Review Buku Nyanyi Sunyi Kembang Kembang Genjer – Faiza Mardzoeki
“Eyang pernah bahagia…?
Adakah kenangan, kapan Eyang merasa saat paling bahagia…?”
Pertanyaan ini memantik ingatan Eyang Nini, seorang penyintas tragedi 1965 untuk membuka kenangan paling bahagia sekaligus pahit dalam hidupnya kepada cucunya. Cerita di awali dengan romansa antara Eyang Nini dan Bung Dar, mulai dari pertemuan saat keduanya aktif di kegiatan politik & kebudayaan, berkirim puisi hingga akhirnya menikah. Lalu pada suatu waktu, cerita kehidupan Eyang Nini menjadi sangat berbeda. Ia dituduh menjadi anggota Gerwani bersama wanita-wanita lain dengan tuduhan yang sama.
Sejatinya, Gerwani adalah organisasi perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan di wilayah ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Organisasi ini mengalami tuduhan seksual dengan digambarkan sebagai kelompok asusila dan kejam.
Ingatanku tentang PKI memang selalu buruk, karena kesadisan yang digambarkan dalam film, buku sejarah hingga cerita para orang tua. Bahkan aku selalu bergidik ngeri tiap kali berkunjung ke Museum Lubang Buaya. Museum yang dijadikan saksi hidup peristiwa 65 yang kejam melalui dioramanya. Aku mengutuk para anggota PKI, Gerwani dan Mereka yang telah melakukan kekerasan hingga pembataian sadis itu.
Pada suatu ketika, acara Asean Literary Festival yang diprakarsai oleh Okky Madasari digelar. Salah satu rangkaian acaranya yang aku ikuti adalah monolog dari buku naskah drama “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer, Karya Faiza Mardzoeki. Itu pertama kalinya aku menonton monolog. Kala itu yang bermonolog adalah seniman Pipien Putri. Sejak monolog di mulai, aku langsung terhipnotis dengan suasana panggung, cara dia bercerita, gesture tubuhnya dan ceritanya itu sendiri. Ya, seniman itu membuat ceritanya terasa hidup, seolah-olah dia menceritakan pengalamannya sendiri. Monolog kala itu, sang seniman membawakan peran Eyang Sumilah, salah satu kawan Eyang Nini
Setelahnya pikiranku sibuk memvalidasi semua cerita yang selama ini aku tahu. Berikutnya aku mencari tahu dari beberapa tulisan di media. Mencari bukunya saat itu cukup sulit karena ga dijual di toko besar macam Gramedia ataupun Toko Gunung agung. Beruntung, Post Santa selalu punya ruang untuk buku-buku penting seperti buku ini.
Kisah Tutur Perempuan Tahanan Politik 65
Pada pengantar buku, Faiza Mardzoeki menceritakan perjalanannya menulis, mulai dari pertemuannya dengan sang tokoh penting Gerwani. Sang tokoh bertutur tentang pergerakan Gerwani hingga tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada organisasi dan anggotanya. Tak hanya fitnah, pemenjaraan dan kekerasan seksual juga tak hentinya mereka rasakan. Penulis berpendapat, pengalaman para perempuan itu terlalu dahsyat di luar batas-batas kemanusiaan yang dia pahami.
Tertarik lebih jauh, penulis mulai melakukan penelitian: membaca berbagai literatur, mewawancarai perempuan mantan tahanan politik 65 hingga eksil di Swedia dan Belanda. Buku naskah drama ini pun terbit dalam bentuk sebagaimana naskah teater pada umumnya. Pembaca akan menemukan informasi semacam karakter, babak, adegan, dialog atau detail khas naskah teater.
Tiga Babak Cerita Para Eyang
Cerita dibagi menjadi tiga babak, dan berpusat pada tokoh utama yakni Eyang Nini. Eyang Nini kedatangan lima tamu penting, perempuan mantan tahanan politik 65, yang nantinya akan saling melengkapi ceritanya kepada sang cucu. Pertemuan itu mengembalikan kenangan mereka saat muda dan bebas lalu tiba-tiba berubah menjadi tragedi. Ditangkap dengan tuduhan amat keji, disiksa, dilecehkan secara seksual lalu dipenjara, dari satu penjara ke penjara yang lain.
(Ia bersenandung lagu Genjer-Genjer. Tanpa kata-kata. Ia bersenandung sambil tangannya bergerak menari)
“Zaman dahulu siapa yang tak mengenal lagu ini…
Tapi, darah remajaku menggelora terlalu sebentar. belum cukup rasanya aku merasa bangga sebagai gadis remaja yang berguna, tiba-tiba segalanya jadi gelap dan menyakitkan…”
Salah satu babak yang paling sedih dan menyakitkan bagiku adalah ketika Eyang Sumilah berkisah tentang masa mudanya yang gemar sekali menari. Ia terbujuk rayu kawannya untuk menjadi sukwati (sukarelawan) dan berlatih di Lapangan Pasar Rebo. Siapa disangka, esok harinya ia dan kawan-kawannya dituduh melakukan tindak asusila kepada para jenderal.
Kisah Eyang Sumilah hanyalah satu di antara sekian banyak kisah pilu perempuan korban politik 65. Perempuan-perempuan itu bertahan setiap harinya dengan trauma dan stigma. Mengungkap masa lalu, membuka luka dan kenangan pahit itu sendiri. Selama ini suara-suara mereka meredam karena siapa yang akan mendengarkan lalu mempercayainya?
Tak heran jika kredo populer “Sejarah ditulis oleh pemenang” kerap dikaitkan dengan peristiwa 65. Aku dan mungkin kita semua terlanjur termakan sejarah dari satu pihak saja. Kita seperti dipaksa mempercayai satu kebenaran. Tidak ada sejarah tandingan. Tetapi kini, muncul perspektif baru berdasarkan fakta, kesaksian dari para korban. Kita mesti memperluas sudut pandang menilai peristiwa dengan memperbanyak sumber sejarah yang beragam.