ahmad tohari
Rak Buku

Review Buku Mata yang Enak Dipandang – Ahmad Tohari

Bagaimana seharusnya hidup berakhir? Sebuah pertanyaan besar. Gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan? Nama? Gak juga. Manusia mati meninggalkan banyak cerita (selain tiga amalan yang gak akan putus). Kali ini karena buku yang gue baca, Mata Yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, bikin kepikiran. Dalam buku kumpulan cerpen ini ada cerpen berjudul Kang Sarpin Minta Dikebiri yang paling membekas.

Sebabnya begini:

Kang Sarpin, seorang penjual beras bersepeda meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Seharusnya cerita ini biasa aja. Toh Kang Sarpin cuma penjual beras, sama dengan penjual beras lainnya. Meninggalnya pun karena kecelakaan lalu lintas, bukan diracun kayak Munir atau dibunuh kayak Marsinah. Sungguh Kang Sarpin adalah orang yang teramat biasa.

Semasa hidupnya, orang-orang mengenal Kang Sarpin sebagai wong gemblung (orang bodoh), gak punya malu, doyan main perempuan dan ia sendiri merasa menjadi aib bagi kampungnya. Makanya kabar meninggalnya Kang Sarpin biasa aja. Tak ada duka, yang ada justru tawa mendengar cerita kegemblungannya. Bisa jadi meninggalnya Kang Sarpin justru menjadi kelegaan orang-orang di kampungnya.

Lalu saat tradisi pemberian saksi bahwa jenazah adalah orang baik-baik, tak ada yang memberi kesaksian atas jenazah Kang Sarpin, kecuali satu satu orang. Pada kaget dong, lah, orang kan taunya Kang Sarpin wong gemblung. Kenapa ia bersaksi? Benarkah Kang Sarpin adalah orang baik?

Ya, orang itu beneran bersaksi. Alasan orang itu sederhana, karena sebelum Kang Sarpin meninggal, Ia sudah berniat untuk jadi wong bener dan mau dikebiri biar gak doyan main perempuan. Bagi orang itu, di ujung hidupnya Kang Sarpin yang bercita-cita jadi wong bener adalah orang baik. Padahal ini orang bukan keluarganya Kang Sarpin apalagi cem-cemannya. Ia hanya orang yang dimintai pendapat saat Kang Sarpin ingin bertobat.

Bagi gue, kisah Kang Sarpin ini penuh pelajaran hidup. Bagaimana orang yang terlanjur kita cap buruk, maka seterusnya akan buruk.

Seolah tak pernah ada kebaikan dalam dirinya. Satu keburukan seseorang menutup semua kebaikan orang tersebut. Kang Sarpin adalah contohnya. Kegemblungan dan birahinya yang meledak-ledak adalah keburukan yang menjijikkan, yang paling diingat orang. Cap itu dikasih tanpa mau tahu bagaimana sisi lain kehidupan Kang Sarpin. Orang  tak mau tahu bagaimana ia bekerja keras menjual beras untuk menghidupi anak bininya. Barangkali pula ada amalan baik yang tak pernah terang-terangan dia perlihatkan. Dan nahasnya, ia meninggal dalam keadaan mencari nafkah sekaligus niat untuk bertobat.

Situasi ini sewaktu-waktu juga bisa terjadi sama siapapun.

Cerita Kang Sarpin ini mirip dengan kisah dalam Hadist yang pernah gue dengar di masa mondok dulu. Cerita lengkapnya gue sadur dari laman Qurandansunnah.wordpress.com. 

Hadits ini menceritakan  tentang orang yang telah membunuh 99 jiwa lalu dia menyesal dan bertaubat serta bertanya tentang ahli ilmu yang ada ketika itu. Kemudian ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah.

Ternyata ahli ibadah itu hanyalah ahli ibadah, tidak mempunyai ilmu. Rahib tersebut menganggap besar urusan itu sehingga mengatakan: “Tidak ada taubat bagimu.” Laki-laki pembunuh itu marah lantas membunuh ahli ibadah tersebut. Lengkaplah korbannya menjadi 100 jiwa.

Kemudian dia tanyakan lagi tentang ahli ilmu yang ada di masa itu. Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang alim. Lalu dia bertanya, apakah ada taubat baginya yang telah membunuh 100 jiwa?

Orang alim itu menegaskan: “Ya. Siapa yang bisa menghalangimu untuk bertaubat? Pintu taubat terbuka lebar. Tapi pergilah, tinggalkan negerimu menuju negeri lain yang di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jangan pulang ke kampungmu, karena negerimu adalah negeri yang buruk.”

Akhirnya, lelaki itu pun pergi berhijrah. Dia berangkat meninggalkan kampung halamannya yang buruk dalam keadaan sudah bertaubat serta menyesali perbuatan dan dosa-dosanya. Dia pergi dengan satu tekad meninggalkan dosa yang dia lakukan.

Di tengah perjalanan pertaubatannya, datanglah kematian menjemputnya, (lalu dia pun mati). Maka berselisihlah malaikat rahmat dan malaikat azab tentang dia.

Malaikat rahmat mengatakan: “Dia sudah datang dalam keadaan bertaubat, menghadap kepada Allah dengan sepenuh hatinya.”

Sementara malaikat azab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah mengerjakan satu amalan kebaikan sama sekali.”

Datanglah seorang malaikat dalam wujud seorang manusia, lalu mereka jadikan dia (sebagai hakim pemutus) di antara mereka berdua. Maka kata malaikat itu: “Ukurlah jarak antara (dia dengan) kedua negeri tersebut. Maka ke arah negeri mana yang lebih dekat, maka dialah yang berhak membawanya.”

Lalu keduanya mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa orang itu lebih dekat kepada negeri yang diinginkannya. Maka malaikat rahmat pun segera membawanya.

Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana seharusnya hidup berakhir? Tak ada yang bisa memastikan. Yang bisa dilakukan hanyalah bagaimana hidup seharusnya bergulir sampai akhir. Tanpa harus menilai dan mencap orang lain buruk. Sebab kita tak pernah tahu bagaimana sisi lain dan isi hati orang lain.

Daripada sibuk memberi label pada hidup orang lain, mending sibuk nyari label sendiri. Bismillah, Khusnul Khotimah.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!