
Perempuan Bergincu Merah: Part 1
Aku masih ingat pesan bapak dulu.
“kamu anak lelaki, jaga harga dirimu. Jangan biarkan ia lepas dari dirimu hanya karena 3 hal, perempuan, uang dan kekuasaan.” Pesan bapak kala itu. “gunakan akalmu bukan hatimu”.
Dulu, aku masih tak paham apa maksud perkataan bapak. Tapi sekarang aku tahu alasan bapak berkata demikian.
Perempuan
Saat aku datang pertama kali ke ibu kota, aku serba takjub. Gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, jalanan yang dipadati ribuan kendaraan, tempat hiburan dimana-mana, dan berbagai kemewahan yang tak pernah kutemui di pulauku. Tak salah jika kemudian orang-orang kampung macam diriku mengadu nasib ke kota ini. Barangkali aku bisa jadi bagian dari kemajuan kota ini. Barangkali aku bisa memperbaiki nasib sandang, pangan dan papan keluargaku. Barangkali aku bisa memperbaiki strata sosial keluargaku. Barangkali pula aku bisa menemukan jodohku di sini.
Hal lain yang membuatku takjub adalah dinamika kehidupan kota ini. Kota ini nyaris tak pernah tidur. Sangat berbeda jauh dengan pulauku, yang mudah terlelap setelah adzan isya. Sunyi, mungkin suara jangkrik di sawah lebih nyaring dari bunyi dengkuran. Malam di kota ini justru semakin menggairahkan. Apalagi saat aku mulai bekerja di salah satu café paling elit di kota ini. Aku semakin tahu seperti apa kehidupan malam kota ini.
Di salah satu malam itulah aku pertama kali melihatnya.
Perempuan itu. Perempuan bergincu merah dengan tatapan mata yang tak mudah ku lupakan (mungkin lelaki lain yang melihatnya pun akan sependapat denganku). Malam itu aku melihatnya di halte dekat tempatku bekerja. Dari pertama melihatnya, aku tahu perempuan ini sungguh berbeda dengan perempuan yang ku temui sebelumnya, khususnya perempuan di kampungku. Perempuan di kampungku memiliki jam malam yang sangat ketat, lepas petang tak boleh keluar dari lingkungan rumah. Seolah-olah malam itu bagian waktu yang paling mengerikan bagi perempuan. Apalagi soal berpakaian, sungguh tak ada kata kompromi jika tak selaras dengan adat. Tapi apa yang kulihat malam itu sama sekali berbeda.
Perempuan bergincu merah itu duduk di halte tepat jam 11 malam dengan pakaian seadanya. Ya, ku sebut seadanya karena pakaiannya seolah hanya menempel begitu saja di tubuhnya. Tak berfungsi selayaknya pakaian, melindungi tubuhnya dari terpaan angin malam yang dingin. Apalagi kota ini baru selesai diguyur hujan deras. Meski demikian, perempuan itu nampak mahal dengan apa yang melekat di tubuhnya. Rambutnya panjang dan berombak berkilau bak iklan shampo. Aku yakin ada ratusan ribu rupiah yang membuatnya demikian. Begitu pun wajah pemiliknya, cantik dengan polesan make-up sederhana dan tentu saja merah di bibirnya seolah melengkapi kesempurnaan itu. Gincu merah itu seperti menjadi kekhasan dirinya.
Aku jadi teringat kawan perempuanku di kampung pernah bercerita tentang harga gincu yang setara dengan harga satu ekor kambing. Kala itu aku tak percaya, menganggapnya bercanda. Tapi saat dia menunjukkan bon belanja majikannya yang seorang anggota DPR, aku terperangah dan terpaksa mempercayainya. Mungkin gincu perempuan itu sama dengan gincu majikan kawanku hingga nampak indah dan mahal.
Aku palingkan wajahku darinya, khawatir ia memergokiku karena telah mencuri pandang. Tapi tak kusangka jika aku dan dia naik bus yang sama, turun di halte yang sama, berjalan di gang sama dan tinggal di lingkungan kosan yang sama. Bahkan belakangan aku dan dia selalu menunggu bus di tempat dan pukul yang sama.
