Review Buku Cinta untuk Perempuan yang Tidak Sempurna Najeela Shihab
Memiliki peran baru sebagai ibu kerap mengesampingkan peran lainnya: menjadi anak, istri bahkan menjadi manusia perempuan yang masih ingin melakukan ini dan itu. Belum lagi status sosial sebagai ibu pekerja yang tak henti distigma lebih memilih karir daripada merawat anak di masa emasnya. Semua hal itu selalu mendatangkan rasa tidak percaya diri, rasa bersalah yang tak berkesudahan. Itu setidaknya yang aku alami. Dukungan keluarga memang ada, tetapi perasaan semacam itu timbul dan tenggelam dengan mudah.
Sampai akhirnya, aku bertemu dengan buku Cinta untuk Perempuan yang Tidak Sempurna yang ditulis Najeela Shihab. Saya beruntung bertemu dan berkesempatan membaca buku ini. Terima kasih Mbak Najeela, buku ini memberikan kekuatan untuk perempuan tidak sempurna macam saya. Buku ini semacam buku saku yang harus selalu ada di sakumu, yang sewaktu-waktu bisa kamu baca untuk mengingat semua perjuanganmu dan mengapresiasinya. Yang bisa menguatkanmu kala berada di momen paling tidak nyaman hingga merasa buruk sekalipun. Buku ini bisa menjadi temanmu yang paling dekat, entah itu peranmu sebagai anak, istri, ibu bahkan perempuan lajang.
17 Chapter yang Membuka dan Menghangatkan Hati
Bagian pertama dibuka dengan pembahasan mengenai persaingan antar perempuan, Perempuan vs Perempuan. “Di atas kertas, aneh rasanya membaca data studi yang menyatakan betapa perempuan cenderung saling menjatuhkan, bukan menguatkan” (hal 16). Mbak Ela (panggilan akrab sang penulis), melihat hal ini berakar dari kekeras.an verbal maupun non verbal yang muncul dalam bentuk perundungan. Penilaian, baik yang bersifat mencibir atau pujian yang menyindir menjadi keseharian perempuan. Memandang hidup sebagai ajang kompetisi sehingga muncul ketakutan dan ketidakpercayaan pada perempuan lain yang dianggap saingan. Disadari atau tidak, kita mungkin saja menjadi pelaku atau korban melalui ucapan-ucapan yang seringkali terlontar.
Pada bagian yang lain, perawan tua atau janda sering disebut memalukan. Mbak Ela menggugat melalui kalimat, “Kebahagiaan dilengkapi oleh begitu banyak kelekatan hubungan. Tanpa pasangan tidak menghapus keberhasilan lain yang sudah diraih perempuan” (hal 25). Penulis juga menyoroti tentang remaja perempuan kiwari yang sulit menumbuhkan harga diri yang hakiki karena imaji tentang tubuhnya. Kita memang diberitahu untuk tidak menilai seseorang dari sampulnya saja, tetapi kenyataanya, lingkungannya berlaku sebaliknya. Padahal seharusnya, dia butuh lingkungan yang menguatkan. “Percaya diri tidak tumbuh tanpa dedikasi. Imaji tentang tubuh tidak dipelajari tanpa diskusi tentang nilai” (hal 33).
Cinta di Persimpangan Jalan: Bekerja atau tidak Bekerja
Buku ini banyak membahas tentang peran ibu. Setidaknya ada enam chapter dari jumlah 17 chapter yang membahas peran ibu. Mulai dari multi perannya, hubungannya dengan anak, hubungannya dengan ibunya sendiri, mertua, hingga secara personal, tentang dirinya. “Tidak ada perempuan yang menjalankan hanya satu peran. Menjadi ibu sekaligus anak dan saudara, istri sekaligus menantu dan ipar, ditambah lagi dengan kewajiban lain yang semuanya hadir dengan tuntutan” (hal 63).
Mbak Ela mengatakan, pilihan bekerja bukan pilihan untuk mengorbankan keluarga. Pilihan bekerja bukan pilihan melawan kodrat. Sering sekali memang ibu bekerja dianggap menomorduakan kehidupan rumah tangga, utamanya anak. Tetapi pilihan untuk bekerja tidak melulu soal uang saja, bukan? Jika pun iya, tentulah setiap ibu punya alasan tersendiri yang tak bisa dihakimi oleh orang lain. Tak hanya membahas perempuan/ibu yang bekerja, Mbak Ela juga memberikan sudut pandangnya tentang ibu yang berkarya di rumah.
Drama Ibu dan Putrinya
Menjadi seorang Ibu terkadang membuatku lupa bahwa aku juga seorang anak. Terkadang aku yang minim pengalaman ini merasa sudah tahu segalanya dibandingkan ibuku. Cara pengasuhanku pada anakku, berbeda dengan pengasuhan ibuku padaku dulu. Tak jarang kami sering berbeda pandangan. Hal yang aku rasakan ini juga dibahas dalam buku ini.
“Menyaksikan Ibu kita menua, melepas anak kita menjadi dewasa adalah salah satu pelajaran hidup yang bermakna. Mengobservasi perbedaan tubuh dan keluhan fisiknya, jauh lebih mudah. Dibanding memahami proses psikologis yang dialami dalam hubungan kita.”
Hal yang sering tidak disadari adalah ketika anak tumbuh dan berkembang, orang tua pun sama. Anak-anak menuju masa remaja dengan kebebasannya, pengalaman barunya. Sedangkan ibu menuju masa tua yang senyap karena kekhawatiran melepas tanggung jawabnya. Merasa si anak masih belum cukup mampu berdiri sendiri tanpa dirinya. Yang seringkali membuat komplikasi, ibu maupun anaknya, sama-sama ingin mendapatkan validasi, tetapi di sisi lain merasa terintimidasi.