
Tari Topeng Madura: Hiburan Para Raja Madura Yang Lestari Di Tangan Seniman Tari Dan Ukir
Seorang penari yang melakonkan tokoh Baladewa naik ke pentas, lengkap dengan busana tari berupa jamang, baju dan celana ala prajurit kerajaan yang dilengkapi kaos kaki dan kaos tangan dengan memegang sapu tangan dan tak lupa topeng khas nya. Gerak tubuhnya mengikuti instrument musik gendang, yang berbunyi “Ghe” dan “Tak” serta kenong telok (bonang) dan saronen.
Itulah tari topeng Ghetak, tarian yang menggambarkan tokoh Prabu Baladewa, putra dari Prabu Basudewa dari Kerajaan Mandura dalam kisah pewayangan. Tari Topeng Ghetak merupakan tiruan dari Topeng Dhalang yang dulunya hanya bisa dinikmati oleh kalangan raja atau bangsawan di istana. Di luar dugaan, tarian ini ternyata yang mempopulerkan dan melestarikan kesenian Topeng Madura yang dikenal sejak ratusan tahun lalu hingga saat ini. Dalam buku yang ditulis B Soelarto, Topeng Madura, sejarah seni topeng di Pulau Garam ini dibahas tuntas.
Sejarah Seni Topeng Madura
Pada abad ke 13 Madura sudah menjadi salah satu pusat kegiatan budaya di nusantara di samping Singosari. Hal itu ditunjang oleh inskripsi batu yang mewartakan pembuatan makam para raja Madura di Asta dengan tanggal 1212 caa (1290 masehi). Pada masa itu berkembang jenis seni seperti pahat, sastra dan seni musik Madura. Dalam salah satu pustaka Babad Madura juga disebutkan bahwa pada abad ke 14 semasa Prabu Menaksenaya memerintah kerajaan Jemberingin (Pamekasan), pembuatan topeng sudah di mulai.
Runtuhnya kerajaan Majapahit menjadikan Madura daerah merdeka yang terdiri dari kerajaan-kerajaan Madura barat dan Madura timur. Antara abad 15 dan 16 kata Topeng Dhalang mulai dikenal secara luas di Madura sebagai nama jenis pertunjukan rakyat yang berbentuk teater topeng.
Seni topeng Madura memiliki kemiripan dengan seni topeng yang berkembang di daerah Pulau Jawa. Hal ini dikarenakan hubungan akrab antara istana Jawa dan Madura yang mendorong pengembangan Topeng Madura. Semasa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II dan III (Raja Kasunanan Surakarta, 1727-1787) bentuk topeng diperindah dengan membuat topeng ukiran maupun pembuatan topeng baru yang disesuaikan dengan wajah tokoh-tokoh wayang kulit. Topeng-topeng versi terbaru ini pun berpengaruh di kalangan kerajaan Madura dan masyarakat pedesaan.
Semasa pemerintahan susuhunan Paku Buwono VII (1830-1850) hubungan antara istana kesunanan Surakarta dengan Madura, khususnya dengan istana Bangkalan semakin akrab karena Paku Buwono VII berkenan mempersunting putri Panembahan Cakra Adiningrat II dari istana Bangkalan. Paku Buwono mengetahui betapa besar perhatian mertuanya pada jenis kesenian topeng dan betapa populer pertunjukan Topeng Dalang di seluruh lapisan masyarakat Madura yang hampir selalu mempergelarkan lakon-lakon siklus Ramayana-Mahabarata. Oleh karenanya, Paku Buwono VII berkenan menghadiahkan kepada mertuanya, seperangkat topeng yang dibuat untuk pergelaran Topeng Dalang dengan lakon-lakon siklus Ramayana-Mahabarata. Dilengkapi busana serta berbagai macam perlengkapan (praba, jamang, kelat bahu, sumping) untuk para pemain atau penari dan seperangkat gamelan laras slendro (salindru-bahasa daerah Madura).
Hubungan akrab istana madura dengan istana jawa juga meliputi istana Mangkunegaran. Semasa Mangkunegaran IV (1853-1881) dan Mangkunegaran V (1881-1891) yang giat dikembangkan adalah kesenian topeng, baik yang berupa pergelaran-pergelaran Topeng Dalang, tarian-tarian lepas maupun penulisan lakon-lakon Topeng Dalang. Sayangnya, sejak abad ke 20, pagelaran tari topeng mulai jarang dipentaskan di istana-istana raja Madura. Tetapi justru di kalangan masyarakat pedesaan, kesenian topeng terus dihayati dan menjadi salah satu kesenian tradisionil Madura yang khas. Para pengukir di pedesaan masih terus membuat topeng, meskipun nilai seni ukirnya di bawah kualitas para pengukir istana. Namun para pengukir pedesaan berjasa dalam mempertahankan bentuk topeng gaya Surakarta serta gaya jawa timur (Malang, Lumajang, dll).

