Menemukan Nyaman pada Diri Sendiri
Sore itu, dalam perjalanan pulang ke tempat tinggal, aku naik kereta dengan rute Stasiun Wonokromo – Stasiun Bangil. Seperti biasa, aku selalu mencari tempat duduk di gerbong pertama, yang menurutku tidak seramai gerbong lainnya dan kesempatan mendapatkan kursi kosong lebih besar. Aku juga mencoba menemukan nyaman ku sendiri, memilih kursi dengan nomor 7E. Pertimbangannya, aku suka angka 7, dan huruf E berada di sisi jendela dengan jumlah kursi penumpang hanya dua. Ini penting, karena aku kurang bisa berinteraksi dengan penumpang lain yang mayoritas menggunakan bahasa jawa. Aku mengantisipasi obrolan yang tidak nyambung karena aku tidak bisa berbahasa Jawa. Selain itu, aku bisa menikmati perjalanan dengan menulis, membaca, nonton atau bahkan tidur.
Terkadang tidak sesuai harapan juga. Kursi nyaman yang ku pesan ternyata lebih dulu diduduki penumpang lain. Atau penumpang di sebelahku yang di luar dugaan. Seperti perjalanan sore itu. Duduk di kursi yang cukup nyaman, aku pakai headset, memutar musik dan memulai menulis. Tak berselang lama, seorang perempuan muda di sebelahku menyapa dan aku membalas sapaannya. Obrolan basa-basi dimulai dengan pertanyaan mau turun di mana, naik dari stasiun mana, kerja atau kuliah. Aku menjawab runtutan pertanyaannya, lalu aku tanya balik sebagai bentuk sopan santunku. Setelah basa basi itu selesai, aku kembali pada tulisanku hingga kemudian dia kembali melemparkan pertanyaan.
Ia bertanya kepada ku, “Kerja apa di Surabaya, mbak?”. Aku jelaskan sekilas mengenai profesiku sebagai seorang yang mengelola pemasaran digital. “Kok bisa si Mbak kerja sejauh itu?” Ku beritahu kepindahan dan mutasi dari kantor yang sebelumnya di Jakarta. “Kenapa mbak ga nge-kos di daerah Surabaya aja?” Ku beritahu pula statusku yang tidak lagi lajang. Lalu berbuntut opini berbalut nasehat yang menyudutkan. Dia mengungkapkan gagasannya berdasarkan pengalaman dirinya. Menurutnya, akan lebih baik jika aku mengikuti nasehatnya.
Aku jadi teringat sebuah ungkapan, “jangan memberi nasehat tanpa diminta. Terlebih jika kamu tidak mengenalnya dengan baik,”
Sebetulnya aku bisa saja mengabaikan pertanyaannya, sejak dari awal, ngapain juga sih menjelaskan pada orang lain tentang apa pilihan hidupku. Karena bagaimana pun, itu tidak berpengaruh sama hidup mereka. Nyaman yang aku pilih tidak akan sama dengan nyaman yang dia pilih. Memang, siapapun berhak menyuarakan pikiran mereka. Tetapi memaksakan orang lain mengikuti apa yang ada dipikirannya tidak tepat.
Perjalanan lebih dari 30 KM ini belakangan menjadi rutinitasku di hari senin hingga jumat, hari kerja. Cukup jauh jarak dan menghabiskan waktu sekitar 1.5 jam untuk perjalanan berangkat maupun pulang. Lokasi Stasiun Wonokromo dengan kantor pun berjarak sekitar 2 KM, pun tempat tinggal dengan Stasiun Bangil. Kenapa aku memilih tetap bekerja dengan jarak dan waktu yang selama itu?
Bagiku bekerja bukan hanya persoalan mendapatkan penghasilan tetapi memberdayakan diri. Memberdayakan diri untuk terus berkembang dan tumbuh melalui perjalanan yang aku lewati, pertemuan dengan orang, dan kemampuanku yang ternyata bisa dimanfaatkan. Beruntung aku memiliki suami yang mendukung hal itu, tidak mengungkungku atas nama kewajiban istri di rumah. Kami sepakat untuk sama-sama belajar, dan tumbuh. Dan apa yang aku yakini ini tentu berbeda dengan perempuan bersuami lainnya. Aku ataupun mereka berhak menentukan apa yang nyaman buat dirinya sendiri. Bukan menurut orang lain.
Jika aku nyaman menjalani rutinitas yang melelahkan itu, apa masalahmu?