Ruang Kata & Rasa

Embok Randeh Kasehan, Perempuan Sunyi dari Bulan

Suatu ketika ibu bercerita tentang seorang perempuan yang tinggal di Bulan. Embok Randeh Kasehan, namanya. Cerita yang sama juga dituturkan oleh nenek, yang juga diceritakan oleh ibu dari ibunya nenek.

Konon, perempuan itu mengasingkan diri dari Bumi dan dari manusia yang mendiaminya. Ia akan nampak ketika bulan purnama menuju gerhana. Kau tahu kenapa ia menjauh ke sana? Sebab kidung yang tak henti ia senandungkan serupa rapalan mantra, menarik jiwa-jiwa manusia menuju lara yang sama.

****

Rambut panjang adalah mahkota bagi perempuan. Ya, jika anda berambut pendek, anda belumlah memiliki mahkota atau menjadi selayaknya perempuan. Perempuan pertama kali dilihat dari atasnya, bukan bawahnya. Bagian atas ini tentulah meliputi wajah dan rambutnya. Paras yang cantik tidak selalu menarik para lelaki tetapi rambut yang panjang sudah tentu menjadi pertimbangan para bujang menyukainya. Apalagi jika ia pandai merawat rambutnya hingga sehitam legam bak arang, sehalus kain sutera, dan palek katopak (rambut bergelombang seperti lekukan/untaian daun ketupat). Serta cakap menyanggul rambutnya, menghiasnya dengan ronce melati dan kembang kantil.

Tidaklah dikatakan perempuan pula, jika anda tak cakap bersolek, mengenakan sarong dan kebaya dengan tepat. Saya katakan tepat sebab cukup banyak perempuan yang menganggap remeh-temeh perkara ini. Saat mengenakan sarong, misalnya. Anda harus tahu motif, kelir (warna), dan akan digunakan pada acara apa. Motif bunga, cocok digunakan sehari-hari. Motif burung, lambang kehidupan, pantang dipakai saat berduka.

Di samping itu, penting mengetahui letak tumpal sarong ketika menggunakannya. Bagi peraben (gadis perawan, belum menikah) harus diposisikan di bagian belakang, sebaliknya bagi yang sudah menikah diposisikan di depan. Perihal tumpal sarong ini sudah menjadi pengetahuan umum, para kacong (bujang) yang kebelet nikah, cukup melihat tumpal sarong peraben yang dia kehendaki, lalu datang melamar. Jikalau perempuan tak tahu posisi sarong, maka sungguh tidak melek pengetahuan dirinya.

Saya katakan pula, bahwa sudah selayaknya ia memiliki kemampuan memasak, meramu jamu dan urusan rumah tangga lainnya. Sebab kelak ketika ia sudah bersuami dan beranak, ialah yang akan mengurusnya. Perkara yang satu ini menjadi pertimbangan tidak hanya bagi lelakinya saja akan tetapi juga oleh calon mertua serta kerabatnya. Malang sungguh jika perempuan hanya bisa macak (berdandan) saja tanpa bisa melayani sang lelaki dengan sebaik-baiknya kemampuannya.

Jika perempuan sudah memiliki standar di atas, dia lebih mudah dilirik dan dipinang. Sayangnya, ada satu hal yang membuat standar di atas tidak berguna yaitu ketika dihadapkan pada tatanan sosial antara si perempuan dan laki-laki. Pertimbangannya kira-kira seperti ini: Perempuan dari kalangan jelata hanya boleh dipinang oleh lelaki dari kalangan yang sama. Jikalau ada keluarga bangsawan menghendakinya, perempuan tersebut haruslah memiliki standar yang lebih baik dari yang telah saya sebutkan. Memang hal ini jarang sekali terjadi karena keluarga priayai lebih menyukai menikahkan anak-anaknya dengan kerabat sendiri atau handai tolan yang memiliki derajat yang sama atau yang sudah jelas bebet, bobot dan bibitnya.

Pernikahan perempuan dan lelaki sesama bangsawan juga dikehendaki oleh rakyat. Keluarga bangsawan menempati posisi yang sama tingginya dengan pemuka agama dalam tatanan sosial. Mereka dihormati sekaligus dibanggakan karena sumbangsih leluhurnya di masa lalu. Oleh karenanya, keturunannya haruslah calon terbaik untuk memimpin rakyat. Sekaligus sebagai salah satu cara melanggengkan trah bangsawan di daerah kekuasaannya. Akan tetapi, saya menduga ada hal lain mengapa pernikahan perempuan jelata dengan lelaki bangsawan ditabukan. Saya berpikir ada kecemburuan sosial antar rakyat maupun sesama kalangan bangsawan jika pernikahan semacam itu terjadi.

