okky madasari
Rak Buku

Okky Madasari & Sastra yang Bersuara: Tak Puitis tetapi Kritis Mempertanyakan Ketidakadilan

Sastra bukanlah rangkaian kata-kata yang puitis, mendayu-dayu dan membuat orang terpesona pada kata-kata. Sastra adalah setiap upaya untuk menggali suara dari nurani melalui bahasa.

Kalimat itu aku pilih sebagai paragraf pembuka dari artikel pertamaku tentang seorang Okky Madasari. Seorang penulis yang mampu menggugah kesadaran pembacanya tentang sesuatu yang teramat sederhana tetapi penting, melalui peran kata-kata dalam novelnya. Novel-novelnya menjadi jalan pembuka untuk mengenal sastra bertemakan sosial, perempuan dan isu marginal lainnya. Tidak terbatas pada novel, tulisannya di beberapa media tak luput ku baca. Sesekali menengok website-nya, barangkali ada puisi yang baru dia tulis.

Dan siapa sangka, jika sosoknya kemudian menjadi teramat penting dan berperan besar bagi perjalananku. Baik di bidang literasi, pemikiran soal perempuan dan kesetaraan hingga menemukan kebebasan serta keberanian melalui peran kata-kata. Secara tidak langsung, tulisan-tulisannya itu membangun kesadaran baru, persepektif baru tentang hal yang selama ini aku anggap ajek.

Satu dekade sudah mbak Okky berkarya, terhitung dari novel pertamanya, Entrok lahir. Di momen yang teramat penting ini, aku ingin mengucapkan selamat & memberikan apresiasi pada beliau, sebagai seorang sastrawan yang telah menuliskan sesuatu yang bersuara. Oleh karenanya, aku akan menarasikan kembali perjalanan bagaimana aku mengenal karya hingga sosoknya.

Semua bermula dari Maryam

Pertemuan ku dengan mbak Okky bisa dibilang seperti sebuah kebetulan. Dalam sebuah festival literasi, aku dapat hadiah yang ternyata isinya novel yang berjudul Maryam. Dari sampulnya aja, novel ini memberi kesan yang sangat berbeda dengan kebanyakan novel yang ku baca. Seorang perempuan tengah memegang rumah. Dari sinopsisnya aku dapat gambaran singkat mengenai sosok yang menjadi judul novel ini. Menarik. Ku bawa pulang dan diselesaikan dalam waktu begitu singkat. Siapa sangka, novel ini kemudian membuatku hijrah sepenuhnya dari novel-novel roman picisan.

Cerita Maryam dimulai dari narasi seorang perempuan yang memilih terasing dari tanah lahir & leluhurnya karena imannya. Maryam seolah mewakili mereka yang bingung dengan pilihan hidupnya lalu dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya hanyalah bagian dari kelompok kecil dan tersudut. Di luar latar belakang agama, Maryam banyak bercerita tentang diskriminasi kelompok marjinal, minoritas. Bagaimana mereka sebagai manusia, hak-haknya dikesampingkan.

Kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah juga terjadi di daerah Sampang, Madura. Meski tidak tahu secara langsung (baca dari berita) rasanya cukup sulit jika berada di situasi tersebut. Siapa yang bisa memaksa orang lain meyakini apa yang tidak mereka yakini? Jika masing-masing orang meyakini setiap kebenaran itu tunggal.

Membaca Maryam, seperti mencoba memahami mereka yang selama ini dikucilkan atas apa yang mereka yakini dan peliknya menjadi kaum minoritas. Setelah membaca Maryam, aku mulai penasaran dengan sosok penulisnya. Lalu berlanjut pada novel Entrok.

Entrok Melawan Patriarki dan Novel Lainnya yang Melekat di Hati

Entrok, novel ke dua yang ku baca ini cukup kompleks. Tentang dua perempuan yang masing-masing punya kekuatan. Marni dengan masa lalu & Rahayu dengan masa depannya. Kisah keduanya saling berkelindan. Perjuangan seorang perempuan, ibu tunggal, konflik ibu – anak, keyakinan, budaya patriarki, hingga isu sensitif era orde baru.

Entrok (bra) menjadi simbol perjuangan seorang marni mendobrak hal-hal yang ditabukan pada perempuan. Secara tidak langsung Entrok membuka jalan bagi marni lepas dari kemiskinannya. Novel ini diceritakan dari dua sudut pandang, Marni & Rahayu sehingga emosi masing-masing karakter begitu terasa. Mbk Okky emang piawai soal ini.

Hal lain yang paling aku suka dari kepenulisan mbak Okky adalah sudut pandang seorang perempuan pertama. Ia digambarkan berani mempertanyakan perbedaan, dan marginal. Beberapa novel yang ku baca sebelumnya selalu menempatkan perempuan sebagai subjek yang pasif, seolah takdirnya tergantung pada lelaki. Mbk Okky & karakter rekaannya tidak demikian. Bahkan bisa ku bilang, ia tidak cenderung mewakili perempuan (meski digambarkan secara fisik perempuan) tetapi manusia pada umumnya.

Menyuarakan Ketidakadilan Lewat Sastra

Berangkat dari sebuah realita permasalahan sosial di sekitarnya, Mbak Okky menyampaikan keresahannya lewat ke empat novelnya. Kritikan penuh prasangka pun pernah ditujukan padanya. Di novel Entrok, ia dianggap menjelek-jelekan Orde Baru lalu di novel Maryam dianggap membela Ahmadiyah. Padahal yang dia lakukan hanya menyuarakan korban. Bahkan acara sastra yang digagasnya tak luput dari tuduhan penyebaran paham Komunis, dan LGBT.

Saya kutip wawancara dengannya dulu, “Saya berfikir menulis karya sastra seperti novel bukan sekadar menghibur dan pengantar tidur. Tetapi menulis novel itu karena memang ada sesuatu yang ingin saya sampaikan dan saya rasa harus diungkapkan. Dengan begitu ketika ada orang membaca yang kita tulis, ada sudut pandang yang berubah, ada cara berfikir yang berbeda, ada upaya untuk mempertanyakan sesuatu yang kita anggap kewajaran.”

Membaca rangkaian novel mbak Okky, pada salah seorang tokoh rekaannya, serasa bertemu diri sendiri dengan persona yang lebih berani, lalu kami berbincang banyak hal yang selama ini dipendam sendiri. Atau tengah berada di situasi yang sama, lalu merasa tak bisa apa-apa karena memang tak punya pilihan. Novelnya seperti memberikan kesempatan melihat lebih dekat pada apapun yang selama ini disekat oleh agama, aturan, dan hal-hal yang ditabukan. Lebih jauh lagi, mengenal lebih dekat apa yang terjadi pada masyarakat kita, negara kita dan para pemimpin kita.

Pada titik inilah saya merasakan betul kata-katanya,

“Saya selalu percaya bahwa yang pertama harus dimiliki dalam menulis adalah keberanian dan kebebasan dari ketakutan agar menghasilkan karya-karya yang bersuara. Tanpa dua hal itu kita takkan bisa menulis apa-apa dan tanpa tujuan apa-apa. Dan itu syarat mutlak. Ketika ada pertentangan dari apa yang kita tulis, itu adalah resiko dari demokrasi itu sendiri.”

lalu mengamininya. Panjang umur usia dan karyamu, Mbak Okky.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!