Pulang: Mencari Ruang
Ada begitu banyak alasan ketika orang memutuskan untuk pulang.
Ada yang bilang rindu, lelah, jengah, ya sudah waktunya untuk pulang, sudah terlalu jauh pergi, ingin tinggal, lebih dekat dengan keluarga, dan sejumlah alasan lainnya. Begitu kepulangan ku di awal Februari lalu.
Jakarta. Kota ini dan seluruh dinamika kehidupannya terlalu sesak mengisi ruang di kepalaku. Tidak hanya tentang macetnya, bisingnya bunyi kendaraan dan umpatan-umpatan kesal yang menguar di jalan, biaya hidup di kosan, biaya pergaulan, dan tuntutan sosial sebagai bagian dari warga metropolitan. Tetapi juga tentang orang-orangnya.
Kota ini mengenalkan ku pada banyak sosok baru. Aku sebut mereka teman. Mereka adalah sosok yang membantu prosesku menjadi seorang manusia dewasa. Baik secara sikap, pemikiran dan pandangan hidup. Namun ada juga di antara mereka yang membuatku kembali menjadi seorang anak kecil yang seringkali takut bahkan terkadang pengecut.
Namun aku tahu, sebagaimana diriku, yang terkadang bimbang hingga salah bersikap, mengambil keputusan dan tanpa kusadari, aku menyakiti dan mengecewakan mereka. Mereka pun sama, melakukan hal yang sebaliknya. Lalu aku yang merasakan seperti yang mereka rasakan.
Mereka-mereka inilah menyita separuh ruang di kepalaku. Dan saat momen inilah aku selalu ingat ucapan ibu, “Kita gak akan pernah bisa menebak isi hati dan pikiran manusia. Bisa jadi hari ini ia bersikap begini, besok bisa bersikap begitu, lusa bersikap begini lagi.”
Ada yang menetap
Ia adalah seorang teman yang mengawali masa sekolahku di tanah lahirku. Kita sering berbagi impian, menciptakan dunia sendiri dan membuat orang lain iri dengan kebersamaan kami. Bahkan kami pernah mencintai orang yang sama. Lalu waktu dan jarak memisahkan kebersamaan, dengan sebuah keyakinan bahwa kita akan tetap menjadi seorang teman. Ya, ia memilih menetap.
Ada yang memilih menetap sebagai seorang teman yang bisa diajak ngobrol santai sembari minum kopi. Membahas buku, film, maupun isu yang sedang hangat. Ada yang sama galaunya tentang hidup, karir dan pasangan. Bercerita ngalor-ngidul, gak jelas, panjang-lebar, menertawakan kebodohan dan kesepian masing-masing, lalu saling mendukung satu sama lain.
Ada pula yang memilih menetap dengan cara yang berbeda. Melalui impian-impian besar yang kita impikan bersama, hal-hal sederhana yang bisa dilakukan atau sekadar bales DM Instagram, like & komen postingan ataupun memberikan ucapan selamat ketika ulang tahun. Mereka memilih menetap dan tinggal dengan caranya masing-masing.
Ada yang memilih meninggalkan,
Sebab ia menempatkan manusia sebagai objek bukan subjek. Ketika kebermanfaatannya habis, maka habis pula kebersamaan itu.
Dan kubiarkan.