Literasi berkaki
Cerita Embuk

“OBROLAN: Darurat sampah, Yuk Kenalan sama Wilah”: Program Berbagi Perdana Literasi Berkaki

Menggelar  lapak buku di Taman Cempaka adalah rutinitas yang nyaris tak pernah dilewatkan oleh tim Literasi Berkaki di akhir pekan. Buku-buku menunggu untuk digelar tanpa sekat tembok gedung perpustkaan, menemui langsung pembacanya. Entah mereka yang sedang seliweran lewat, lari pagi, piknik atau siapa saja yang melintas di area kami melapak.

Lupakan kantuk yang tak kunjung hilang meski sudah dicekoki es kopi sachetan. Abaikan tatapan tak bersahabat segelintir orang ketika kami sedang menggelar karpet karet, menata buku di atasnya, meletakkan banner komunitas dan mulai melempar umpan kata-kata demi menarik pembaca.

Sejak digagas dan terus digas oleh dua pendirinya dua tahun silam, minat baca dan ketertarikan pada buku di area Taman Cempaka naik turun. Naik ketika kami memiliki sejumlah pembaca  dan relawan tetap, lengkap dengan kegiatan tambahan selain membaca dan membacakan. Turun saat pembaca mulai absen, pun relawannya (termasuk kami, tim Literasi Berkaki).

Seharusnya itu menjadi tantangan bagi kami untuk terus mencari cara bagaimana komunitas dan kami (secara tim dan invidu) terus berkembang. Sehingga tujuan menyebar virus membaca tidak hanya menggaet para pembaca muda maupun tua, tapi mengajak lebih banyak orang terlibat dalam kegiatan ini. Tapi bagaimana caranya?

Jawaban yang kami temui adalah Kami harus banyak membuka diri untuk belajar, berjejaring dan sharing . Lalu muncullah gagasan program OBROLAN: Ngobrol Santai Bareng Relawan. Sebagaimana judul dan tagline-nya, program ini berupa obrolan ringan seputar relawan dan  isu yang paling dekat dengan kegiatan kami. Narasumbernya, bisa siapa saja yang tertarik berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan kami.

Minggu, di awal bulan September 2019 atau 1 Muharram 1441, program OBROLAN digelar untuk pertama kalinya. Kami mengundang Ryan Sucipto sebagai pemateri. Ryan memiliki pengalaman sebagai seorang pendiri komunitas bernama Social Designee dan kreator permainan edukasi, Wilah.

Kegiatan bertajuk, “Darurat sampah, Yuk Kenalan sama Wilah”, tidak hanya untuk internal Literasi Berkaki, kami juga membuka kesempatan bagi siapa saja untuk terlibat dalam kegiatan ini. Hadir beberapa peserta mulai dari orang tua pembaca, Komunitas Kampung Buku, Bank Sampah Kalimalang, hingga anggota Mapares Universitas Respati Indonesia.

Sekapur sirih disampaikan Cak Mus dan Ghi sebagai pemandu sekaligus moderator. Berlatar Taman Cempaka, dua hammock pengganti kursi, beralas terpal bekas spanduk, jajanan pasar dengan jumlah kalori yang tinggi, air mineral galon dengan pompa galon elektrik, kami memulai kegiatan siang itu dengan khidmat.

Dasar moderator dadakan namun kepercayaan diri & intelegensi yang sangat tinggi, Ghi melempar pertanyaan substansi layaknya seorang pemandu acara professional. Namun tetap dengan gayanya yang santai dan cenderung reaktif.

Kreativitas untuk memecahkan sebuah permasalahan

Mengutip data Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, sekitar 40 juta orang hidup di bawah garis layak. Mulai dari kemiskinann, bencana alam, difabel, dll. Untuk hidup mandiri secara natural, butuh bantuan dari orang lain. Artinya bantuan yang dibutuhkan itu banyak, salah satunya melalui kreativitas.