Kesamaan ini perlahan mengusik benakku. Setiap hari melihat paras cantiknya dan setiap hari aku mulai menebak-nebak identitas perempuan bergincu merah ini. Siapa dirinya? Siapa namanya? Apa statusnya? Apa pekerjaannya? Kenapa terkadang ia pergi menjelang malam dan pulang menjelang pagi? Kenapa pula ia berpakaian yang sangat terbuka? Ya, aku sebut terbuka karena aku terbiasa melihat perempuan dengan pakaian tertutup, dari ujung kaki hingga kepala. Ya, meski bukan dia seorang di kota ini.
Pertanyaan-pertanyaan itu tak mau lenyap dari pikiranku. Bahkan ketika sehari aku tak melihatnya, aku makin sibuk berasumsi. Apa dia sakit? Apa dia kecelakaan? Apa ada masalah di pekerjaannya? Dan sejumlah kekhawatiran yang tak seharusnya.
“kau menyukainya?” tanya adam, teman kerjaku ketika ku kisahkan mengenai perempuan bergincu merah itu. Aku bergeming, sulit menjelaskan dalam bentuk kata tentang apa yang kurasakan pada perempuan itu.
“aku hanya ingin tahu tentang dirinya,” Jawabku ragu.
“lalu apa yang akan kamu lakukan setelah tahu?”
Aku kembali diam dan bertanya pada diri sendiri. Apa yang akan ku lakukan setelah tahu tentang dirinya? Punyakah aku keberanian untuk berkenalan atau sekadar melempar senyum kala kami bertemu? Nyatanya aku hanyalah seorang pengecut. Jangankan berkenalan apalagi melempar senyum, kepergok melihatinya saja sudah membuat hatiku berdebar-debar sepanjang hari. Mendadak aku takut berpapasan dengannya. Bagaimana jika dia tahu selama ini aku mengamatinya diam-diam?
****
Apa yang akan ku lakukan setelah tahu tentang dirinya? Pertanyaan Adam kala itu ternyata bukan sekadar keingintahuannya saja tetapi seperti tuntutan sikap apa yang akan kuambil ketika tahu tentang perempuan itu.
Pertanyaan itu seperti ujian psikotes yang pernah kulewati saat wawancara kerja, jawabannya akan menentukan bagaimana diriku sebenarnya. Pertanyaan itu kini nyata dihadapanku. Ketika kulihat perempuan itu keluar dari kamar kontrakannya dengan pakaian khasnya lalu berjalan melewati ibu-ibu yang tengah bergerombol di gerobak tukang sayur.
“sekarang udah berani keluar siang,” kata salah satu dari mereka itu begitu perempuan itu lenyap di balik belokan jalan. Aku menajamkan pendengaran.
“lagi ada bookingan mungkin.” Sahut yang lain. Tangan-tangan yang semula sibuk memilah sayuran berhenti sejenak hanya demi menyimak obrolan. Topik pembicaraan yang awalnya masih seputar harga cabe naik pun segera berubah. Termasuk tukang sayur yang ikut menyimak.
“sayang ya, masih muda, cantik, kerjaannya begitu. Apa susahnya sih cari yang bener, bermartabat dan halal lagi!”
Langkahku seketika tertahan, omongan itu rasanya terlalu menyentak. Aku paham betul apa dan siapa yang mereka bicarakan.
“dasar perek!” tukasnya lagi, memperjelas status perempuan itu di mata mereka. Lalu mereka ketawa ketiwi seolah itu hal yang lucu. Obrolan kemudian berlanjut pada ukuran tahu dan tempe yang semakin kecil. Aku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti. Kepalaku serasa dihantam benda keras, pusing dan mulai menolak omongan yang dicerna akalku. Aku sungguh tak tahu apa yang akan kulakukan karena hatiku mendadak memilih tak sejalan dengan akalku.
