operasi caesar
Carèta Embuk

Operasi Caesar, Perjalanan Menjadi Seorang Ibu Lewat Ruang Operasi

Stigma perempuan yang melahirkan melalui metode caesar gak pernah dipandang baik bagi sebagian orang. Ada yang menyebut kurang memberdayakan diri selama kehamilan, gak mau ngerasain sakitnya kontraksi, terlalu nurut sama dokter yang mendapatkan lebih banyak keuntungan dari operasi, dan sebagainya. Padahal jika kamu pernah mengalami sendiri, tidak mudah seorang dokter memutuskan pasiennya caesar tanpa ada indikasi yang mengharuskan caesar. Bagi pasien/ibu hamil pun tak kalah beratnya karena juga berjuang hidup & mati di ruang operasi.

Cerita ini aku tulis berdasarkan pengalaman sendiri menjalani proses melahirkan secara caesar. Sejujurnya, ketika dokter memutuskan tindakan Caesar aku kecewa sama diriku sendiri. Apakah aku kurang memberdayakan diri selama kehamilan? Aku takut merasa tidak menjadi ibu yang sempurna. Takut omongan orang-orang tentang kehamilanku. Aku takut mati, ya aku takut tidak bisa bertemu suami & anakku lagi.

Kala itu kehamilanku memasuki usia 38 minggu. Dua minggu sekali semakin rutin kontrol ke dokter kandungan untuk memastikan kondisi janin sehat, ketuban cukup, dan tidak ada masalah serius lainnya. Hasil kontrol waktu itu, janin ku sehat, ketuban cukup, posisi kepala janin sudah di bawah namun belum turun ke panggul. Yang cukup mengkhawatirkan adalah tekanan darah yang cukup tinggi selama dua pekan terakhir, berada di angka 140-160. Khawatir preeklamsia, aku sempat cek urine di laboratorium. Hasilnya negatif protein atau tidak ada indikasi preeklamsia.

Menjelang Hari Perkiraan Lahir (HPL) tekanan darah masih tinggi, ditambah posisi janin yang belum masuk ke panggul. Sementara itu tanda-tanda kontraksi belum sama sekali muncul. Dokter langganan kontrol, menjelaskan risiko melahirkan dengan tekanan darah tinggi lalu menyarankan untuk operasi caesar dengan pertimbangan keselamatanku & bayi ku.

Kami meminta waktu untuk mempertimbangkan sembari masih berupaya agar tekanan darah bisa normal. Tentu saja aku juga masih berharap bisa melahirkan secara pervaginam. Namun, tidak ada perubahan sama sekali. Aku dan suami akhirnya sepakat untuk mengikuti rekomendasi dokter karena selama kehamilan, aku dipantau oleh dokter yang sama. Tentu dia lebih tahu bagaimana kondisi dan pilihan terbaik untuk aku dan bayi ku.

Persiapan Operasi Caesar di RS Lawang Medika

Aku dijadwalkan operasi pada hari sabtu sore. Beberapa hari sebelumnya, masih berupaya menurunkan tekanan darah dengan mengonsumsi makanan dan diresepkan obat yang dapat menurunkan tekanan darah. Pada hari H, bersiap membawa seperangkat keperluan saat di rumah sakit nanti. Seperti dokumen legal (fotokopi KTP ku & suami, kartu BPJS), hospital bag (perlengkapan bayi, aku & suami selama rawat inap). Aku mulai puasa dari pukul 1 siang karena jadwal operasi sekitar pukul 9 malam. Pukul 4 sore kami berangkat ke rumah sakit & langsung menuju IGD. Di IGD, Suami memberikan surat rekomendasi/rujukan dari dokter kandunganku sebagai pengantar untuk proses selanjutnya.

Aku operasi di rumah sakit yang sama dengan aku kontrol kehamilan sehingga proses administrasinya mudah. Termasuk saat menggunakan layanan BPJS, aku tak perlu surat rujukan dari Faskes 1. Semuanya langsung diproses di IGD saat itu juga. Untuk skrining awal, aku ditest swab untuk memastikan negatif covid. Jika hasilnya positif akan dirujuk ke RSUD. Alhamdulillah negatif, begitu pun suami yang menjadi pendamping kala itu. Masih di IGD, aku dicek tekanan darah ternyata masih tinggi. Akhirnya diambil sampel darah untuk dicek di lab.

Berikutnya aku dipindahkan ke ruangan lain untuk dipantau detak jantung janin selama kurang lebih 20 menit. Perawat minta aku lebih rileks karena beberapa kali ada peningkatan detak jantung janin saat aku merasa cemas. Aku juga sempat ditest alergi obat atau tidak, sebelum akhirnya diberi obat penurun tekanan darah. Selanjutnya mulai dipasang kateter urine. Lucunya, sesaat sebelum dipasang aku sempat minta untuk ke toilet dulu untuk kencing tapi gak dikasih. Ya kan itu fungsi dipasangnya kateter, hehe. Jujur saja, rasanya ngilu dan ga nyaman.

