Rasanya Menjadi Penyintas Covid-19: Drama Isolasi, Stigma dan Kesehatan Mental
Masih awal tahun, masih awal doa-doa dan harapan diucapkan demi tahun yang baru. Awal tahun 2021, Aku dan Suami mendapatkan berkah luar biasa, kami diberkahi seorang calon janin. Penantian 1 tahun sejak pernikahan kami, tespack itu akhirnya memberi tanda dua garis, ya positif. Namun beberapa hari setelahnya, kami juga diberi kejutan dengan hasil test rapid antigen yang juga postif. Berikutnya kami menjadi seorang penyintas covid-19 dengan berbagai dramanya.
Semua berawal ketika suamiku mendadak demam tinggi, tak juga menurun meski sudah diberi obat dan dikompres. Tengah malamm, aku segera membawanya ke IGD di sebuah Klinik. Ia langsung mendapatkan penanganan dan dirawat inap malam itu juga. Setelah diinfus dan istirahat, paginya panasnya sudah turun dan berangsur membaik. Hasil lab menunjukkan ia ada gejala tipes dan negatif covid-19. Hanya sehari dirawat inap, suami akhirnya pulang untuk dirawat jalan di tempat tinggal kami.
Beberapa hari setelah pulang, keadaannya memang berangsung membaik, namun ia mengaku kehilangan indera perasa dan penciuman. Tidak ada gejala lain seperti batuk ataupun sesak. Karena khawatir, ia pun akhirnya melakukan test rapid antigen dan hasilnya ia dinyatakan positif. Aku pun menyusul melakukan test dan sama, aku pun positif. Kaget, nangis dan langsung drop saat tahu hasilnya. Mengingat aku baru hamil di usia kehamilan yang terbilang muda, sekitar 8 minggu. Untuk lebih meyakinkan hasil rapid, kami pun test PCR yang diyakini tingkat akurasinya di RSUD.
Berbekal hasil test sebelumnya, kami diprioritaskan untuk test PCR. Umumnya, hanya bisa dilakukan satu hari setelah pendaftaran. Rangkaian test seperti pengambilan sample dari rongga hidung & mulut, sample darah, cek tensi, dan saturasi oksigen. Tambahan untuk suami, ronsen paru, sementara aku tidak perlu karena sedang hamil. Saat melewati semua proses itu, kami berdua terduduk di ruang tunggu klinik covid dengan perasaan campur aduk. Apalagi kami melihat hilir mudik pasien dibawa petugas dengan APD lengkap, baik menggunakan kursi roda, kereta dorong hingga kereta dorong jenazah. Bahkan aku sempat melihat bayi yang sudah terbungkus kain jarik. Rasanya sangat menyakitkan. Kami diam, sibuk dengan perandaian jika kami positif juga harapan semoga hasilnya negatif.
Setelah melewati rangkaian test, kami diminta untuk pulang, dan menunggu hasilnya hingga esok hari. Esok harinya, kami kembali lagi dan petugas memberikan hasil test PCR kami. Tenyata, hasilnya sama, kami berdua positif. Jelas, aku terguncang. Suami berkali-kali menguatkan. Kami dibekali setumpuk obat/vitamin. Ada tujuh macam obat/vitamin yang harus kami minum. Aku sempat bertanya, apakah aman mengonsumsi obat tersebut untuk aku sedang hamil muda? Petugas di sana menjelaskan, kalau obatku sudah dikonsultasikan dengan dokter kandungan. Obatnya pun mayoritas vitamin. Karena kami gejala ringan dan tanpa gejala, kami diminta isolasi mandiri di tempat tinggal. Lalu didata dan diharuskan melaporkan ke Puskesmas terdekat agar dipantau selama isolasi mandiri.
Drama Isolasi Mandiri
Dua kali test dengan hasil yang sama, sudah tentu membuat mentalku drop. Aku positif covid tanpa gejala (OTG), sedangkan suami hanya kehilangan indera perasa dan penciuman. Batuk pileknya sudah sembuh total. Hasil ronsennya alhamdulilah tidak menunjukkan hal yang mengkhawatirkan di paru-parunya. Kami pun isolasi mandiri di kos dengan dipantau pihak puskesmas. Lokasi kamar kos kami kebetulan terletak di lantai atas dan ujung, terpisah sendiri dengan kamar kos lain. Jadi cukup aman untuk tidak berinteraksi dengan orang lain. Selama isolasi, aku dan suami memakai masker, tetap jaga jarak, peralatan makan dan mandi terpisah. Kami juga memesan makanan melalui ojek online, yang saat menerima pun diletakkan cukup jauh dari kamar kami.