Seperti hal yang terjadi ketika seorang raden yang mewarisi darah agung Kerajaan Medang Kawulan, kerajaan dari tanah Jawa yang menjadi cikal bakal adanya kerajaan Madura, jatuh cinta pada seorang perempuan jelata. Hasrat untuk meminang perempuan jelata itu telah membuat geger keraton Madura hingga Jawa. Sebabnya, Sang Raden adalah putra mahkota yang ditasbihkan menjadi raja selanjutnya. Sudah tentu perihal ini seperti mencoreng muka keluarganya sendiri bahkan keraton lain pun merasa tersinggung. Seolah sang raden tak mengindahkan keberadaan putri-putri keraton yang standar kecantikannya di atas rata-rata dan sudah tentu baik bebet, bobot dan bibitnya.

Lalu siapakah perempuan jelata yang membuat putri keraton merasa terhina dengan keberadaannya?

*****   

Jika penciptaan Drupadi melalui pertapaan Prabu Drupada kepada sang pencipta, seorang perempuan jelata bernama Rahayu dikisahkan terlahir dari rahim seorang pertapa perempuan. Akan tetapi ada juga desas desus yang mengatakan jika perempuan yang melahirkan Rahayu adalah jelmaan siluman sehingga anaknya, dalam hal ini Rahayu, mewarisi kemampuannya melihat & meramalkan masa depan. Tak heran jika kemudian Rahayu dikenal sebagai cenayang dan tak heran pula jika Raden Arya ingin meminangnya, tidak sebagai gundiknya tetapi menjadi istrinya yang sah dan diakui oleh keluarga keraton.

Raden Arya yang rupawan dan berbudi luhur itu telah kena pelet Rahayu.

Terlepas dari rahim siapa ia dilahirkan, Rahayu adalah salah satu penciptaan Tuhan yang dianugerahi paras sempurna, tak ubahnya paras Dewi Retno. Bahkan dikisahkan, ia adalah penjelmaan Dewi Retno.

Pada awalnya pinangan Raden Arya pada Rahayu ditentang keluarga keraton. Namun besarnya kasih sang raden ternyata mampu membawa Rahayu menginjakkan kaki di keraton dan menjadi istri sah Raden Arya. Banyak yang iri sekaligus mengakui dalam hati jika pasangan Raden Arya dan Rahayu sangat serasi. Pernikahan keduanya menjadi serapah.

****

Barangkali Tuhan pun cemburu melihat ketulusan hati keduanya. Tuhan seolah ingin menguji seberapa sungguh dan lekatnya cinta kasih Raden Arya dan Rahayu. Tuhan pun memutuskan untuk memberi jarak, di mana satu sama lain tak dapat saling mengunjungi. Jarak antara yang hidup dan mati.

Pada sebuah perburuan, Raden Arya tewas diterkam hewan buruannya. Jiwanya terlepas dari jasadnya, dibawa ke nirwana tempat para dewa-dewa.

Serapah telah menjadi tulah.

Tak ada yang menandingi kesedihan Rahayu. Tapi siapa yang peduli? Bukankah lantaran perempuan itu, seorang raden yang agung tewas di usianya yang masih teramat muda. Perempuan itu telah membawa petaka dan duka di seluruh pulau Madura. Semua jari telunjuk mengacung padanya sebagai penyebab kedukaan.

****

Bulan putih merintih di tepi telaga
Seorang wanita jelata mengidung penuh lara

Menepi, menyepi. Kedukaan Rahayu tak henti. Kedukaannya menjalar ke setiap hati, di sepanjang hari dan tak kenal diri. Kedukaannya menjadi petaka ke dua.

Tidak ratusan purnama, merindumu sudah sejak bulan serupa sabit hingga ia menuju gerhana.
Tahukah kamu bagaimana sakitnya?
Gusti pangeran, kenapa tidak kamu ambil saja diri ini?

Banyak yang menyebut bahwa rahayu telah kehilangan dirinya. Jiwanya telah dibawa pergi roh jahat yang selama ini memantrai Raden Arya. Oleh karenanya, siapapun yang mendengar kidungnya, seolah merasakan kehilangan dan kegilaan yang sama.

Maka, Rahayu terasing dari tanah yang ditinggalinya. Di mana kakinya dipijak, tak satu pun yang sudi menerimanya. Bumi telah menolak dirinya sehingga Tuhan menempatkannya di semesta yang berbeda. Semesta yang mengekalkan diri dan kedukaanya.

Rahayu, cebbeng raddin.
Cinta macam apa yang membuat jisim mu hidup tetapi jiwamu redup?

Cerita ini terinspirasi dari sastra lisan Madura, Embok Randeh Kasehan, yang pernah diceritain nenek. Konon katanya ia seorang perempuan tua dengan tongkat dan tinggal di bulan. Ia hanya nampak ketika bulan purnama.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!