Semesta Rasa
“Laila, ketika tua nanti, bisakah kau kembali menceritakan sepasang kucing yang kita temui di sore yang hujan itu?”
“Pram, ayo pulang, hari sudah senja,” bisik Laila, kekasihku, ketika kami sedang menikmati senja di belakang rumah peristirahatan yang disewa anak kami. Rumah peristirahatan yang kerap kami sewa ini teramat nyaman sehingga aku cukup malas ketika diajak pulang.
Ku alihkan pandangan dari barisan bukit pada wajah kekasihku, yang binarnya mirip dengan senja, indah dan selalu menyenangkan, menenangkan kala dipandangi.
“Laila, ketika tua nanti, bisakah kau kembali menceritakan sepasang kucing yang kita temui di sore yang hujan itu?”
Senyum di bibirnya merekah, persis kuncup mawar merah saat menemui musimnya tiba. “Kita sudah tua, Pram. Maukah ku ceritakan saat ini juga?”
“Tidak, nanti saja ketika kita sudah tua dan aku mulai melupa.”
“Kita sudah tua dan mulai melupa, Pram. Lihat, rambutmu sudah mulai meniada dan memutih, gigimu tanggal tak terbilang, tubuhmu renta, dan kau kerap sakit. Kau bahkan sering mengompol, menyusahkan anak-anak kita. Makan pun kau lebih sering disuapin.”
“Aku justru bereinkarnasi menjadi bayi lagi, Laila. Aku kembali menjadi muda dan ketuaan masih jauh dariku.”
“Baiklah, Pram. Sekarang, maukah kau mendengar kidungku?”
“Tentu saja, sudah lama aku tidak mendengarnya. Ah, Laila, kau tahu betul betapa aku sangat menyukainya. Kidung-kidungmu selalu membuatku merasa kembali menjadi manusia. Ia berbicara tentang banyak hal yang selama ini luput dari panca inderaku. Ia membangunkan sel-sel syaraf kemanusiaanku, akal dan nurani. Dua hal itu bukan yang membedakan kita dengan makhluk Tuhan yang lain?
“Sebelum mengenalmu, dua tanda kemanusiaanku itu lebih banyak kuanggurin. Aku selalu bertindak berdasarkan naluri, insting. Sungguh mirip sekali bukan dengan para binatang? Dan kamu datang, menjinakkan binatang itu. Kau semacam pawang & kidungmu adalah mantranya,”
“Oh, maafkan aku, Laila, jika pengibaratan ini tidak tepat. Aku memang tidak pandai memilih kata, tidak sebaik dirimu mengenal kata-kata. Tapi memang demikianlah adanya. Dan itulah awal yang membuatku begitu mencintaimu dulu, kini hingga mati nanti.”
“Aku sudah terlalu banyak bicara. Ayo kekasihku, senandungkan kidungmu.”
Sepasang Kaki Tanpa Alas
Di antara petak seng berwarna perak
Ruh kehidupan bergemuruh dalam tubuh
Tumbuh dalam kumuh, dalam riuh
Tangisnya serupa lecutan cambuk pada pantat kuda
Sadar akan kuasa
Mengikuti apa yang diperintahkan tuannya
Menjadi seorang anak manusia dengan segala ketidaksempurnaannya
Dan manakala ia memilih tanah sebagai awal ia mengenal kehidupannya
Ia telanjang kaki
Tanpa prosesi
Tanpa mimpi-mimpi
Dikatakannya pada dirinya,
Tak akan pernah ada air suci jika Ismail mengenal alas kaki
Bagaimana Jika Tak Ada Kita?
Bagaimana jika tak ada Kita?
Yang ada hanyalah Aku, Kamu
Yang ada hanyalah eksistensi diri
Bagaimana jika tak ada yang beda?
Yang ada hanyalah kesamaan
Keseragaman yang dipaksakan
Maka Tuhan tak kan pernah mengutus para kekasih-Nya untuk membuat Kita dan berbeda itu ada
Tuhan menciptakan Kita untuk saling merasa
Tuhan menciptakan keberagaman untuk merumuskan keberagaman kalimat-Nya sebagai tanda cinta yang sempurna
Dapatkah hanya Aku atau Kamu saja yang merumuskannya?
Tidak
Aku, Kamu perlu menjadi Kita untuk merumuskannya
Aku, Kamu perlu berbeda untuk tahu betapa besar dan luas cinta-Nya
Aku, Kamu perlu bersama dan bekerjasama untuk menjadikannya indah
Nyala yang Bernyali
Aku ingin menjadi nyalamu yang nyalang
Yang tidak mudah padam oleh kelam malam
Maka aku akan pilih kayu terbaik sebagai bahan bakarnya
Tidak reranting atau dedaunan kering
Yang memang mudah menciptakan nyala
Tetapi tak bisa bertahan lama
Aku ingin menjadi talimu yang bertemali
Yang kuat mengikat tetapi tak menyekat
Maka ku pilih tali yang berpilin-pilin
Yang likat
Yang tak mudah lepas meski ditebas samurai
Aku ingin menjadi titik dari kalimat panjangmu
Tidak untuk menghentikanmu merangkai kata
Atau mencemburuimu karena menemukan frasa
Sebab aku akan menjadi titik balikmu menjumpai mereka
Maka, aku pastikan aku tahu di mana letakku berada
Menjadi Pagi-mu
Ketika ambang batas malam menggariskan fajar di cakrawala
Ayam jantan melepas rasa
Aku bangun dengan tergesa
Hanya untuk menatap utuh wajahmu yang seperti subuh
Ya, subuh
Waktu paling teduh ketika hari t’lah berpeluh
Saat itu aku kembali jatuh
Berkali-kali jatuh cinta padamu
Cinta itulah yang menyuluh hasratku dari kasur menemui sumur dan dapur
Mengisi belanga dengan cinta, menjerangnya penuh rasa
Dan kuseduhkan kopi hitam beraroma jelaga
Serasa
Sudah tiba pada saatnya
Aku dan kamu menua
Ketika satu persatu gigi tak mau tinggal lebih lama
Dan jika pada akhirnya aku harus melepas jasad-mu pada bumi, melepas ruh-mu pada langit
Ku pastikan:
Ku lepas dengan segenap cinta yang ku miliki
Dan ku sisakan ruang di hatiku agar lebih lapang menyimpan setiap kenangan yang pernah kita reka bersama
*Untuk lelaki yang ku cintai, kakek, yang sudah tiba pada masa senjanya setelah perjalanan panjangnya yang penuh perjuangan. Semoga beliau tetap sehat, panjang umur dan kelak bisa mendampingiku bertemu lelaki kedua yang kucintai setelahnya.