rumah
Cerita Embuk

Tentang Rumah dan Kita yang Mendiaminya

Rumah Ibu memang bangunan tua, usang dan tak enak dipandang
Rumah Ibu memang jauh dari ingar bingar kota
Namun rumah Ibu membebaskanmu
Untuk mengenal apa yang tumbuh di sekitarmu, selain dirimu
Untuk tidak takut bermain di bawah hujan atau terik matahari
Untuk kotor saat bermain lumpur di sawah atau basah oleh air laut
Untuk merasa biasa menjadi biasa

Di rumah Ibu
Ada cukup banyak kayu bakar untuk menjerang agar harapanmu selalu menyala, agar hatimu selalu hangat

Di rumah Ibu
Ada cukup banyak lumbung padi untuk mengisi penuh piring nasimu
Hingga kamu selalu merasa cukup dan penuh dengan kasih

Di rumah Ibu
Ada cukup banyak ruang yang bisa kamu tempati untuk menitipkan kepercayaan, mengistirahatkan lelah, merayakan kebahagiaan bahkan sedihmu
Di rumah Ibu
Ibu, Ayah & Kamu bisa saling bertukar mulut, telinga, hati dan isi kepala
Ya, hanya di rumah Ibu

Apa imajimu tentang rumah? Bagiku, ia bukan sekadar bangunan fisik tetapi ruang yang tak berwujud namun selalu menyediakan tempat yang nyaman untuk pulang. Rumah bagiku bisa berupa kesunyian, di mana aku bisa tenggelam dengan pikiran-pikiran liarku. Ia juga bisa berupa sosok Ibu atau Suamiku, yang selalu menerimaku dengan adanya diriku. Bisa dengan leluasa bercerita tanpa takut penilaian, bisa dengan nyaman menangis atau terbahak, bisa memimpikan berbagai hal yang mustahil sekalipun. Rumah yang melindungi tetapi juga membebaskan dirimu menjadi versi terbaiknya.

rumah

Sebagai bangunan fisik, rumah bagiku adalah tempat perjumpaan tubuh, tempat tumbuh dan menyimpan setiap kenangan di dalamnya. Rumah yang menerima siapa pun yang datang berkunjung dengan setara. Tanpa membedakan siapa Ia, semua diperlakukan sama.

Rumah yang kami tinggali dan diami adalah demikian. Rumah warisan dari almarhum Mak Nyai dan Mbok Nyai. Rumah yang kelak akan kami wariskan pula pada anak-anak kami.

Suatu ketika aku sempat terusik dengan pernyataan seseorang yang memberi saran agar kami membeli rumah. Membeli, maksudnya mencicil atau kredit rumah. Tentu hal ini sangat menggangguku. Pertama, sejak awal kami sepakat jika nantinya kami tidak lagi merantau, kami akan pulang ke rumah kami di Madura. Kredit rumah di luar Madura, untuk apa jika nantinya kami akan tinggal di Madura. Seseorang itu beralasan bisa digunakan sebagai investasi.

Ke dua, menjadikan rumah kreditan sebagai investasi bukan pilihan kami. Kami lebih menyukai investasi tanpa dibebani hutang jangka panjang. Mempertimbangkan masa produktif kami sebagai pekerja, tabungan anak yang lebih prioritas. Investasi yang kami impikan, bisa memperbanyak sawah Ibuk, mungkin punya beberapa ekor sapi, dan investasi yang kami kira hasilnya bisa dinikmati dalam jangka waktu pendek.

Ke tiga, apa salahnya tinggal di rumah yang diwariskan kepada kami? Takut dianggap anak yang membebani orang tua? Takut ga dianggap mandiri secara finansial? Takut dibilang nempel dan nebeng? Maaf, itu ga jadi kekhawatiran kami. Jika bukan kami yang mendiaminya, ya terus siapa? Tetangga? Kan ga mungkin. Di jual untuk beli rumah lagi? Lebih gila lagi.

Rumah kami memang rumah tua, bukan rumah kekinian dengan segala atributnya yang instagramble. Tetapi rumah kami hangat karena banyak suluh dari leluhur kami. Rumah yang berkali-kali menjadi ruang perjumpaan manusia, doa-doa dan segala harap. Rumah yang tumbuh dan menumbuhkan apa yang hidup di dalamnya.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!