
Literary Ecosystem Lab: Creative Writing Dimentori Ben Sohib
Empat Hari Menjumpai dan Menemukan Apa yang Hilang dari Tulisan saya
Kamis sore, sebuah email masuk. Kabar baik dari panitia Jakarta International Literary Festival (JILF) 2019 yang mengatakan bahwa saya terpilih sebagai peserta Literary Ecosystem Lab: Creative Writing. Tentu saja, senang sekali dapat terpilih dari sekian banyak pendaftar dan berkesempatan belajar langsung pada ahlinya. Satu menit menikmati sensasi bahagia, satu menit berikutnya dihadapkan pada dilema. Kegiatan workhsop selama empat hari dilaksanakan pada hari kerja, Selasa-Jumat dengan rentang waktu, pukul 10:00-14:00 WIB.
Sempat terpikir untuk mengihklaskan saja satu kursi diberikan pada peserta lain. Tapi dasarnya ikhlas itu gak mudah, meski sudah konsultasi dengan pasangan, saya akhirnya nekat mengajukan cuti s pada Bos. Bersamaan lampiran email dari panitia JILF dan sebuah penjelasan singkat namun terbata menyampaikannnya, Bos akhirnya memberikan saya izin. Alhamdulillah, jalan nekat dan tekad saya membuahkan hasil yang baik.
Menghadiri kelas pertama dengan datang terlambat, tak menghambat semangat saya untuk mengikuti kelas ini. Kelas hari pertama diisi dengan saling menyapa dan berkenalan. Ada 20 peserta terpilih dengan latar belakang yang berbeda. Ada seorang dosen, mahasiswa, jurnalis, editor, PNS, dsb. Ada yang sudah menerbitkan karyanya, ada pula yang masih berjuang menerbitkannnya (saya salah satu di antaranya).
Ben Shohib, sebagai pengampu materi adalah sosok baru dalam semesta bacaan sastra saya. Saya lebih dulu mengenal beliau dari esai-esai nya di Geotimes dibandingkan cerpen atau novelnya. Sempat ragu, bisa gak ya saya belajar dan memenuhi ekspektasi saya dari kelas ini. Apalagi di sesi pertama, penyampaian materi belum kelihatan karena 30 menit lebih dihabiskan untuk saling bertukar nama. Menit berikutnya Ia banyak bertanya tentang pengalaman dan kesulitan peserta selama menulis. Namun ternyata hal seperti inilah yang kemudian membuat saya menemukan apa yang hilang dari tulisan-tulisan saya.
Apa saja yang hilang dan saya temukan dari pengetahuan yang diberikan seorang Ben Sohib?
Gairah Menulis
Ben Sohib mengatakan, menulislah dalam keadaan girang atau bergairah. Ya, selama ini saya menulis hanya berdasarkan mood. Kacaunya, mood saya selalu kacau sehingga tulisan lebih banyak mandek di tengah jalan.
Narasi yang Deskriptif
Saya tahu betul, tulisan saya berlindung (ngeles) atas nama cerpen yang dibatasi ruangnya. Untuk yang satu ini saya memang kurang detail menggambarkan sebuah situasi, sosok dan rasa. Bang Ben menyebut, penulis yang demikian itu pemalas. Ia tidak bisa mengeksplorasi hal-hal tersebut dan cenderung menggunakan kalimat klise untuk mempermudah. Padahal demikian itu mengurangi kenikmatan pembaca berimajinasi.
Tugas fiksi adalah menceritakan dengan bahasa bukan sifat. Fiksi bicara tentang perilaku dan peristiwa, bukan hal yang disifati. Perhatikan betul diksi dan kata sifat yang digunakan secara langsung.
Menulis dengan hati, revisi dengan kepala/logika
“Menulis itu proses mengolah informasi menjadi karangan yang memiliki rasa dan menumbuhkan rasa,” Saya suka dan sepakat dengan pernyataan Bang Ben ini. Ketika menulis cerpen, saya ingin selalu menyampaikan hal-hal yang selama ini saya risaukan. Terkadang hal ini menjebak saya sehingga tulisan teramat subjektif. Saya jadi abai pada realitas dan cenderung berpihak pada satu karakter. Padahal, – masih kata Bang Ben- harus ada keadilan emosi bagi seluruh karakter. Semua ketidakadilan itu harus diperbaiki dengan pembacaan ulang dan perbaikan dengan kepala/logika.
Selain tiga hal yang saya jelaskan, ada banyak hal yang diberikan Bang Ben. Seperti bedah kritis cerpen, latihan membuat ide cerita dalam beberapa paragraf, mendeskripsikan sebuah ruangan, dsb. Ia pun membedah tulisan kami lengkap dengan sarannya. Barangkali inilah kelas penulisan yang terasa istimewa dibandingkan yang pernah saya ikuti. Bang Ben memberikan materi yang memang dibutuhkan dan sesuai porsinya. Ditambah lagi, caranya menyampaikan dan menjawab pertanyaan kami yang ramah, tidak mengintimidasi dan membuat “malu” karena kesalahan pada tulisan.
Saya merasa beruntung dan bersyukur pernah mengikuti kelas ini dengan Bang Ben sebagai pematerinya. Kelak jika saya berkesempatan menerbitkan buku, sudah tentu namanya akan saya sebut sebagai salah satu penulis yang sangat berpengaruh pada tulisan saya.
Sebagai penutup tulisan ini, saya juga merasa beruntung berada di antara penulis berbakat lainnya. Saat saya dengar pembacaan cerpen masing-masing, saya tahu betul mereka adalah penulis hebat. Empat hari yang penuh pembelajaran.

