Bayi Kuning, Jangan Asal Dijemur! Cek Dulu Kadar Bilirubinnya Sebelum Terlambat
Momen menjadi ibu tidak sesederhana ungkapan mengandung, melahirkan, mengasuh dan merawat. Semasih dalam rahim, ibu sebisa mungkin menjaganya agar mendapatkan nutrisi yang cukup sehingga tumbuh kembangnya optimal. Setelah si bayi lahir dan mulai mengenal dunia, tugas ibu akan semakin banyak. Banyak melibatkan kerja fisik, otak dan mental. Setiap helaan napas, rasanya tidak mungkin tidak memikirkan si kecil.
Selama kehamilan, aku sangat menjaga dan dijaga asupan makan dan mentalku. Semata hanya demi si kecil agar tetap sehat, kuat dan lahir tanpa kekurangan satu apapun. Bahkan rutin tiap bulannya melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan. Ketika anakku lahir, alhamdullilah ia lahir dengan sehat. Hari-hari pertama dan berikutnya ia mengenal dunia baru terasa begitu menyenangkan. Tiap waktu nyaris dilewati dengan jepretan foto untuk menyimpan setiap momennya. Sampai akhirnya aku menyadari bagian putih mata anakku tidak terlalu jernih. Bukan kuning, hanya saja tidak jernih atau bening.
Aku mulai gelisah. Mulai mencari-cari informasi mengenai mata anak yang tidak bening hingga bertemu pada satu kemungkinan bayi kuning. Aku kutip dari artikel Alokdokter.com, “Bayi kuning atau penyakit kuning merupakan kondisi yang umum dialami bayi baru lahir., Gejala bayi kuning ini biasanya muncul 2–3 hari setelah kelahiran dan bisa hilang dengan sendirinya dalam waktu 2 minggu. Namun, bila tidak kunjung membaik, kondisi ini bisa menjadi pertanda adanya penyakit serius, seperti kerusakan otak, cerebral palsy, hingga hilangnya pendengaran.”
Saat itu usia anakku baru 10 hari, bertepatan dengan jadwal kontrol ke dokter anak. Dengan perasaan khawatir, hari itu aku menemui dokter dan menjelaskannya. Dokter anak segera mengecek bagian kening, mata, perut, dan paha. Benar saja, semburat kuning terlihat. Perasaanku semakin tidak karuan. Dokter segera memintaku untuk cek darah anakku di Lab rumah sakit untuk mengetahui kadar bilirubinnya.
Diagnosa Hyperbilirubin
Tak pernah rasanya seumur hidupku terasa begitu sedih, takut dan kalut di saat yang bersamaan. Berkali-kali merasa telah gagal menjadi ibu. Ketika diagnosa hasil lab menyatakan kadar bilirubin anakku 14, melebihi batas normal 11. Dokter menjelaskan detailnya. Salah satunya berat badan anakku yang turun 100 gram dari berat lahirnya (BB 3.4 kg). Meskipun ia aktif menyusu ASI, kalau kadar bilirubinnya tinggi, itu hanya cukup untuk melawan “kuning” ditubuhnya. Tidak sempat terserap oleh tubuhnya. Kondisi ini, menurutnya sulit dihindari dan belum bisa dipastikan penyebabnya apa karena hampir sebagian besar bayi yang dilahirkan berpotensi kuning.
Aku mendengarkan sambil menangis, apalagi saat dokter bilang ia perlu dirawat inap untuk menjalani fototerapi atau terapi sinar. Sebab hanya itu satu-satunya cara agar kadar bilirubinnya turun. Menjemur bayi, seperti yang ramai disarankan, bukan penanganan yang tepat untuk anak kuning. Di depan suamiku sembari menyusui, aku menangis sejadinya. Terpisah sejenak darinya, meski jarak rumah dan rumah sakit tidak kurang dari dua kilo meter tetap saja berat. Hari itu juga suami mengurus administrasi dan keperluan selama rawat inap dua hari.
Rawat Inap Selama Fototerapi
Selama rawat inap, bayiku disinar selama empat sesi. Setiap sesi akan ada waktu istirahat, dan aku diperbolehkan bertemu dengannya selama satu jam. Waktu berkunjung dalam sehari ada dua, pukul 8 pagi dan 4 sore. Waktu istirahat ini aku sekaligus membawa ASI perah untuk asupannya selama dirawat. Tentu saja tak lupa menyusuinya langsung, mendekapnya, menciumnya dan berkali-kali minta maaf karena dia harus melewati hal ini.
Saat rawat inap, aku ingat betul bagaimana stresnya menghadapi situasi itu. Apalagi saat itu kena sindrom babyblues, ASI ku seret sedangkan aku harus selalu menyetok ASIP untuk dikirim ke anakku. Saat itu tetap bersikeras tidak ingin memberikannya sufor karena merasa masih bisa memperjuangkan ASI. Mencoba sesering mungkin dipompa, setiap dua jam sekali, sepanjang hari. Termasuk malam hari, di waktu tidur pun bangun untuk memompa ASI. Karena kata dokter ASI adalah obat terbaiknya. Kala itu satu kali sesi pompa dari kedua payudara, hanya bisa menghasilkan 20 ml. Makanya aku ga skip sekali agar stok ASI anakku tetap ada. Suamiku yang paling gercep mengantarkan stok ASIP ke RS agar kebutuhan ASI anakku tercukupi.
Perjalanan MengASIhi: Menyusui Lebih Dari Sekadar Memberikan Hak Anak
Jangan Selalu Salahkan Ibunya, Beri Ia Dukungan
Ketika anakku didiagnosa hyperbilirubin, hanya orang-orang terdekat kami yang tahu. Suamiku tahu betul bagaimana menjaga mentalku agar tetap stabil. Dia selalu menguatkan. Melakukan berbagai cara aku aku tetap berpikir positif. Namun ternyata tetap saja ada yang berkomentar, “itu anaknya kurang dijemur. Sering-sering dijemur nanti kuningnya hilang”, dsbnya. Omongan yang seharusnya aku abaikan itu sampai juga ke hatiku. Aku menangis, kembali menyalahkan diriku sendiri. Menganggap diriku ibu yang tak layak sampai anakku harus dirawat.
Bahkan setelah anakku selesai masa rawat inap dan dinyatakan kadar bilirubinnya turun, masih saja ada yang bilang, jemur, nanti juga hilang kuningnya.” atau “matanya ga jernih, kasih tetesin air secang”. Alih-alih memberikan dukungan atau simpati, lagi-lagi ucapan menyudutkan, bahkan saran yang tak bisa dibuktikan kebenarannya yang diucapkan.
Memang, bisa saja atau tidak ada salahnya mencoba saran-saran itu. Tetapi perihal anakku, aku tidak mau mencoba peruntungan. Mungkin saja mereka yang baik-baik saja setelah mencoba saran itu sedang beruntung. Mungkin bekerja di anak mereka, tetapi siapa yang akan bertanggung jawab jika hasilnya berbeda? Karena kondisi tubuh setiap bayi itu berbeda. Daripada telat penanganan, menyesali hal yang telah lewat, aku lebih mempercayakan pada ahlinya. Alhamdulillah itu keputusan yang tepat.
Buat yang baca cerita ini, semoga ada hal baik yang bisa diambil. Jika suatu saat bertemu dengan kondisi ini, baik itu pada dirimu sendiri atau orang lain, jangan selalu salahkan ibunya, ya. Berikan ia dukungan. Itu saja sudah cukup membantu.