut kamu apa yang paling berharga dari Thomas Alva Edison? Apa yang paling penting kamu pelajari dari Thomas Alva Edison?”

Aan menjawab, “Karena dia bisa menemukan sesuatu seperti ini, yang gelap bisa jadi terang”. Lalu sang kakek menimpali, “Yang paling penting yang bisa kamu pelajari dari dia, mungkin kalau tidak ada dia orang lain pasti menemukannya. Tetapi hanya Thomas Alva Edison di dunia ini yang tahu ribuan cara yang tidak bekerja untuk menemukan satu hal yang bisa bekerja untuk menemukan lampu.”

Pada saat itu Aan tidak paham maksud sang kakek. Tetapi ternyata pelajaran tentang kegagalan inilah yang menyelamatkan banyak sekali fase dalam kehidupannya.

Ya, Aan kecil melewati banyak fase masa kecil yang cukup berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Ia lahir sakit-sakitan karena memiliki kelainan jantung. Hal itu kemudian membuatnya tumbuh sebagai anak yang pemalu dan  pembenci.

“Saat SD saya selalu masuk juara umum, selalu juara satu. Tetapi kemudian duduk di kelas tiga, ayah saya pergi dari rumah dan tidak pernah kembali sampai sekarang. Ketika saya juara umum, orang akan bilang “Lihat Aan bisa jadi juara umum meski tidak ada bapaknya,” ungkapnya.

Aan merasa embel-embel tidak ada bapaknya dan dikasihani adalah hukuman yang paling berat sekali. Kenapa mereka tidak bilang saja Aan juara satu, titik. Lalu ia menjadi tidak menyukai manusia sama sekali. Ia tidak suka bertemu siapapun dan menjadi anak yang mengurung diri.

“Saya beruntung sekali mempunyai kakek yang suka membaca buku. Kakek saya punya perpustakaan kecil. Meski koleksinya tidak banyak tapi cukup untuk seorang anak yang tidak seperti adik dan teman-temannya yang bisa pergi ke sawah, menggembala ternak, pergi mandi ke sungai, bermain layang-layang.”

Di perpustakaan itulah Aan menghabiskan hari-harinya dan semakin terisolasi. Meski demikian ia merasa nyaman hingga ia menemukan cara berkomunikasi dengan siapapun, termasuk ibunya.

Berkomunikasi Melalui Surat Dengan Sang Ibu

Tumbuh sebagai anak yang pemalu, pembenci dan penyendiri juga berpengaruh pada hubungan Aan dan ibunya. Ia tidak pernah benar-benar merasa duduk dengan ibunya lalu bisa menceritakan sesuatu dengannya.

“Cara berkomunikasi dengan ibu saya adalah dengan bersurat. Ketika menginginkan sesuatu, saya selalu berpikir selama dua tiga hari mencari kalimat yang tepat lalu menulis surat singkat,”

Ibu Aan berjualan bumbu dapur di pasar tradisional dan selalu berangkat lebih awal. Kesempatan ini ia manfaatkan untuk meletakkan surat di bantal sang ibu sebelum ia berangkat sekolah. Caranya ini ternyata diikuti sang ibu. Misalnya ketika ia menginginkan buku, dan ibu punya cukup uang untuk pergi ke ibu kota kabupaten untuk membeli buku, seminggu kemudian dia akan akan menyimpan surat dan buku di tempat tidur Aan. Cara berkomunikasi yang cukup unik ini ternyata  berlangsung sampai saat ini.

Kata-Kata Adalah Benda Yang Berbahaya

Setamat SD Aan tidak tinggal lagi bersama ibunya. Ia merasa jarak seperti itu jauh lebih aman dan nyaman untuk mereka berdua.

“Saya merasa keluarga kami tampaknya jauh lebih percaya bahwa kata-kata itu benda yang berbahaya sekali. Sehingga tidak ada yang mau berkomunikasi langsung karena bisa melukai siapapun. Saya misalnya, tidak pernah berani hingga sekarang bertanya kenapa suaminya pergi meninggalkan rumah. Karena saya tidak ingin melihat ibu saya menangis atau bersedih. Saya tahu hidupnya ketika ditinggal suaminya sudah cukup menyedihkan. Pertanyaan bagi saya adalah benda yang berbahaya sekali sehingga saya tidak pernah berani bertanya pada ibu saya.”

Selengkapnya tentang Monolog Aan Mansyur, silakan tonton di video berikut:

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!