Seorang Pencerita Yang Kehabisan Kata
Seorang pencerita kehabisan kata
Tak ada diksi, frasa yang bisa ia reka
Seorang pencerita kehilangan rasa
Hampa
Seorang pencerita kehilangan daya
Terdiam saja di sudut sana
Seorang pencerita kehilangan makna
Seorang pencerita kehilangan asa
Sore itu basah. Hujan turun lebih lebat dari biasanya. Bahkan beberapa titik di ibu kota telah tergenang air hujan. Semrawut kota ini makin jadi. Macet, banjir dan umpatan pengguna jalan menambah ruwet sore. Suasana hujan yang demikian, seharusnya aku tengah terlelap di balik kasur yang hangat. Sibuk membangun mimpi-mimpi indah yang tak bisa kuwujudkan dalam dunia nyata.
Namun sebuah pesan singkat bernada gelisah, dari seseorang yang membuatku gelisah belakangan ini, memupus rasa kantukku. Pesan singkat bernada gelisah itu, tak bisa kuabaikan begitu saja. Aku justru mengharapkannya, bahkan seharusnya dari awal.
“Setelah kata, aku akan kehilangan apa?”
Pesan itu tak kujawab. Dan ia memang tak membutuhkan jawaban. Ia membutuhkan keberadaanku, butuh telinga dan bibirku. Maka pesan bernada gelisah itu serta-merta membawa tubuhku dari hangatnya kasur menuju kedai kopi, tempat dimana ia selalu menenggelamkan diri.
*****
Dan benar saja, ketika kakiku menapak di lantai kedai, ia sudah duduk di sana, di sudut favoritnya. Termenung dengan pandangan ke luar jendela, menatap kosong rimbunan tanaman perdu yang tengah di dera hujan deras. Aku mendekat setelah memesan kopi hitam pada barista.
Oh Tuhan! Apa yang sedang dipikirkan perempuan ini? Bahkan, ia tak sadar dengan kedatanganku! Dan lihat, kopi yang dipesannya belum tersentuh sedikit pun. Masih di posisi di mana pelayan kedai meletakkannya. Embun dari panas kopi pun masih mengendap di dinding gelas. Sudah berapa jam dia mengabaikan kopi dan akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan itu? Sudah berapa banyak pertimbangan hingga akhirnya memutuskan bahwa ia butuh orang lain?
“Re,” panggilku. Perempuan itu bergeming. “Re,” ulangku sembari menyentuh pundak kurusnya. Barulah ia bereaksi dengan sapaanku. Ia menoleh, tersenyum tipis.
“Oh, kau,” responnya, singkat, seperti biasa. Aku membalas senyumnya lalu duduk di kursi di hadapannya. Perempuan ini sangat berbeda dari kebanyakan perempuan yang ku temui. Ia perempuan yang kaku. Bicara, tersenyum, tertawa dan marah seperlunya. Ia seolah memiliki takaran wajib atas semua emosi yang dimilikinya. Tak pernah melebihi takaran.
Ia berbicara, tersenyum, tertawa dan marah melebihi takarannya hanya dalam kisah yang dia tulis. Melalui tokoh-tokoh yang ia ciptakan dan kata-kata yang ia rangkai. Bahkan aku berpikir, tokohnya jauh lebih hidup dan manusiawi dibandingkan dirinya sendiri. Inilah anehnya perempuan ini. Menebak pikirannya seperti menebak isi kepala pejabat korupsi di negeri ini. Misterius.
Sampai pada hari itu, ia bilang padaku, bahwa ia akan menarik diri dari dunia kepenulisan. Tentu saja, sebagai editor sekaligus pengagum tulisannya, hal itu mengejutkanku. Bukan karena buku-buku best sellernya akan mengurangi pendapatan penerbit, bukan pula penerbit akan kehilangan satu-satunya penulis terbaik yang kerap mendapat penghargaan sastra. Re, dan penerbit adalah jiwa dan raga yang saling mengisi. Keduanya lahir secara bersamaan. Dan, aku yang telah melahirkan keduanya.