 “Desain adalah problem solver. Jadi desain itu membuat kreasi untuk membantu memecahkan masalah. Ketika desain disambungkan ke (ranah) sosial, cocok banget karena ada problem. Apalagi di Indonesia, sebagai negara dengan  banyak masalah, semakin banyak peluang sehingga bisa berkarya dan kreasi ini bisa jadi solusi yang unik dan itu sangat powerfull sekali.” tutur Ryan. Selain itu indeks kreativitas global, Indonesia masih diperingkat 115 dari 139 negara dalam segi kreativitas. Sedangkan saat ini Indonesia mulai memasuki era industri kreatif.

“Tetapi mindsetnya masih kaku,belum kreatif, belum berani out of the box . Itu akan cukup sulit karena kreativitas itu penting untuk kita sebagai problem solving dan berinovasi.”  tambahnya.

Ryan mengisahkan pengalamannya dan tim Social Designee ketika melakukan kunjungan ke kampung binaan di daerah Tangerang. Selama ini, ia dan tim berkegiatan di antara sampah. Ryan dan tim pun memanfatkan barang bekas sebagai media berkreativitas.

“Lalu kita kita berkembang lagi dan menemukan tiga masalah di tembok pembatas kampung. Pertama, vandalisme, orang corat-coret tembok dan tulisannya kasar. Ke dua, buang sampah sembarangan di tembok. Ke tiga, untuk buang air sembarangan. Kami berpikir bagaimana dengan kreativitas kita bisa menyelesaikan masalah ini.” Ujar Ryan.

Tim Social Designee datang membawa cat dan mengajak warga untuk coret-coret bareng. Tetapi sebelum itu, mereka mengajak warga gotong royong membersikan area tembok. Akhirnya tembok yang semula dijadikan tempat sampah menjadi tempat selfie. Terselesaikanlah satu masalah, sampah di depan tembok tidak ada lagi.

Wilah Card Game, Permainan Edukatif Tentang Pemilahan Sampah

Masalah sampah di depan tembok memang terselesaikan namun Ryan dan tim terus memantau dan mengevaluasi. Satu masalah baru muncul, warga kembali membuang sampah dengan cara melempar sampah ke belakang tembok.

“Akhirnya kami berpikir bagaiamana cara mengedukasi sampah. Indonesia itu negara dengan peringkat kedua sebagai penghasil sampah terbesar di dunia. Tetapi saya beranggapan begini, tidak apa sebagai negara dengan sampah terbanyak ke dua, tetapi kita juga harus menjadi negara yang punya kemampuan mengolah sampah paling tinggi, jadi bertanggung jawab sama sampah,”  

“Dari sekala kecil apa yang bisa saya pelajari? Daerah saya kan Kabupaten tangerang dengan sampah perharinya mencapai 1700 kubik dan yang bisa terangkut hanya sekitar 800nya. Sisanya tergeletak di sembarang tempat. Bagaimana caranya ? Jawabannya adalah pengolahan sampah. Tetapi masalahnya adalah sampah tidak boleh dicampur. Sampah plastik pengolahannya sendiri, kertas, organic, kaca dan logam pun sendiri. Salahnya sekarang adalah satu tempat sampah, semua dicampur.” jelas Ryan. Berawal dari gagasan inilah, Ryan menciptakan board game Wilah.

Wilah adalah permainan kartu edukasi pemilahan sampah. Wilah dirancang sebagai permainan kartu untuk mengedukasi tentang pentingnya memilah sampah di Indonesia. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran akan lingkungan dan kemampuan masyarakat untuk bertanggung jawab dengan memilah dan mengolah sampah.

Kehadiran Wilah disambut baik dan telah diperkenalkan kepada perwakilan leader dari 34 provinsi World Cleanup Day dan beberapa delegasi dari luar negeri. Pada 8 Mei lalu, Wilah baru saja memenangkan Tabletop Game Design Competition yang diadakan oleh Kurawal. Kompetisi ini mengusung tema “Problem Solving for Society in Indonesia”.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!