ibu padi
Cerita Embuk

Ibu Padi, Ibu dan Padi

Ibu padi
Berkahi tanah kami dengan kesuburan dan keniscayaan: apa yang akan kami tanam, akan tumbuh
Ibu padi
Ketika tanah kami olah, benih kami tabur, bibit kami tanam
kami menaruh harap seluas lahan dan selapang sawah kami
Ibu padi
Bulir-bulir telah merunduk, sawah tak ubahnya ladang emas
Kawanan burung turut senang dapat jatah makan
Terkadang kami berdema kepada burung
Terkadang kami harus mengikat perut burung sebelum lupa jika
kami harus mengisi lumbung-lumbung padi
Sebelum perut kami sendiri yang terikat

Awal September 2022, sawah Ibu telah panen. Satu dari tiga sawah yang digarap ibu memilih bertahan di tengah musim yang tidak pasti: musim kemarau tetapi masih kerap hujan. Dua sisanya, bukan tidak bisa panen, tumbuh menjadi padi saja tidak. Hanya rumput liar. Ibu rugi, tentu saja. Modal untuk satu sawah tidak murah. Setidaknya ibu harus membeli benih, sewa mesin pembajak untuk mengolah tanah, sewa buruh untuk menanam bibit, membeli pupuk, membayar buruh untuk membuang rumput liar. Jika dua sawah yang tidak produktif, Ibu harus menanggung dua kali kerugian. Namun, tetap saja profesinya sebagai petani tak pernah membuat Ia jera. Kerugian kali ini, atau sebelumnya sudah dianggap biasa dan lumrah terjadi.

Itulah Ibuku, yang sejak muda menjadi petani, meneruskan trah petani leluhurnya. Sepanjang ingatanku, dulu saat kecil aku jarang bertemu karena pagi-pagi sudah berangkat ke sawah. Membantu Emmak (bapak) dan Embok (ibu) mengolah sawah. Jelang dhuhur Ia baru pulang. Hal itulah yang membuat Ibu cakap dalam pekerjaannya sebagai petani. Ia belajar banyak proses menanam, mulai dari pra tanam: waktu tanam, pemilihan benih, cara & waktu merendam benih hingga pasca tanam: panen. Dari itu aku tahu, bahwa menjadi petani bukan pekerjaan mudah. Tidak semua orang bisa dan setia pada profesinya selama puluhan tahun.

Persoalan petani tidak melulu soal anomali cuaca yang membuat bibit gagal tumbuh. Harga pupuk yang mahal dan harga gabah yang terlalu murah adalah persoalan yang seperti tidak pernah menemukan jalan keluar. Menurut penuturan Ibu, terkadang hasil panen tidak menutupi modal yang dikeluarkan di awal. Harga gabah ataupun beras pasca panen sudah pasti murah. Oleh karenanya petani terkadang dilema. Menahan untuk menjual hingga harga normal, namun terlanjur berhutang modal tanam. Jadi tidak ada pilihan selain menjual dengan harga yang murah. Ah, belum lagi serbuan beras impor.

Lalu apa yang didapatkan petani? Sedikit dari banyak yang ia keluarkan. Kalau dari kacamata orang awam sepertiku sudah tentu rugi modal, tenaga dan waktu. Tetapi bagi mereka, sedikit yang diterima masih bisa disyukuri. Jera? Iya, jika itu aku, tetapi tidak bagi mereka.

Cita-cita Ibu adalah masa depan anaknya

Memiliki bayi berusia 11 bulan mulai membuatku banyak berpikir tentang masa depannya. Tentang pilihan hidupnya nanti. Aku menaruh harapan besar agar kelak hidupnya lebih baik dariku dalam segala hal, namun yang terpenting dia bahagia. Itulah dulu yang ibuku juga harapkan padaku, menjadi lebih baik dari dirinya. Meski aku ga tau, apakah menurut ibuku aku telah memenuhi harapannya atau tidak.

Ibuku dulu pernah berucap, “semoga kelak kamu ga jadi petani. Biar ga ngerasain berat dan susahnya. cukup, ibu.” Ucapan ibu kala itu tentu beralasan, menganggap profesinya jauh dari kesejahteraan. Makanya ia berusaha agar aku mendapatkan pendidikan yang layak agar memiliki pekerjaan yang layak pula.

Ibu tidak sepenuhnya salah berpikir demikian (boleh bukan orang tua berharap kehidupan anaknya yang lebih baik darinya), tetapi tidak juga benar. Justru profesi petaninyalah yang menopang ketahanan pangan dan ekonomi keluarga. Kami tidak perlu membeli beras, ibu pun tak perlu merantau jauh ke luar negeri (seperti kebanyakan ibu di kampungku), kami juga mendapatkan pendidikan yang layak. Kami hidup cukup bahagia dengan apa yang dia upayakan.

Kemudian yang mengganjal di pikiranku saat ini, saat melihat secara langsung gagal panen musim ini, adalah aku yang tidak cukup berguna untuk ibu dan kehidupan bertaninya. Aku menyesali kenapa dulu tidak mengambil pendidikan yang dekat dengan kehidupanku. Ketika sekarang sepenuhnya tinggal bersama ibu, aku terkadang merasa asing karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk ibu. Benar kata WS Rendra, Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri atau kalimat lainnya yang tak kalah menyentak,

Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang
menjadi asing
Di tengah kenyataan
persoalannya….”

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!