Menjumpai Pagi dan Realitas Diri
Setiap pagi atau pada irisan waktu lainnya, selalu ada yang bangun dari tidur dengan tergesa. Entah karena alarm, suara adzan atau panggilan gaib yang membangunkannya. Seolah sudah diatur, tiap pukul sekian, pada hari senin hingga jumat, tubuhnya akan terbangun dari tidurnya. Memutus mimpi-mimpi yang melenakan. Tanpa memberikan kesempatan pada kantuk, bergesa-gesa ia membasuh diri. Meluangkan waktu setidaknya 20 hingga 30 menit untuk mempersiapkan diri, bahwa Dia siap menghadapi hari ini.
Jika sempat Dia sarapan, ya meski hanya setangkup roti tawar berselai mentega yang dioleskan tipis-tipis dan secangkir teh hangat tawar, tak ada nasi uduk atau nasi kuning di hari senin hingga jumat. Kenikmatan itu hanya bisa ditemui pada sabtu atau minggu pagi, itupun jika tidak bangun kesiangan. Jika pun tidak sempat sarapan, semampunya tetap terjaga di sepanjang jalan. Entah itu dengan sebatang rokok atau seduhan kopi sachet yang dibeli di pinggir jalan.
Siapakah dia? Bisa jadi aku, yang tiap hari menunggu kereta komuter yang rajin telat atau kamu dengan motor kreditan yang terjebak macetnya lalu lintas. Siapakah mereka? Seorang manusia yang sedang memenuhi tuntutan hidup di sebuah tanah rantau. Seorang manusia yang menjadi tumpuan manusia lainnya. Kerja keras adalah nama belakang ke duanya.
Dalam perjalanan menuju lahan pencaharian, resah sudah mulai menghampiri. Mulai dari pesan Whatsapp yang tak terbaca dari semalam dan meminta dibalas secepatnya. Pemberitahuan tagihan-tagihan jelang jatuh tempo. Pemberitahuan masa berlaku paket data yang hanya tinggal hitungan hari. Pemberitahuan memperbarui aplikasi ponsel. SMS harian dari tukang tipu yang bebal, yang tiada letihnya mengabarkan hal yang sama, bahwa dia menang undian senilai jutaan rupiah.
08.00 WIB. Angka yang disepakati sebagai waktu akhir absensi. Lebih satu menit saja, ada denda menanti. Tak ada toleransi pada segala bentuk ketidakdisiplinan. Namun jika bekerja melewati jam kerja yang disepakati, itu adalah loyalitas. Tak ada uang lembur, manfaatkan waktu kerja agar tak menganggur. Jika pun sakit karena terlalu keras bekerja, perusahaan sudah memberikan fasilitas BPJS kelas satu.
Tiba di lahan pencahariannya, Dia segera memutus layanan data, menghubungkan dengan wifi gratisan. Aplikasi-aplikasi di ponsel segera memperbarui diri otomatis hingga muncul pemberitahuan bahwa kapasitas memori telah penuh. Dasar hape murah dan spek terbatas. Sapaan pagi rekan sejawat mendatangkan semangat baru, sedikit curhat tentang pekerjaan, sedikit rutukan pada bos, menjadi sarapan pagi yang jauh lebih berenergi.
Setumpuk dealine menunggu diselesaikan dalam beberapa folder komputer. Ah, tak lupa daftar lagu spotify dipilih dan diputar secara acak. Maklum, gratisan. Bukannya memilih daftar lagu penyemangat, Dia justru memutar lagu yang sekiranya dapat mewakili suasana hatinya seminggu terakhir ini. Keputusasaan, lelah, dan galau. Dia punya cara sendiri menikmati rasa hatinya belakangan ini. Termasuk disoundtrackinisasi dengan lagu-lagu galau. Apa salahnya?
“Selesaikan secepat dan setepatnya, ya! Saya tunggu sebelum jam makan siang,” pop up Whatsapp muncul, tak lama setelah pantat menempel di bantalan kursi yang tipis. Baru sehelaan napas, menyusul percakapan-percakapan lain yang terkadang tanpa saringan, tidak antar muka lagi, tetapi antar muka-muka orang. Terkadang lengkap dengan gerak tangan berpadu dengan gerak mulut, alis dan mata. Intruksinya jelas. Dia segera membabi buta mengerjakan apa yang tersaji di depan komputernya. Terkadang melewati jam istirahat.
“Hanya gitu saja hasilnya? Duh, masa iya kemampuanmu cuma segini aja? Ayolah, perlu ku bilang berapa kali sampai kamu ngerti sama apa yang saya sampaikan? Masa iya saya harus turun tangan sendiri, terus kerjamu apa?”
Dia diam, tak punya kemampuan melawan, sekadar hanya mengancungkan jari tengah. Jangankan bicara, baru membuka mulut saja sudah dibungkam. Baru berpikir saja, bayangan-bayangan tagihan, kewajiban, dan kebutuhan hidup segera memupusnya.
Percayalah, dia kesal setengah mati, pada dirinya, pada bosnya. Tetapi dia benar-benar tak bisa apa-apa, kecuali menahan tampungan air mata di balik kelopak mata bawahnya. Sembari tersenyum getir, dan meyakini dirinya, ia mampu bertahan dan memperbaiki semuanya.
“Siapa sih dia, kok sampai sebodoh itu, sampai atasan mengumpat beruntun? Apakah Ia anak magang yang belum kenal dunia kerja? Atau Dia anak sultan yang baru kenal kata kerja? ”
Dia diam, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan itu. Siapa dirinya? Sudah lima tahun ini ia mengumpulkan kata hanya untuk merumuskan dirinya Siapa? Apa posisinya dalam perusahaan? Apa peranannya? Jika memang dirinya sebodoh yang dirumuskan orang lain, kenapa ia masih dipekerjakan dalam bilangan tahun? Siapa Dia?
Bisa saja Dia itu Aku! Lolos seleksi namun tidak memenuhi ekspektasi. Atau Kamu yang sewaktu-waktu kena jatah marah tetapi memilih tetap tabah. Atau Kita yang memilih bertahan karena tuntutan hidup yang tak pernah usai.
Dan besok, Dia akan mengulangi hal yang sama. Serta doa dengan template yang sama: Ya, Tuhan, semoga besok Aku dapat bangun pagi. Tanpa segelas martini.