Patirtaan Ngawonggo
Cerita Embuk

Wisata Budaya dan Kuliner Tradisional Berlatar Situs Purbakala di Tomboan, Patirtaan Ngawonggo

Melewati akhir pekan di Malang, tak akan ada habisnya mengunjungi tempat ngopi atau berwisata alam. Seperti pada pekan sebelumnya, aku dan suami kerap berkunjung ke Malang meski sekadar ngopi atau kulineran. Jika kebetulan kawannya sedang luang, tawaran untuk mengunjungi tempat wisata atau kedai unik selalu datang. Kala itu Ia menawarkan kulineran di Kedai Tomboan yang berada di lokasi situs purbakala Patirtaan Ngawonggo. Tepatnya di Dusun Nanasan, Ngawonggo, Kec. Tajinan, Malang.

Kedai Tomboan berada di antara pemukiman warga yang masih asri. Sepanjang jalan masuk, rimbunan pohon dan tanaman di kanan kiri jalan. Suasana alam nan teduh langsung menyambut. Tiba di kedai Tomboan, nampak beberapa bangunan tradisional yang ikonik. Ingatan saya langsung menyambangi kenangan drama televisi Angling Darma dengan latar perkampungan di era kerajaan nusantara. Mulai dari gapura candi dengan aksara jawa kuno, rumah berdinding kayu, dapur dan seperangkat alat masak tradisionalnya.

Koki maupun pramusaji tampil lebih apik dengan kain jarik. Tangan-tangannya terampil meramu wedang dari bahan alam. Semua dibuat secara tradisional. Ada beberapa pilihan makanan, wedang dan kopi yang bisa dipilih, tergantung ketersediaannya. Untuk makanan berat seperti nasi dan lauk pauknya, pengunjung diharuskan melakukan reservasi terlebih dahulu. Maksimal dua hari sebelum kunjungan dan minimal porsi untuk empat orang.

Karena saat itu datang menjelang sore dan tak terencana, kami hanya kebagian sate tahu, itu pun dibatasi perorang hanya dapat dua porsi. Sate tahu berbumbu kacangnya enak dan bikin nagih. Kami memesan beberapa wedang dan menikmatinya di sisi sungai, lesehan.

Saya tertarik untuk melihat lebih dekat situs pemandian yang berada di seberang sungai. Kawan yang merangkap pemandu wisata (hehehe) menjelaskan beberapa informasi terkait situs Patirtaan Ngawonggo dan latar belakang didirikannya kedai Tomboan.

Kolam pemandian diyakini telah ada sejak masa Kerajaan Medang pada masa kepemimpinan Mpu Sindok. Pada Situs ini terdapat sembilan arca dengan tulisan aksara Jawa. Namun karena temakan usia dan aus oleh kikisan air, yang nampak hanya beberapa arca saja. Lokasi pemandian terbagi menjadi enam kolam yang berbeda dan berada tepat di bibir sungai. Kolam ini diperkirakan menjadi tempat pemandian para bangsawan.

Selesai menengok lebih dekat pemandian, sate tahu ludes tak bersisa, sesapan wedang yang terasa hangat dan nyaman di tenggorokan, kami memutuskan pulang. Membayar semua kenikmatan yang kami terima dengan lembar rupiah pada kotak Kasir Asih.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!