Perempuan Bergincu Merah (3)
Namun, uang-uang itu justru membuatku merasa begitu kosong.
Aku terikat pada dua janji yang harus ku tepati. Janji untuk melindungi perempuan itu dan janji kesetiaan pada bosku.
Ketika uang-uang itu mengalir lancar bak air, aku justru dihadapkan pada kenyataan yang selama ini tertutup dari mataku. Uang-uang itu mengelabui akalku dan menjeratku dengan mudah.
Di suatu lokasi cukup strategis di kota ini, akan berdiri Proyek Casino Royal berkedok hotel bintang lima. Arena perjudian dengan fasilitas kelas atas. Segala jenis mata uang akan dipertaruhkan disini untuk menemukan penantang terakhir.
Aku mengutuki diri sendiri. Beberapa tahun silam, aku bahkan mengatakan betapa bodohnya orang-orang yang bermain judi dan sabung ayam di kampungku. Mereka mengira bermain dengan keberuntungan, nyatanya mereka justru dipermainkan oleh bandarnya. Menang sesaat, lalu kalah berulang kali hingga tak bisa mengalah pada nafsunya sendiri.
Tapi apa yang terjadi sekarang? Aku menjadi bagian dari kebodohan itu. Aku menjadi salah satu fasilitator dari proyek haram dan illegal bernama judi. Aku melangkah semakin jauh, tak bisa lagi mundur apalagi kabur. Proyek itu menuntutku untuk tinggal dan meminta banyak hal. Nyali, nurani, gengsi, janji, dan harga diri.
*****
“kau selalu belajar dengan cepat, lif. Pekerjaan selalu kau selesaikan dengan baik. Kau tak pernah mengecewakan.” Puji bos saat Grand Opening Hotel X, satu tahun kemudian. Pesta besar-besaran dan dihadiri orang-orang penting di negeri ini. “katakan, apa yang paling kau inginkan.”
Apa yang paling aku inginkan? Rasanya aku tak memiliki lagi sebuah keinginan. Uang-uang yang dulunya mati-matian ku cari, datang dengan sendirinya. Gajiku selalu lebih dari yang kuharapkan. Jika aku mau, aku bisa membeli barang-barang yang dulunya hanya bisa kuimpikan. Bahkan setumpuk uang yang disyaratkan perempuan itu tak jadi masalah. Aku bisa memenuhi semuanya. Namun, uang-uang itu justru membuatku merasa begitu kosong.
Aku menggeleng. Bos menyeriangi lebar.
“katakan padaku jika kau menemukan apa yang paling kau inginkan.” Ujarnya sembari berbaur dengan koleganya. Kutarik perlahan kakiku dari keramaian pesta, meninggalkan segerombolan lelaki bertuxedo yang tak ada habisnya beromong kosong tentang hidupnya.
Pesta ini hanyalah bagian kecil dari rangkaian kebohongan besar. Begitu pesta itu selesai, permainan justru baru dimulai. Dibagian lain hotel, Casino Royal diserbu para pencari keberuntungan. Tak perlu takut apalagi kalut. Tempat ini aman dari petugas berseragam apalagi orang awam, tak kan ada yang lari pontang-panting lantaran ada yang melaporkan. Ini bukan kampungku, yang masih menganggap judi itu haram. Ini bukan kampungku, yang taruhannya hanya uang lusuh hasil nilep dari uang dagangan istrinya. Ini bukan kampungku, dimana tempat berjudinya masih di areal persawahan. Ini bukan kampungku, dimana perempuan tak pernah terlibat dan menjadi bagiannya.
Tempat ini adalah kota dengan segala kemodernnya.
Dan inilah yang kulihat dari casino sekelas casino Eropa sana.
Lembaran uang tumpah ruah diatas meja. Kartu diacak dan bagikan. Para pemain duduk takzim di kursi masing-masing, melihat kartu yang didapat lalu berfikir kartu mana yang akan bisa mengalahkan lawan dan menjadi tiket untuk menjadi jutawan dadakan. Satu persatu kartu dilempar ke meja. Segera wajah-wajah itu menunjukkan mimik yang beragam. Masam, datar, sarkas, dan senyum culas.
Aroma alkohol berbaur dengan asap rokok, memuakkan. Perempuan-perempuan berpakaian tak pantas mengantar gelas berisi minuman ke setiap pemain, bergelayut mesra karena mencoba mengecoh lawan tuannya. Lalu mengerling nakal ketika misinya selesai. Ternyata tuannya kalah telak. Uang-uang itu beralih tangan, begitu pun perempuan itu. Bonus tambahan yang harus dibayar dari kekalahan tuannya.
Perempuan itu terkejut, tak menyangka jika dirinya bagian dari taruhan tuannya. Tapi itulah aturan permainan, ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti kehendak tuannya sekalipun ia memiliki kehendak sendiri.
Perempuan itu, aku mengenalnya.