Cerita Embuk

Jakarta dan Kenangannnya yang Melekat di Pelupuk Mata

20 Tahun yang lalu, Jakarta hidup dalam berita-berita yang tersiar di televisi, menjadi latar cerita kehidupan Si Doel yang seorang anak betawi yang bisa kuliah dan menjadi insinyur. Jakarta adalah kota metropolitan yang kerap menjadi lirik dari larik puisi para pujangga, atau kota yang kerap menjadi latar tempat penyanyi cilik tumbuh besar & kala bosan memilih liburan di kampung, menemui paman melalui lagu kanak-kanaknya.

Jakarta kala itu juga ditemui dalam kolom koran: mengabarkan pembangunan, pusat pemerintahan, tempat orang-orang bergelimang kemewahan, berpendidikan dan lekat dengan peradaban modern. Isi koran, radio dan televisi mengabarkan semua hal tentang Ibu Kota. Dengan semua gambaran itu, Jakarta adalah kota impian yang menjanjikan masa depan lebih baik. Kota tempat orang-orang menaruh banyak harapan sekaligus keputusasaan.

Dalam pikiran kebanyakan anak kampung seperti gue, bisa menginjakkan kaki di ibu kota negara semacam cita-cita ke-dua. Pernah bekerja, kuliah atau tinggal di Jakarta seperti memiliki kebanggaan. Maka ketika kesempatan itu ada, untuk apa berpikir dua kali? Merantaulah segera.

Selama sembilan tahun hidup di (pinggiran) ibu kota, gue turut menyaksikan berbagai dinamika kota ini. Mulai dari pembangunan, isu politik-agama-lingkungan, masyarakat dan hal lainnya. Gue menikmati euforia, juga gejolaknya. Jakarta, yang kerap digambarkan sebagai ibu kota yang keras itu ternyata (percayalah) gak seburuk yang dibayangkan orang. Tinggal selama sembilan tahun dan terlibat secara langsung dengan kehidupan di sana ternyata ga seburuk itu. Mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan Jakarta adalah tempatnya orang-orang yang mau bekerja keras. Ya, persaingan kerja, karya, bisnis, dan pendidikan di kota ini sangat kuat. Hanya mereka yang mau bekerja keras yang dapat bertahan dan menerima kota ini dengan pandangan yang berbeda.

Ketika memutuskan untuk mengakhiri perantauan di Jakarta, kenangan selama sembilan tahun di kota ini serta merta bermunculan. Ada rasa berat sekaligus haru mengenang perjalanan merantau (yang tidak seindah di FTV atau sinetron).

Bagaimana kali ini gue mengenang Jakarta sebagai kota tempat gue di tempa menjadi pribadi yang sangat berbeda dengan sembilan tahun yang lalu?

Bagaimana jika yang gue kenang justru hal receh yang tak akan sama gue temui di tempat gue tinggal berikutnya. Misalnya: Perjalanan busway enam jam pulang pergi, momen jalan kaki dari halte busway ke kantor, nyebrang rel, ketemu ibuk-bapak yang nampak payah menarik gerobak hasil memulung sampah, atau beli seblak yang enak banget deket halte dan kosan lama.

Semoga kelak ada kesempatan berkunjung ke sana dan bernostalgia dengannya.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!