Ruang Kata & Rasa

Untukmu yang Tak habisnya Ku Cintai dan Rindui

“Menjadi dewasa, meninggalkan masa kanak-kanak, jika ku tahu sesakit ini, aku ingin seterusnya menjadi anak-anak,”

Helai rambutku mulai memutih. Melangkah saja mudah letih. Ingatan bak dedaunan menjelang musim kemarau, luruh perlahan. Sebelum semuanya benar-benar hilang, ku narasikan kembali bagaimana aku mengenang tentang dirimu dan segala hal yang melekat pada dirimu. Dan tentu saja, semua hal tentang dirimu itu yang membentuk diriku saat ini. Seorang perempuan, anak, cucu dan istri yang dapat ku definisikan sukses dengan didikanmu.

Kenangan ini ku mulai dengan ku sebut namamu, H. Kalidin/H. Sholeh dan Hj. Qomariyah/Mariyeh, Mak Nyai dan Mbok Nyai yang ku cintai dan ku rindui. Bertahun silam, setelah perceraian orang tua yang menyakitkan itu, kalian merangkul ku dan kakak. Menyokong Ibuk demi memenuhi kebutuhan kami. Memastikan kami tumbuh selayaknya anak lainnya.

Lebih jauh lagi, terkenang masa muda kalian, dari cerita yang pernah kalian tuturkan. Di sela waktu, atau menjelang tidur.

Mak Nyai dan Mbok Nyai lahir dan tumbuh di era Jepang masih menduduki pulau Madura (itulah alasan Mak Nyai bisa berbahasa Jepang). Jepang dikenal sebagai penjajah yang sadis sama pribumi. Hasil bumi sering dirampas dan dipaksa disetorkan sama mereka. Padahal hasil bumi di Madura cuma itu-itu aja, singkong, jagung, ketela. Dari kenangan yang bisa diingat Mbok Nyai, saking sulitnya masa itu, makan ketela sudah jadi barang mewah.

Mbok Nyai muda berasal dari Kampung Prompong, bersebelahan dengan Kampung Bujur, tempat Mak Nyai tinggal. Keduanya adalah pemuda pekerja keras. Mbok Nyai berdagang begitu pula Mak Nyai. Dari cerita ibu, Mbok Nyai muda tinggal sama neneknya setelah ibunya meninggal dan bapaknya menikah lagi. Untuk membantu kebutuhan sehari-hari nenek, sekadar buat beli kopi, Mbok Nyai muda mencari kerang di laut dan menjualnya ke daerah yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Jalan kaki. Cerita yang sama juga dituturkan ibu tentang Mak Nyai muda, yang berdagang celurit dari satu kampung ke kampung lain.

Urusan cinta, saya yakin itu nomor kesekian. Di zaman mereka, gak ada pacaran seperti yang dialami muda-mudi jaman sekarang. Semuanya berjalan sangat biasa: mereka saling kenal, suka lalu menikah. Udah gitu aja. 

Mak Nyai muda ternyata dikenal punya beberapa kekasih sebelum akhirnya menikah dengan Mbok Nyai. Mbok Nyai tentulah sebagaimana gadis-gadis di masa itu, menunggu lelaki yang meminangnya. Dan Mak Nyai pun bukan lelaki pertama yang datang ke hati Mbok Nyai. Dasar jodoh, keduanya dipertemukan dan menikah. Memiliki anak-anak dan menjalani kehidupan yang penuh perjuangan untuk membesarkan anak-anaknya. Sepanjang perjalanan ini, hanya mereka berdua yang tahu bagaimana mereka memaknai cintanya.

Menjadi tua, kedua nya menjadi tua, menjadi renta. Di titik inilah, gue menyadari betapa cinta itu gak sekadar sayang-sayangan, berkirim pesan penuh cinta, bunga dan simbol artifisial lainnya. Bahkan gue yakin, keduanya tak pernah mengalami momen seperti itu. Cinta keduanya terwujud dalam seduhan kopi Mbok Nyai kala pagi, dan omelan-omelannya sebab Mak Nyai.

Menjadi tua, lalu tiada. Dan aku tak henti untuk terus mencintai dan merindui mu. Alfatihah.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!