perempuan sangkal
Cerita Embuk

Perempuan Sangkal: Tradisi dan Kutukan yang Mengebiri Eksistensi Perempuan Madura

Menjadi perempuan itu tidak mudah, apalagi menjadi perempuan Madura. Jika Tuhan telah menakdirkan jodohmu kelak, maka tradisi Madura dapat menginterupsinya lebih awal. Sebuah perjodohan yang akan mengikatmu juga mengebiri kebebasanmu sebagai perempuan. Pada generasiku (kelahiran tahun 90-an) dan sebelumnya, praktik pernikahan dini karena dijodohkan menjadi hal yang lumrah. Anak perempuan dituntut menurut. Ia tidak punya pilihan, atau sekadar ditanya apakah bersedia atau tidak. Sudah semestinya anak perempuan mengikuti apa kata orang tuanya, jika tidak, label menjadi perempuan sangkal akan disandangnya.

Sebagai perempuan Madura yang lahir dan besar di Pulau Madura, aku pun tak luput dari tradisi ini. Hampir sebagian besar perempuan di keluargaku dan kampungku menikah karena dijodohkan. Pacaran masih menjadi hal yang tabu karena kerap dilekatkan dengan perbuatan maksiat yang dilarang dalam agama. Maka pilihan terbaik bagi para orang tua untuk anak perempuannya adalah menyekolahkannya di pondok pesantren. Di Madura, pada saat itu masih cukup banyak ponpes salafi yang hanya menyediakan sekolah agama saja, tanpa tambahan sekolah formal seperti SMP dan SMA. Anak perempuan seolah-olah memang dipersiapkan menjadi istri dan ibu sesuai standar agama. Toh, ketika lulus mondok hanya punya ijazah madrasah tanpa penyetaraan dengan pendidikan formal. Bahkan banyak dari temanku tak sampai lulus mondok karena sudah lebih dulu dinikahkan oleh orang tuanya.

Tradisi Perjodohan

Tempo hari sebuah video viral. Dalam video itu seorang anak perempuan dibawah umur bertunangan dengan anak laki-laki yang seumuran dengannya. Video yang berbeda lagi, anak perempuan dinikahkan dengan seorang pria yang lebih pantas jadi bapaknya, ketimbang suaminya. Di Madura, fenomena pernikahan anak di bawah umur bukan sesuatu yang baru. Teramat usang dan sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakatnya. Ya, tradisi perjodohan. Para orang tua meyakini menikahkan anak dengan pasangan pilihannya adalah yang terbaik. Jangankan yang sudah dewasa, masih bayi pun ada yang sudah dijodohkan karena hubungan pertemanan atau kekerabatan orang tuanya.

Aku pun nyaris mengalaminya. Masih di tahun ke tiga mondok, lamaran pertama datang dari anak teman ibuku. Kami tak saling mengenal, kecuali orang tua kami yang berteman dekat sehingga memiliki gagasan untuk menikahkan kami. Aku menolak untuk pertama kalinya tetapi tak membuat jera keluargaku. Berikutnya lewat jalur guruku, Pak Kiai yang ternyata masih punya hubungan kekerabatan dengan calonku. Lelaki ke dua ini cukup terkenal sehingga sangat percaya diri saat kami dipertemukan di dhalem ibu nyai. Aku menolak kembali. Ke tiga kalinya, teman bibiku. Ke empat, masih saudara sendiri. Semuanya memang tak ada yang berlanjut seperti yang diharapkan.

Apa yang membuatku menolak? Tentu karena aku masih dalam proses belajar, aku pun tidak mengenal mereka dan dua orang di antaranya usianya terpaut jauh dari ku. Penolakanku juga bukan tanpa risiko. Setelahnya, hubungan baik ibuku dengan temannya rusak. Aku mempermalukan keluargaku dihadapan Pak Kiai dan calon besan yang sudah bersiap mengadakan acara lamaran. Keluarga bibi ku pun menanggung malu. Semua kekacauan itu terjadi gara-gara aku. Lucu sebetulnya, kenapa aku yang disalahkan? Sedangkan dari awal mereka tidak pernah mempertimbangkan kesediaanku untuk dijodohkan. Pada saat yang sama juga mereka khawatir padaku, takut aku menjadi perempuan sangkal.

Perempuan Sangkal

Sangkal merupakan istilah yang merujuk pada makna tertolak. Istilah ini dilekatkan pada perempuan yang kerap menolak pinangan sehingga akan berakibat sangkal pula pada dirinya. Perempuan sangkal dicap akan sulit mendapatkan jodoh, jika bertunangan akan putus dan yang terburuk dia akan menjadi parabân towa (perawan tua). Sangkal seolah menjadi alat untuk menekan perempuan sehingga harus tunduk pada aturan-aturan. Sangkal juga menjadi kutukan untuk perempuan yang berani menolak dan bersuara.

Demi menghindari kesangkalan anak perempuannya, maka para orang tua tidak pernah menolak lamaran pertama untuk anak gadisnya. Perempuan tentu tak dilibatkan, ia hanya perlu menuruti apa yang sudah diputuskan. Siapapun yang datang untuk melamar akan diterima. Tak peduli lagi bobot, bebet dan bibit calon mempelai pria. Namun adakalanya terjadi juga penolakan sehingga keluarga sang gadis bersegera melakukan ritual. Salah satunya ritual mandi kembang tujuh rupa yang telah didoakan pemuka agama. Ritual ini dipercaya sebagai cara yang paling ampuh untuk menolak kesangkalan. Aku pun pernah melewati prosesi ini.

Setelah melewati prosesi ini, apakah perempuan terselamatkan dari “kutukan” tersebut? Tidak selalu. Perempuan Madura kembali pada realitas yang sama: bersiap pada pinangan berikutnya, tanpa pernah diberi kesempatan untuk eksis sebagai dirinya sendiri. Riwayat penolakannya pun tak langsung terhapus dari ingatan masyarakat dan akan selalu menjadi bayang-bayangnya. Jika pada usia yang dianggap telah melewati masa keemasannya ia tidak jua menikah, ia akan dengan sendirinya dicap sebagai perempuan sangkal. Pada akhirnya, ia menjadi korban lagi dan berkali-kali.

Jika saja perempuan diberikan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan dilibatkan sejak awal tentang pilihan masa depannya, hidup ini akan terasa lebih setara. Perempuan tak perlu takut lagi dengan kutukan sangkal jika memang lelaki yang dijodohkan dengannya tak sesuai kriteria. Perempuan sama berhaknya dengan lelaki untuk menentukan pasangan dan hidupnya.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!