Dan tulisan-tulisan itu adalah bagian dari dirinya. Aku tahu itu. Hal itu pernah ia sampaikan padaku, “Apalah artinya seorang Re tanpa kata-kata, tanpa cerita-cerita. Hidupku ada dalam tulisan. Berhenti menulis adalah kematian besar bagi seorang sepertiku.” ujarnya kala itu. Ia tak sedang berdrama atau mengutip potongan cerita yang ia buat. Re tengah bicara tentang dirinya, tentang hidupnya dan itu hal yang jarang terjadi.
Jadi keputusannya kali ini bukanlah sesuatu yang main-main. Bukan rengekan anak kecil yang sedang ngambek karena suatu hal. Lalu sebagai “ibu dan bidan” yang membantu proses kelahirannya sebagai penulis yang dikenal banyak orang, itu mengejutkanku. Mana ada seorang “ibu” yang merelakan anaknya menuju kematian dan malah mengantarnya ke kematian itu sendiri.
*****
“Aku telah kehilangan kata.” ujarnya, mengulang pernyataannya kala itu. Ya, itulah jawabannya saat aku mempertanyakan alasannya berhenti. “Mata itu telah merenggutnya. Aku tak bisa lagi menemukan kata-kata.” ungkapnya berat.
Aku mencoba mencerna ucapannya. Tapi tak juga kupahami. Mata itu siapa? Kenapa ia membuat Re kehilangan kata-katanya? Mata apa yang membuat orang seperti dia menjadi tak bisa menemukan kata-kata? Apa ia serupa Kryptonite yang mampu membuat Superman mendadak tak berdaya? Atau seperti Cat Sith, kucing pencuri jiwa dalam mitologi Celtic.
Re.
Kupandang lekat wajahnya. Mencoba memahami emosi dan mimiknya. Mukanya pucat, bibirnya bergetar dan pandangannya kosong. Raut wajah yang menyiratkan sebuah kehilangan sekaligus kesedihan besar. Ia tidak menangis, tetapi nyaris tanpa ekspresi. Siapa sesungguhnya perempuan di hadapanku ini? Re yang kukenal? Rasanya bukan. Tak pernah kulihat wajah semuram di hadapanku ini.
Bahkan, ketika ayah meninggalkan ibuku yang teramat mencintainya, wajahnya tak pernah seduka dan sekehilangan ini. Apa wajah kesedihan dan kehilangan telah berubah? Atau sekali lagi, berbeda karena perempuan ini terlalu sering ditimpa dan bertubi-tubi dihantam kehilangan, kesedihan.
“Siapa, Re? Mata siapa yang kamu maksud?” tanyaku penuh ketidakmengertian dan menyerah dengan itu. “Aku datang untuk mendengarkanmu, bukan untuk menikmati ketidakpahamanku.”
“Pernahkah kau merasa pintar dan bodoh di saat yang bersamaan? Pernahkah kau merasa menjadi pemenang dan pecundang di saat yang bersamaan? Pernahkah kau merasa bahagia dan terluka di saat yang bersamaan? Pernahkah kau merasa memiliki rasa dan hampa di saat yang bersamaan? Dan pernahkah kau merasa punya harapan dan pupus harapan di saat yang bersamaan?”. Ia melemparkan pertanyaan bertubi-tubi, tanpa sedikit pun memberiku kesempatan untuk memikirkan jawabannya. Aku justru memikirkan pertanyaannya. Mengulangnya dalam pikiranku. Lalu berakhir pada pertanyaan yang sama.
Re.
Mata siapa yang mampu membuatmu merasakan itu semua?
“Ada seseorang yang telah mengambil sebagian dari diriku. Sebagian yang membuat diriku merasa benar sebagai seorang perempuan. Sebagian yang membuatku terlepas dari jerat pasung tubuh perempuan ‘lemah’. Sebagian yang membuatku menemukan alasan untuk tetap berdiri meski sendiri.”
“Mata itu telah merenggutnya. Lalu mengembalikanku pada semula, perempuan ‘lemah’ yang tak memiliki apa-apa kecuali rasa. Ya, mata itu telah membuatku kehilangan diriku dengan menginginkan dirinya.”
Re.
Kali ini, aku yang kehabisan kata.
Re.
.
– Jakarta, 28 November, 2017