Perjalanan Rasa: Menjadi Perempuan Lajang, Istri, dan Ibu
Sejak lahir menjadi manusia berkelamin perempuan, aku tahu perempuan tak akan menjalani kehidupan yang biasa. Ia akan menjalani kehidupan yang berkelindan. Mirip pintalan benang pada awalnya, tergulung rapi, mengulur sesuai alurnya, lalu sewaktu-waktu putus sebab rapuh atau karena terlalu kuat tarikannya. Sewaktu-waktu kusut, sewaktu-waktu menjadi semakin kusut, semakin kusut hingga tak lagi ditemukan ujungnya untuk diurai.
Meski demikian, Ia akan menemukan ujungnya untuk diurai dan dipilin kembali. Membentuk kembali menjadi pintalan benang utuh. Lalu dari tangannya akan tercipta hal-hal yang luar biasa, bahkan tak terbayang oleh dirinya sendiri.
Nak, Ibuk akan cerita tentang sebuah pengalaman yang mengantarkan ibumu ini mencecap berbagai rasa dalam setiap fase kehidupan. Adakalanya manis, asam, asin, pahit bahkan hambar. Semoga cerita ini menjadi penguat kaki, hati dan pikiranmu, kelak.
Menjadi lajang
Masa ketika kamu merasa bebas memiliki dirimu sendiri. Ya, dirimu sendiri. Seharusnya. Meski terkadang kakimu diikat oleh kewajiban-kewajiban sebagai anak, sebagai kakak, sebagai adik, sebagai bagian dari keluarga kecil/besar. Meski lehermu dijerat oleh keharusan untuk tunduk pada norma, tradisi atau hal-hal yang menjadi standar di keluarga dan lingkungan. Meski kerap mulutmu dibungkam, sekadar mengatakan keinginan, bukan berteriak lantang menentang. Semua tertahan di kerongkongan.
Kamu pun terkadang terpaksa menjadi dua diri yang berbeda. Menjadi seperti yang mereka inginkan, tanpa banyak perdebatan. Tersenyum, merasa bahagia. Namun, pada diri yang lain, pada saat yang bersamaan atau tidak, sedih, merasa begitu malang. Katanya, kamu sedang dalam masa pencarian jati diri. Padahal sejak awal, jati dirimu sudah ada bersamamu, ia terus bersamamu. Merekalah yang membuatnya seolah-olah ia tak pernah ada.
Adakah yang memercayai dirimu? Apalagi ketika pilihan-pilihan hidupmu tak sesuai. Tak ada. Bahkan Ibumu sendiri. Ia terlalu takut sehingga ragu pada pilihan dan kemampuanmu. Kamu kerap ditinggal sendirian, lalu diminta pertanggung jawaban atas pilihanmu.
Kamu manusia bebas, seharusnya. Tidak perlu gelisah dengan pertanyaan, kapan lulus, kapan punya pacar, kapan bekerja, kapan menikah? Atau takut dan ragu pada pilihanmu sendiri. Tidak ada salahnya, kamu melongggarkan ikatan di kakimu, agar kamu tahu jalan apa yang akan kamu lalui, orang-orang baru dan kesempatan baru yang akan kamu temui. Tidak ada salahnya kamu berani melonggarkan jerat di lehermu agar kamu bisa bernapas lebih lega, berpikir lebih luas dan berbicara lebih jelas.
Nak, hal pertama yang harus kamu yakini adalah kamu percaya pada kemampuanmu, pada dirimu. Tak perlu membuktikan apa-apa kepada mereka yang meragukanmu karena itu bukan kewajibanmu. Bertekadlah untuk mewujudkan apa yang kamu impikan. Jangan terbuai dalam tidur panjang tetapi bangun dan buat ia jadi nyata. Karena masa lajangmu adalah kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatkan pengalaman dan ilmu.
Menjadi Istri
Berawal dari seorang menjadi sepasang. Nak, keputusan untuk menikah adalah keputusan yang harus diambil melalui banyak pertimbangan, bukan karena desakan. Dia yang kamu pilih, semoga lelaki yang selalu menerima dirimu, baik juga buruknya dan mengajakmu tumbuh bersama. Berjalan beriringan, mau menunggu langkah kecilmu yang kadang membuat langkah kalian tak sejajar. Jika pun harus berlari, Ia mau menggengam tanganmu agar tak tertinggal jauh. Nak, pilihanmu akan menentukan bagaimana dirimu dan hidupmu berikutnya.
Mungkin, kamu akan diterima dengan tangan terbuka oleh keluarganya. Menerimamu dengan baik, sebagaimana anaknya ingin diterima dengan baik oleh keluargamu. Merasa satu sama lain layak menjadi pasangan. Namun, jangan kaget jika nantinya kamu justru dirundung dengan berbagai alasan: fisikmu yang dianggap tidak memenuhi standar mereka, bebet-bobot-bibitmu tak seperti yang diharapkan. Ingat Nak, kamu berharga dan tak ternilai. Itu tak akan berkurang karena penilaian mereka. Kamu sempurna dan layak untuk orang yang telah memilihmu.
Kamu sudah terikat janji pernikahan: menjadi istrinya, menjalani kewajibanmu dan mendapatkan hakmu. Pun dia. Tidak ada perdebatan dan tuntutan karena kalian adalah tim yang saling menopang. Serupa bahtera: nahkoda dan awaknya. Saling bekerjasama agar kapal dapat mengarungi lautan luas, tangguh menghadapi badai, mengunjungi banyak dermaga hingga tiba di tujuan bersama.
Kamu dan dia berbeda peran sebagai suami dan istri. Kamu tahu peran dan tanggung jawabmu, dia pun sama. Saling berbagi mulut (berdiskusi, bercerita), mata (perhatian), telinga (mendengarkan), dan isi kepala dan hati (bertukar pikiran – saling mengerti). Tetapi kamu perlu ingat, kamu dan dia setara sebagai manusia, sehingga menjadi istri tidak memenjarakan dirimu. Ia justru membebaskanmu untuk tetap menjadi dirimu, lalu berkembang. Ya, sama-sama berkembang. Menjadi istri/suami yang baik, juga manusia yang lebih baik.
Kehidupan pernikahan tak selalu putih, adakalanya hitam.
Sebab yang terikat tidak hanya kalian berdua, tetapi lebih dari itu. