BETINA
“Kapan kau akan menikah? Menyempurnakan hidupmu sebagai seorang perempuan?”
Pertanyaannya selalu sama dan berulang. Dan aku menanggapinya sama, berulang. Meninggalkan obrolan dengannya dan beringsut ke beranda rumah mayaku.
Beranda rumahku selalu ramai. Ramai oleh cerita teman-teman maupun oleh para pedagang. Ya, pedagang yang tak kenal lelah menawarkan barangnya. Ada produk pencerah kulit (istilah ini sudah dimodifikasi dari pemutih kulit untuk menghindari anggapan rasis/colorisme), perona pipi, pemerah bibir, penebal alis, pelentik bulu mata, bulu mata palsu, eyeliner, bedak, penirus wajah, pelangsing tubuh, pembesar payudara hingga aneka pilihan baju yang sangat perempuan, lengkap dengan sepatu berhak dan aksesorisnya.
Ku lewatkan begitu saja iklan-iklan itu. Iklan macam itu terlalu sering muncul dan cukup nyampah. Aku lebih tertarik menyelisik kehidupan teman-teman mayaku, yang juga teman-teman nyataku. Stalking, istilah kekiniannya. Ya, untuk tahu bagaimana kabar mereka, aku tak perlu repot-repot mengirim pesan apalagi menelpon untuk menanyakan kabar. Cukup datangi saja rumah mayanya atau dengan sendirinya ia akan muncul dalam bentuk status di beranda kita. Mereka akan curhat panjang lebar, tanpa diminta, tentang kehidupannya.
Mirah, misalkan. Ia teman kuliahku dulu. Sekarang ia seorang mama muda dengan satu anak. Ia berhenti menjadi pekerja kantoran. Katanya, “demi menjadi ibu seutuhnya” (ibu seutuhnya, sungguh aku benci istilah ini. Seolah perempuan yang punya anak dan masih bekerja, belum sepenuhnya menjadi seorang ibu). Katanya pula, itulah kodratnya sebagai perempuan. Biarlah hidup secukupnya asal hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Bahkan dengan bijaksananya dia menasehatiku, untuk tak terlalu idealis.
“Lelaki itu tak seburuk yang kau kira, Le. Mungkin ada, tapi gak semua.”
Bah!
Itu dulu, saat tabungannya dari gajinya menjadi sekretaris direktur masih banyak. Saat suaminya masih rajin pulang dan berlaku layaknya seorang suami. Tiga tahun berselang, ketika tabungannya mulai menipis dan kebutuhannya semakin bertambah, ia menyesal pernah mengatakan hal itu.
Dan selama tiga tahun itulah aku tahu dari status facebooknya.
Belum lagi Renata, teman kuliah juga, yang mendadak ngehits bak sosialita. Facebook layaknya album digital pribadinya. Hobi banget posting foto bareng pejabat, artis, pengusaha, liburan di negara bersalju, nonton konser, kegiatan amal dan aktivitas ala sosialitanya.
Karena kerjaannya yang nampak gak ada kerjaannya itulah beredar rumor kalau Renata itu simpanan pejabat Anu. Ah, warga Facebook macam pegawai catatan sipil saja, pandai mengidentitasi warganya. Pandai pula menjadi polisi kepribadian.
Perempuan memilik hak sepenuhnya atas tubuhnya.
Mutlak. Tak bisa diganggu gugat.
Adalah haknya, sebebas-bebasnya mau melakukan apapun atas tubuhnya. Termasuk memilih jalan hidup atas tubuhnya. Mirah dan Renata sudah melakukannya. Mirah memutuskan menyerahkannya pada lelaki yang ia anggap layak, begitu pun Renata.
Tetapi yang sungguh aku sayangkan adalah cerita setelahnya. Mereka tak lagi utuh memiliki tubuh bahkan pikirannya. Mereka justru berubah wujud, melupakan siapa dirinya lalu dikendalikan dengan mudah.
Mirah selalu menyibukkan diri sebagai ibu dan istri “seutuhnya”. Bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan, melakukan pekerjaan rumah, mengasuh bayinya, dan mengulang rutinitas itu selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu pula ia sibuk sebagai perempuan betina (betina, lawan kata Jantan bagi kaum lelaki), yang merangkai kata bijaksana dan manis di Facebook tentang keluarga kecilnya yang bahagia.
Saking sibuknya menjadi istri dan ibu seutuhnya, ia lupa menjadi dirinya sendiri. Tubuhnya sendiri pun mulai tak terurus, kurus. Status Facebooknya pun mulai berubah, tak lagi menceritakan keluarganya tetapi dirinya.
Lalu bagaimana dengan Renata?
Sejak awal ia memang memilih jalan untuk tubuhnya “dinikmati” oleh semua orang, menjadi seorang aktor. Paras cantik dan kemampuannya berakting tak perlu diragukan lagi. Zaman kuliah, ia bintang teater berbakat sehingga banyak yang meramalkan ia akan menjadi bintang besar. Namun bergabungnya ia dalam manajement artis abal-abal justru membawanya menjadi “komoditas” pasar.
Bukannya menjadi aktor seperti yang dia impikan, ia justru terjebak menjadi pendamping tamu-tamu penting. Ia sahabat para pejabat dan orang-orang yang katanya terhormat. Dan Facebooklah menjadi cara Renata untuk tetap dipandang sebagai perempuan betina. Tak hanya itu, segala hal yang melekat di tubuhnya seperti make-up, tas, baju, HP sampai tempat dimana ia berlibur, adalah titipan pemilik label.
Mirah dan Renata adalah potret perempuan yang mencoba menunjukkan kebetinaannya dengan jalan yang berbeda. Tetapi pada akhirnya mereka tetap saja diobjektifikasi. Tubuh mereka yang diekspos di media menjadikan tubuh mereka sendiri sebagai objek yang bisa diperjualbelikan dengan timbal balik.
Keduanya kemudian dipertemukan dalam ruang maya, tempat dimana semua produk betina berada. Mirah dan Mirah-mirah yang lain adalah target pasarnya. Sementara Renata dan Renata-renata lainnya adalah objek yang dipasarkan demi menarik pasar Mirah. Dan berani kukatakan, tanpa perempuan, tanpa mereka ini semua produk yang diciptakan di muka bumi ini tak akan pernah laku. Aku berani jamin itu.
Oleh karena itu berhati-hatilah kaum perempuan membuat status di media sosial. Sebab segala curhatan bisa dianggap sebuah permintaan “tidak langsung” yang kemudian dimanfaatkan sebagai peluang bisnis oleh para kapitalis.
Jika pertanyaan itu kembali datang, maka aku akan kembali mengulang jawabannya, “Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna dibandingkan yang lainnya. Manusia: laki-laki dan perempuan. Jadi sejak diciptakan, perempuan sudah sempurna.”