Aku ketinggalan bus, tak sempat bertemu dengannya. Entah itu memang yang aku mau atau aku menyesalinya. Tak jelas.
****
Pagi itu masih kuingat dengan sempurna. Dering jam weker di pukul lima. Aku terjaga untuk melaksanakan kewajiban tapi kran kamar mandiku mampet. Padahal semalam masih berfungsi dengan baik. Bak mandi kosong, tak ada segayung pun air. Kamar mandi umum menjadi satu-satunya tujuanku. Namun baru beberapa langkah meninggalkan kamar, mataku menangkap sesuatu yang sulit diterima hatiku. Dijalan raya depan kosan yang masih lengang itu, sebuah mobil sedan mewah berhenti. Pintu mobil terbuka dan seseorang dengan kasar hingga dia jatuh terjerembab ke tanah. Lalu mobil itu pergi begitu saja.
Aku terperangah saat mataku perlahan mengenali sosok yang dibuang itu. Perempuan bergincu merah. Reflek aku berlari ke arahnya. Perempuan itu terduduk lemas di jalan. Isi tasnya berhamburan kemana-mana, rambutnya acak-acakan dan ia hanya mengenakan sebelah sepatu haknya. Segera ku punguti barang-barangnya. Gincu, bedak, ponsel, minyak wangi, sisir, dompet, pisau kecil? Untuk apa benda tajam seperti ini ada di tas seorang perempuan? Dan, ah sebuah barang yang makin memperjelas pekerjaannya. Ku masukkan semua barang itu ke dalam tasnya, lalu ku ulurkan tanganku padanya.
Kepala yang sejak tadi tertunduk perlahan mendongak, memperlihatkan rupanya yang berbeda dari yang biasa ku lihat. Mata yang biasanya bersinar tajam itu kini meredup dan ada bekas air mata yang mengering. Pipi yang biasanya bersemu merah muda kini memucat. Begitu pun bibir yang selalu bergincu merah itu, kini gincunya memudar, belepotan di sekitar bibirnya dan menyaru dengan darah segar yang muncul disudut bibirnya. Aku terhenyak dibuatnya. Apa yang terjadi padanya?
“bahkan seorang pelacur pun pantas untuk diperkosa?” tanyanya getir. Hening. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Kaget dengan pertanyaan itu, sekaligus ambigu dengan perasaan yang tiba-tiba menyelinap ke hatiku. “kamu mungkin menganggapnya sama saja karena tubuh ini memang untuk pemuas nafsu laki-laki. Tapi, tapi ketika mereka merenggutnya begitu saja, kenapa aku harus marah dan takut?” katanya tegugu. Mata itu kembali basah meski sesaat kemudian punggung tangannya menyeka.
Akalku mulai mengutuk kebodohan perempuan ini. Bukankah dia sudah memilih jalan untuk melacurkan diri, kenapa malah menangis dan merasa tak berdaya ketika orang-orang itu memaksanya. Anggap saja orang-orang itu minta gratisan, toh prosesnya sama saja.
Tetapi lagi-lagi hatiku berkata lain. Perempuan ini tak ubahnya seekor ikan yang ditakdirkan menjadi makanan manusia, namun berontak keras ketika ditangkap. Ia mencoba melepas diri dari takdirnya karena ingin bertahan hidup.
Aku masih bungkam. Perempuan itu membuang muka, kecewa dengan sikap diamku. Ia mengumpulkan kekuatannya untuk berdiri dan memilih mengabaikan uluran tanganku, lalu berbalik arah. Menyentak sepatunya lepas dari kakinya, lalu menyeret langkahnya tanpa alas.
Inikah yang ku lakukan setelah tahu siapa dirinya?
Inikah sikapku setelah tahu siapa dirinya?
Tidak, aku tidak sepengecut itu. Ku susul langkahnya dan ku raih lengannya hingga kakinya tertahan. Ia menoleh, melihatku dengan ekor matanya.
“kau tak pantas untuk itu, siapapun tak pantas.” kataku tegas, tanpa sedikitpun keraguan.