Beberapa jam menunggu jadwal operasi adalah momen yang cukup bikin gelisah dan aku nangis saat itu. Rasa lapar dan haus karena harus puasa. Rasa ga nyaman karena dipasang kateter. Rasa takut, cemas dan semua kekhawatiran numpuk jadi satu. Suami yang menemani kala itu berperan sangat penting di semua momen. Dia menenangkan, menguatkan. Bersyukur banget dia bisa menemani di momen krusial macam itu.

Menit-menit jelang operasi

Pukul 9 malam, bersama suami, kami menunggu di depan ruang operasi. Seorang dokter menjelaskan singkat mengenai prosedur operasi. Saat itu, terpikir batas hidup dan matiku. Takut, ya sangat takut. Tapi kekuatan yang disalurkan suami lewat genggaman tangannya, menguatkan. Ia melepasku dengan rapalan doa yang tak henti. Aku masuk ruang operasi lebih yakin meski suami tidak ikut menemani di ruang operasi.

Di dalam ruang operasi, dokter anestesi menjelaskan proses anestesi lalu mulai menyuntikkan anestesi di punggungku. Rasa hangat dan kesemutan terasa dari perut bawah hingga kaki, kemudian kebas. Dokter Luwang yang memimpin operasi, seperti biasanya, menyapa dengan ciri khasnya. Bahkan dia sempat mengajak ngobrol & bercanda agar suasananya tak tegang. Tetapi tetap saja, berbaring di ruangan operasi dengan sekelompok dokter yang siap menyayat perut, perasaan takut itu muncul lagi.

Ketika dokter memulai operasi, tentu rasa sakit itu sama sekali tak ada. Hanya terasa sentuhan dan gerakan tangan di bawah perut, lalu rasa dingin mengigil sampai tubuhku gemetar dibuatnya. Belum lagi rasa kantuk luar biasa. Aku berusaha untuk tetap tersadar sambil terus merapal salawat. Tak berselang lama, tangisnya yang kencang memecah ruang operasi. Seketika itu juga, tidak terpikir lagi dinginnya ruang operasi. Hanya ingin segera bertemu dengan bayi ku.

Pasca operasi

operasi caesar
Baby bersama Ayah

Rasa sakit melahirkan secara caesar baru dimulai bahkan sebelum efek anestesi itu hilang. Setelah operasi selesai, aku dipindahkan ke ruang sadar untuk diobservasi. Perawat memintaku untuk tidak banyak gerak, mengangkat kepala pun tak boleh. Minum diperbolehkan empat jam setelahnya, untuk makan pada jam berikutnya. Saat itu sama sekali tak terasa ingin minum apalagi makan. Aku justru panik ketika “ngeh” ke dua kakiku tak bisa digerakkan. Tentu saja itu karena efek bius yang masih ada. Lalu ketika perlahan bius menghilang, rasa nyeri dan perih luar biasa berdatangan.

Untung tak lama kemudian, perawat datang membawa bayi kami & untuk pertama kalinya kami bertemu dia. Suamiku mengadzaninya, aku menangis haru di sebelahnya, belum bisa mendekapnya, hanya bisa menyentuh tangan mungilnya.

Pagi pertama rawat inap, perawat sudah mengintruksikan agar aku belajar miring kanan dan kiri. Padahal jangankan miring, geser sedikit aja berasa banget ngilunya. Obat anti nyeri cukup membantu meringankan sehingga aku pelan-pelan bisa tidur miring kiri, itu pun hanya sebentar. Esok harinya, perawat kembali memintaku untuk belajar duduk dan jalan. Sesakit apapun itu harus dipaksa bisa. Ya, meski rasa sakitnya ga tertahankan, aku tetap harus mencoba agar pemulihan lebih cepat. Ketika belajar jalan, rasanya seperti baru banget belajar jalan, setapak demi setapak. Gak kuat, duduk, jalan lagi. Begitu seterusnya sampai terasa lebih baik.

Berapa lama recovery pasca melahirkan caesar? Cukup cepat, untuk luka luar atau bekas sayatan, dalam satu minggu setelah lepas perban, sudah mengering. Rasa nyeri sesekali terasa tetapi tidak terlalu menyakitkan. Untuk tidur dalam posisi yang nyaman, duduk dan berjalan normal, dalam 1 bulan sudah bisa. Asal sering bergerak akan lebih cepat beradaptasi dengan rasa nyerinya.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!