celurit
Cerita Embuk

Bagaimana Perempuan Madura Memaknai Sebilah Celurit?

Celurit Madura selalu terendus anyir karena selalu disandingkan dengan peristiwa carok. Seolah ketika menyebut celurit kata berikut yang mengikutinya adalah carok. Tak ayal ketika ada kasus kekerasan atau tindak kriminal bersenjata celurit maka persepsi masyarakat akan mengaitkannya dengan carok. Stigma ini sebetulnya usang dan timpang.

Usang karena ia merupakan warisan kebencian kolonial kepada pribumi Madura. Dalam literatur Belanda, banyak artikel yang mendeskripsikan orang Madura kala itu sebagai sosok yang suka kekerasan. Belanda memproduksi kebencian pada manusianya sementara tanahnya dimonopoli untuk keuntungan sendiri. Stigma ini menjadi timpang karena tidak semua orang Madura sepakat pada carok sebagai upaya untuk untuk mempertahankan harga diri dan penyelesaian konflik.

Carok bukan produk budaya dan tradisi, ia sebuah istilah yang merujuk pada aktivitas pertarungan dua orang yang sama-sama menyepakati penyelesaian konflik. Pada masa lalu, carok dianggap jalan terakhir —bukan satu-satunya— untuk menyelesaikan konflik. Kini carok tidak lagi relevan bahkan kerap disalahgunakan sehingga mendatangkan banyak kesalahpahaman.

Memaknai Celurit

Stigma kadung dipercayai sebagai kebenaran tunggal. Padahal ia ada karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman akan suatu hal lalu dilanggengkan oleh kebencian. Apalagi masa ketika informasi mudah sekali diakses dan disebarkan, informasi diterima mentah-mentah tanpa melalui proses verifikasi. Tentu yang paling dirugikan dari stigma ini adalah mereka yang sama sekali menolak segala bentuk kekerasan. Termasuk saya, seorang Madura.

Izinkan saya, perempuan Madura memberikan sudut pandang lain berdasarkan pengalaman saya hidup di tanah garam ini. Saya lahir dan tumbuh di desa di Kabupaten Bangkalan. Sebagai anak dari keluarga petani, aku terbiasa bersinggungan dengan celurit. Lelaki di rumah Kami, Mak Nyai (kakek) adalah muasalnya. Ia seorang petani sekaligus pedagang. Di masa mudanya, pada masa penjajahan Belanda dan Jepang ia berjualan celurit keliling dari satu desa ke desa yang lain. Ia juga dikenal blatèr. Blatèr yang dimaksudkan bukan seorang jagoan yang memiliki ilmu kebal dan memiliki kedudukan tertentu. Bukan seperti itu, ia disebut blatèr karena pengalamannya luas, pernah ikut bergerilya di masa penjajahan, berkawan baik dengan siapapun termasuk para pengrajin celurit, bandit, dan kiai. Pengalaman yang menambah pengetahuannya sehingga dapat berbahasa Jepang, membaca huruf latin dan Al-Quran. Tentu kemampuan semacam ini pada masa itu adalah hal yang istimewa.

Pada masa tuanya, ia sepenuhnya menjadi petani. Tanah tegalan garapannya selalu produktif. Musim hujan sawah ditanami padi, musim kemarau ditanami palawija. Apa yang sekiranya dapat tumbuh, ia tanam dan dijual. Celuritnya sibuk sepanjang tahun. Membabat rumput untuk menyiapkan lahan, menyabit rumput untuk pakan sapi yang nantinya akan membajak sawah.

Di keluarga kami, celurit bukan sesuatu yang istimewa karena ia bukan pusaka sehingga ia dapat digunakan oleh Kami, para perempuan. Ia berbeda dengan pusaka lain yang disimpan oleh Mak Nyai sehingga mendapatkan perlakuan khusus. Embuk Nyai (nenek) dan Embuk (ibu) menggunakan celurit kapan saja mereka membutuhkannya di sawah, di ladang, atau di pekarangan rumah. Kini, aku pun menggunakan celurit sebagai bagian dari aktivitas berkebun di pekarangan rumah.

Celurit dan Harga Diri

Bagi Mak Nyai, celurit adalah alat perlawanan pada kemiskinan dan kemalasan untuk memberdayakan diri. Harga diri baginya adalah sebuah tanggung jawab pada istri, anak dan cucunya. Ia pantang menadahkan tangan pada orang hanya untuk sandang, papan, pangan dan jabatan. Ia lebih takut keluarganya mati kelaparan daripada mati karena rasa malu. Masa mudanya mungkin miskin tetapi ia menolak tunduk pada ketidakberdayaan. Hidup dengan jerih payah sendiri. Nilai inilah yang kemudian diwariskan pada anak dan cucunya.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh sebilah celurit, kecuali digerakkan oleh manusia yang hatinya mendidih oleh amarah atau gigih memenuhi kebutuhan hidup. Tak ada harga diri dan kehormatan yang diperoleh melalui kekerasan. Ia harusnya tetap menjadi benda mati yang tak mampu mengancam dan mematikan yang hidup. Justru seharusnya ia menjadi alat perlawanan pada kemiskinan dengan menjadikannya alat yang berdaya guna. Ini caraku memaknai sebilah celurit.

Tetapi bagaimana pun pengalaman menciptakan persepsi. Pengalamanku dengan celurit sebagai alat pertanian menciptakan persepsi yang berbeda dengan yang lainnya. Semisal mereka dengan pengalaman celurit sebagai bagian dari alat kesenian (tarian, pencak silat), mata pencaharian (pengrajin) hingga menjadikannya media kekerasan (carok). Berdasarkan pengalaman ini, aku merasa stigma itu bukan bagian dari kemaduraanku. Pun mereka yang tak pernah menjadikannya sebagai bagian dari kemaduraannya. Lantas apakah adil menggeneralisasi Madura-celurit-carok-kekerasan adalah satu?

Jika tidak, mari kita sepakati saja: tak ada satu pun manusia yang berhak melukai dan merenggut nyawa manusia lainnya. Kekerasan adalah kekerasan.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!