Hari pertama dan berikutnya, aku mulai tenang dan berpikir sembuh lebih cepat demi kami bertiga. Suami selalu jadi mood booster-ku. Segala macam vitamin, makanan bergizi kami lahap agar imun dan semangat tetap terjaga. Dukungan keluarga dan kawan juga tak kalah penting karena kami tak merasa sendiri. Karena kami pasien tanpa gejala & tanpa gejala berat, Puskesmas memberikan waktu 10 hari untuk isolasi. setelah 10 hari kondisi terus membaik, masa isolasi kami dinyatakan selesai. Rasa bosan isolasi, rasanya kalah dengan keinginan kami untuk segera bebas dari virus ini.
Hari ke delapan, dua hari lagi menuju masa lepas isolasi, keadaan kami sudah sangat baik. Indera perasa penciuman suami sudah kembali normal. Namun tiba-tiba ada kejutan yang sama sekali tak diharapkan. Ada telepon masuk dari pihak kepolisian yang meminta kami agar diisolasi di shelter yang disediakan oleh Pemkot. Suamiku sudah menjelaskan kronologi awal hingga masa karantina yang tinggal dua hari lagi. Termasuk kondisiku yang sedang hamil muda. Akhirnya setelah negosiasi, pihak kepolisian hanya akan membawa suamiku ke shelter. Aku kembali drop, terpisah sementara waktu dengannya sama sekali berat. Nangis, nangis dan nangis. Dia dijemput oleh ambulans puskesmas, diikuti tatapan yang menstigma bahwa kami seorang yang berbahaya, penyakitan. Setelah penjemputan itu, kamar kos kami disemprot disinfektan.
Pikiranku tambah gak karuan saat tahu bahwa shelter yang dia tempati tak jauh lebih baik dari tempat kami. Shelter berupa aula besar yang disekat dengan papan kayu di bagian kanan dan kirinya, dibagi beberapa bagian menyerupai kamar. Hanya terdapat matras dan lemari plastik kecil. Tak ada pembatas lain yang sekiranya membatasi udara di masing-masing sekat. Jadi menurutku tetap berisiko terjadi penularan. Apalagi menggunakan kamar mandi bersama. Aku membawelinya untuk tidak melepas masker sama sekali, tidak berinteraksi dengan penyintas lain, dsbnya.
Malam pertama diisolasi terpisah, tepat tengah malam, aku tiba-tiba dibangunkan oleh ketukan pintu kamar. Kaget dan takut, tapi aku memberanikan diri membukanya. Ternyata seorang polisi dan satpol PP yang datang untuk mengecek keadaanku. Aku jawab sebagaimana adanya, lalu difoto dan selesai. Seperginya mereka, aku justru tak bisa tidur sampai pagi.
Alhamdulillah di Shelter dia hanya dua hari, menggenapi masa isolasi sebelumnya. Sebab memang tidak ada lagi gejalan, akhirnya dia pulang dan mendapatkan surat bebas covid dari puskesmas. beberapa hari setelahnya, kembali test Antigen dan dinyatakan negatif. Masa itu akhirnya terlewati.
Kok bisa sih kena virus corona?
Itu pertanyaan yang sama sekali tak bisa kami jawab dengan pasti. Kami berdua merasa sudah taat protokol kesehatan. Kami tidak mudik, tidak bepergian ke luar kota, tidak ke tempat dengan banyak orang. Pun kami keluar dan berbelanja, kami tak pernah lupa memakai masker, membekali diri dengan hand sanitizer, jaga jarak dan selalu cuci tangan. Jadi, siapapun memang berisiko. Terserah jika kamu tidak mempercayainya, tetapi setidaknya jaga dirimu dan orang sekitarmu agar tidak terkena virus ini.
Virus corona tidak hanya menguras fisik, emosi, kenyamanan tetapi uang di dompetmu juga. Alhamdulillah kami diberi kesempatan untuk sehat dan kembali beraktivitas seperti semula. Bayi kami pun sehat. Menjadi penyintas covid, akan menjadi pengingat bagi kami, bahwa sakit apapun tak pernah sepele. Bahwa sehat itu rejeki yang tak ternilai.