Ruang Kata & Rasa

Mati Perlahan di Rasamu (Sebuah Cerita Pendek)

Januari datang kembali. Awal tahun yang dinantikan banyak orang. Libur panjang, bonus tahunan, pesta kembang api, berkumpul bersama orang-orang terkasih, barbeque, terjaga sepanjang malam, dan menanti detik-detik pergantian tahun. Serta yang tak pernah terlewatkan, resolusi dan harapan: doa, yang dipinta dengan dua cara yang berbeda. Melalui media sosial dengan dilengkapi gambar dan imbuhan kalimat yang retorika atau membisikkan secara mesra dalam hatinya atau di rumahNya.

Saat tahun baru, malaikat sedang sibuk-sibuknya mencatat doa-doa manusia. Bisa jadi mereka lembur demi menampung hampir seluruh doa penghuni bumi. Sebab mungkin juga mereka harus merevisi dan mencocokkan kembali doa-doa itu dengan amal si manusia, sebelum buku amal diserahkan pada Tuhan untuk diambil keputusannya. Apakah doa si manusia akan dikabulkan segera atau justru ia harus menunggu untuk waktu yang lama karena buku amalnya banyak sekali keburukannya. Kecuali, si manusia mau mengulang doanya setiap hari dan memperbaiki catatan amalnya, Tuhan pasti penuh kasih mengasihinya.

Sedang manusia khidmat berdoa dan malaikat sibuk-sibuknya menerima doa-doa manusia, perempuan dengan tato tanduk rusa di tengkuknya itu justru sedang berleha-leha di atas ranjang berselimut apek. Dia baru saja menuntaskan hajat besarnya, sehingga baginya tak perlu lagi merayakan tahun baru dan memanjatkan doa. Beberapa menit yang lalu, Tuhan telah mengabulkan doa yang selama ini ia rapal dan ia minta dengan penuh kesungguhan. Doa pertama, sekaligus satu-satunya doa yang ia panjatkan selama hidup 28 tahun. Dan doa itu telah dikabulkan Tuhan.


10 menit sebelum detik terakhir bulan Desember, perempuan itu terkulai lemas di bak mandi. Akhir tahun, waktu yang tepat untuk mengakhiri semua rasa sakitnya, pikirnya. Maka ketika darah segar mengucur deras dari pergelangan tangannya dan ia membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam air, ia siap dengan kemungkinan setelahnya. Mati atau tetap hidup. Apapun yang dikehendakkan Tuhan atas dirinya, ia akan terima.

“Kenapa kau ingin mati sedang hatimu di suatu tempat sana berusaha untuk hidup?” pertanyaan itu menyentaknya. Di antara pekat warna merah darah dan air, mata perempuan itu nyalang. Mencari di mana suara itu berasal. “Kebodohan apalagi yang ingin kamu lakukan?” Pertanyaan berikutnya tak pelak menimbulkan sesak yang sebetulnya ingin ia tandaskan malam ini.

“Ketika perempuan memutuskan untuk jatuh cinta, ia telah memberikan segenap hatinya untuknya. Dan kamu menganggapnya sebuah kebodohan? Lalu bagaimana dengan ibumu, yang telah jatuh cinta padamu sejak kamu masih berupa janin?” sahut perempuan itu pada dengungan suaranya sendiri.

“Perumpamaan yang bagus. Ibumu, ia memberikan segenap hatinya untukmu. Matikah ia setelahnya?”

Pertanyaan berikutnya semakin menyesak dadanya. Ada jeda. Perempuan itu mulai tersengal, air telah masuk ke hidung dan mulut, bersiap menuju titik kronis, paru-paru.

“Yang bodoh itu kamu, bukan sebagai perempuan tetapi sebagai manusia. Ada banyak perempuan yang tetap hidup meski hatinya telah dibawa pergi. Persis sepertimu, memberikan segenap hatinya. Tetapi kamu selalu sok tahu soal rasa sakit. Seolah kamu satu-satunya yang terluka dan tersakiti.”

Tuhan, boleh aku membuat sebuah permohonan?

“Apa yang kamu pinta pada Tuhan? Mengapa kini kamu menyebut namanya setelah hampir seumur hidupmu kamu melupakannya? Dengan sebuah permohonan pula! Hamba macam apa kamu ini?!”

“Menghentikan bising di kepala”

Seorang lelaki datang membawa sebuah kotak kayu. Perempuan itu menyambutnya gamang dan untuk waktu yang cukup lama keduanya saling tercengang. Lelaki itu menyerahkan kotak kayu itu ke tangan perempuan.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!