anatomi perasaan ibu
Novel/lainnya,  Rak Buku

Review Buku Anatomi Perasaan Ibu: Lika-liku Rasa Seorang Ibu Baru

Menjadi perempuan itu sungguh tidak mudah. Apalagi ketika statusnya bertambah menjadi seorang istri, kemudian seorang ibu. Hal-hal baru, luar biasa dan terkadang di luar perkiraan sekonyong-konyong menyerbu. Dipaksa beradaptasi dan menerima seolah itu satu paket dari pilihannya. Sebagai ibu baru, aku merasa tulisan yang dibagikan oleh Sophia Mega dalam buku Anatomi Perasaan Ibu terasa valid. Hei, itu juga yang aku alami!

Buku Anatomi Perasaan Ibu dibagi menjadi empat bagian cerita. Pernikahan, hamil, melahirkan dan menjadi Ibu. Masing-masing fase dikisahkan secara gamblang. Mega mengurai “isi kepala dan hatinya” begitu jujur. Termasuk pertanyaan-pertanyaan yang rasanya hampir kebanyakan perempuan punya namun memilih menyimpannya sendiri. Misalnya, pada bab Pernikahan. Kenapa harus menikah? Apa menikah harus punya anak?

Setelah rangkaian prosesi pernikahan yang panjang dan melelahkan itu, perempuan akan segera berhadapan dengan tekanan keluarga besar. Sebab menikah bukan hanya soal sepasang saja tetapi seperangkat ekspektasi mereka. Masing-masing keluarga merasa paling berhak menentukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Termasuk keputusan memiliki anak.

“Aku tak ingin memiliki anak untuk melengkapi pernikahanku. Aku tak akan membebani anakku dengan kewajiban “membahagiakan orang tua”, sebab aku tahu bahwa kebahagiaan dan kekecewaan adalah urusan masing-masing manusia,” (hal. 11).

Mempertimbangkan punya anak atau tidak saja sudah dianggap salah. Padahal perempuanlah yang paling berhak menentukan apakah ia ingin punya anak atau tidak. Sebab kelak dirinya lah yang akan bersusah payah hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh. Jika pada akhirnya ia memutuskan menginginkan anak, itu karena dia sudah melewati proses dan persiapan yang matang.

Membaca bab satu, dua, tiga ternyata cukup melelahkan. Aku ikut merasakan emosi yang disalurkan Mega melalui tulisannya. Bagaimana dia kesal, marah, kecewa, menangis karena suaranya seolah tidak didengar. Hei, perempuan itu manusia yang berpikir! Bukankah yang diinginkan perempuan adalah suaranya didengar terlebih dahulu. Bukan dibungkam oleh tuntutan tanpa melibatkan suaranya. Bersamaan itu Ia menghadapi masa kehamilan yang berat, melahirkan yang melelahkan, tantangan menyusui yang tak mudah dan rasa tidak nyaman pada tubuhnya setelah melahirkan.

Baca juga Review Buku Lebih Senyap dari Bisikan: Perjalanan Sunyi Perempuan Menjadi Seorang Ibu

Apa buku ini segalanya tentang Mega yang bertarung dengan isi kepalanya dan keluarganya? Enggak! Ada momen di mana Ia merasa perlu bantuan Psikolog, menulis jurnal emosi. Ia juga membaca banyak buku yang mampu mengenali kenapa ia bisa bersikap seperti itu. Pengalamannya sebagai ibu baru dituliskan dengan sangat detail. Mulai dari persiapan melahirkan, menyusui, bertemu konselor laktasi, hingga pola pengasuhan yang setara. Aku belajar banyak dari Mega. Buku-buku yang dia baca akhirnya masuk ke daftar bacaanku.

“Fisik adalah hal kesekian yang menarik dalam diriku, sebab ada banyak hal lain yang menarik dalam diriku,” (102). Apa yang ditulis Mega membuatku kembali percaya pada diriku. Sekaligus cara untuk memperbaiki hubungan dengan tubuh. Buku ini seolah memberi ruang bagi ibu yang selalu dituntut sempurna sehingga harus menyembunyikan semua perasaannya. Tak masalah ibu melakukan kesalahan, lemah, menangis, marah karena itu manusiawi. Ibu tidak sendirian, kok. (146)

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!