Ruang Kata & Rasa

Para Keparat

Pentingkah bagimu, bagaimana orang-orang akan mengenalmu?

Pentingkah bagimu, bagaimana orang-orang akan menilaimu?

Pentingkah bagimu, bagaimana orang-orang akan mengenangmu?

Itu pertanyaan yang sering kau tanyakan padaku. Berulang, berulang dan berulang. Hanya waktu dan situasinya saat kau bertanya yang berbeda.

Dan jawabanku masih sama. Tak pernah berubah.

“Tidak penting,”

Lalu kau akan menanyakan alasannya. Ya, jawaban singkat dan tegasku tak pernah memuaskanmu. Kau selalu butuh jawaban lebih. Alasan-alasan yang bisa diterima oleh nalarmu.

“Sebab aku hidup, ya untuk hidupku sendiri. Orang lain hanya bagian kecil dari bagian besar hidupku.” kataku. Detik berikutnya, selalu bisa kutebak. Kau mendebat karena apa yang kusampaikan tak sesuai dengan isi kepalamu.

“Kau tak takut dianggap egois, terlalu individualis? Bukankah dalam kondisi sosial bahkan agama, orang lain akan selalu terlibat dengan hidupmu. Misalnya, ketika kau memilih Tuhan yang berbeda dengan bapak dan ibumu. Memang, pilihan itu adalah mutlak hakmu sebagai manusia. Tetapi sangat mustahil jika hal itu tidak memengaruhi Bapak dan Ibumu. Kau mungkin bisa menerima persepsi orang-orang atas dirimu. Lalu bagaimana dengan Bapak dan Ibumu?”

“Beragama bukan lagi urusan pribadi manusia dengan Tuhannya. Aku tahu itu. Beragama adalah urusan semua orang. Dalam hal ini, aku jelas tak bisa apa-apa kecuali tetap teguh dengan pilihanku. Bapak dan Ibuku menghargai hal itu. Soal persepsi orang lain, itu tidak penting. Seperti yang kukatakan sejak awal, narasi mereka tentang hidupku, hanya bagian kecil dari bab hidupku yang beratus bab. Yang mudah terlupa dan tidak mempengaruhi jalan cerita.” jelasku.

Lalu kau diam dengan raut muka yang kusuka. Sumringah. Menyerah? Kalah beradu argumen denganku?

Tidak. Sedari awal, kau memang tak butuh jawaban. Yang kau butuhkan adalah kawan yang bisa melawan semua gugatan-gugatanmu pada hidup. Yang selalu kau ubah subjek dan objeknya. Sesungguhnya, pertanyaan-pertanyaanmu itu adalah pernyataan-pernyataanmu atas hidup yang memuakkan. Jika kubahasakan kembali, setidaknya akan terdengar seperti ini,

“Jancuk! Kau terlalu sibuk membuat orang mengenali siapa dirimu.

Jancuk! Kau terlalu takut orang-orang akan menilaimu.

Jancuk! Kau terlalu ambil pusing bagaimana orang-orang akan mengenangmu

Lalu bagaimana kau akan hidup jika ketakutan seperti itu mengikutimu?

Kau hidup atas nama siapa? Dirimu atau orang lain?

Dan itu yang membuatku tak pernah menolak ajakanmu untuk bertemu meski selalu tiba-tiba, tak terencana, datang begitu saja. Seperti malam ini, kau tiba-tiba saja datang.

Kau memang teman yang baik: yang selalu datang di saat aku butuh dan pergi saat aku tak butuh. Kau tahu betul posisimu, brengsek.

****

Aku ingin mengenang kapan kita bertemu dan mulai mengakui satu sama lain bahwa kita berteman.

Satu tahun yang lalu.

Saat itu aku baru memutuskan berTuhan beda dengan Tuhan bapak dan ibuku. Narasi-narasi tentangku pun mulai dikarang, busuk sebusuk-busuknya. Aku dikucilkan, bukan oleh Bapak dan Ibuku, tapi oleh narator-narator itu. Aduhai, betapa tajamnya lidah mereka. Ungkapan “tajamnya lisan lebih tajam dari mata pedang” ada benarnya.

Kala itu, narasi mereka adalah kebenaran yang harus diyakini semua orang. Katanya, aku adalah seorang pendosa, pembangkang, durhaka dan orang tuaku akan masuk neraka karena ulahku. Aku telah berada dalam kesesatan, salah memilih jalan.

Katanya pula, aku adalah aib bagi keluarga, lingkungan dan agama. Maka, pengasingan adalah sebaik-baiknya tempatnya bagi pendosa sepertiku.

Mereka lupa, bahwa aku juga manusia.

Lalu di pengasingan, aku berjumpa denganmu. Tanpa basa-basi perkenalan, seolah kita sudah lama saling mengenal. Dan kau mulai bercerita tentang hidupmu, tentang pilihan yang mengantarkanmu ke tempat pengasingan, tentang narator-narator yang tak kalah ulung. Bahkan dengan brengseknya kau menyebut bahwa para narator itu adalah para keparat. Mengaku paling beragama, tapi sikapnya tak menunjukkan layaknya orang beragama.

Dan, pertanyaan itu pun terlontar dari mulutmu,

“Pentingkah bagimu, bagaimana orang-orang akan mengenalmu? Pentingkah bagimu, bagaimana orang-orang akan menilaimu? Pentingkah bagimu, bagaimana orang-orang akan mengenangmu?”

Aku menggeleng pasti. Jika semua hal itu penting, maka aku tidak sedang bercakap-cakap denganmu. Kau terbahak, aku pun ikut terbahak.

“Selamat datang di kesunyian, kesendirian.”

Dan kita kembali terbahak bersama.

Jakarta, 04/12/2017

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!