desa
Carèta Embuk

Tinggal di Desa, Bekerja di Kota, dan Serentetan Realita

Sejak tidak lagi merantau dan menetap di kampung halaman, hidupku sepenuhnya berubah. Mulai dari status perempuan pekerja menjadi ibu pekerja, rutinitas sebelum dan sesudah bekerja hingga serentetan hal-hal baru yang mulai akrab menjadi rutinitasku. Salah satu yang terberat bagiku untuk beradaptasi adalah perjalanan dari rumah ke kantor ataupun sebaliknya. Tinggal di desa dan bekerja di kota benar-benar menguras fisik dan emosi.

Aku tinggal di sebuah desa di pesisir selatan Pulau Madura. Kurang lebih 30 menit dari Jembatan Suramadu. Desaku di bagian utara diapit gugusan bukit kapur, area persawahan dan sungai-sungai kecil sehingga cukup subur. Di bagian selatan, ada area pertambakan yang membudidayakan udang, garam, ikan sebelum akhirnya laut selat Madura. Desa yang menurutku mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya melalui hasil alamnya.

Desaku bukanlah pedalaman yang susah diakses tetapi punya permasalahan yang klasik, jalan-jalannya rusak parah. Banyak lubang dengan diameter yang cukup besar tersebar di beberapa titik. Jika sedang musim hujan, sudah tentu dikubangi air. Membentuk kolam-kolam kecil. Kondisi itu diperparah dengan tidak adanya penerangan jalan. Cukup berbahaya jika berkendara saat malam hari dengan situasi hujan. Jalan-jalan rusak itu akan menyambutmu sesaat setelah keluar Jembatan Suramadu, menuju jalan raya Sukolilo-Tebul-Kwanyar Barat dan jalan terusannya hingga ke desa-desa. Termasuk desaku.

Rute itulah yang aku lewati setiap harinya, pulang pergi selama 5 hari kerja.

desa
Area persawahan

Itu baru soal akses jalan. Sekarang mari bicarakan soal akses transportasi umum. Sejak penggunaan sepeda motor kian marak, angkutan umum atau di tempatku disebut montor semakin jarang. Penumpang kian sedikit, rute semakin pendek, durasi ngetem semakin lama, jumlah montor pun ikut menyusut. Jika dulu ingin pergi ke Surabaya via Pelabuhan Kamal, bisa dengan mudah naik montor. Sekarang mau ke Jembatan Suramadu (jarak lebih pendek dari Pelabuhan Kamal) saja belum tentu ada. Akhirnya naik sepeda motor atau ojek adalah solusi terakhir bagiku yang bekerja di kota.

Keterbatasan akses transportasi umum tidak sampai di situ saja. Untuk menyeberang via Jembatan Suramadu, pilihan transportasi umum yang ada hanyalah bus AKAS Madura-Surabaya. Bus ini lewat setiap 30-60 menit. Trayek bus AKAS mulai dari terminal terminal Sumenep (Madura) menuju Bungurasih (Surabaya) pun sebaliknya. Jika memutuskan naik bus AKAS untuk melewati Jembatan Suramadu, pikirkan rute perjalananmu berikutnya. Sebab setelah keluar Suramadu, tidak ada angkutan umum. Paling tidak sampai lampu merah Kenjeran.

Tidak ada transportasi umum yang terhubung

desa
Kawasan tambak

Ketika kantor memutuskan mulai WFO, satu hal yang bikin puyeng adalah gimana caranya ke kantor jika naik transportasi umum? Jika dirunut seperti di atas, memakan banyak waktu di jalan, dengan biaya yang mahal. Banyak waktu yang terbuang karena transportasi umum hanya beberapa yang terhubung, tidak mengakses semua jalan di Surabaya, termasuk kantorku.

Berbeda sekali dengan transportasi umum di Jakarta. Di jalan utama ada bus Transjakarta, antar kota atau provinsi ada KRL, masuk ke jalan-jalan kecil ada angkot yang saling terhubung. Dan menurutku ongkosnya lebih murah. Tinggal di desa dan bekerja di kota tidak memungkinkan hal itu. Satu-satunya yang bisa ku pilih adalah langganan ojek bulanan yang bisa mengantarku ke kantor tanpa harus banyak membuang waktu di jalan. Ya, meskipun harus menghabiskan ongkos yang mahal sekali. Memang harus ada yang direlakan.

Jika ada pertanyaan, kenapa ga kerja di Madura saja?

Pertama, lapangan pekerjaan di sini tak sebanyak di Surabaya. Apalagi dengan spesialisasi pekerjaanku. Ke dua, aku masih belum berniat resign dari pekerjaan lamaku. Pekerjaan yang aku dapat ketika tinggal di Jakarta lalu diberikan kesempatan mutasi ke cabang Surabaya ketika aku pindah. Aku pun tak punya bakat berwirausaha. Ke tiga, upah pekerja atau UMK Bangkalan terlampau kecil, aku perlu menyiapkan diri untuk itu. Mengingat kebutuhan kami yang harus menghidupi anak, ibu dan kakak.

Tak heran jika banyak orang Madura yang merantau atau bekerja di kota karena realita hidup di desa tak sesederhana ceritanya. Jika hanya untuk kebutuhan dasar seperti makan, insyaa allah cukup. Tetapi ingat, kerukunan masyarakatnya telah membentuk budaya gotong royong. Jika ada ada yang hajatan, ga enak kalau gak nyumbang. Kalau ada yang meninggal, gak sopan kalau ga takziah. Kalau ada yang sakit/lahiran, ya masak ga nengokin. Jangan lupa hutang buwuhan. Dan hal-hal lain yang sebenarnya tidak ada dalam daftar kebutuhan bulanan.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!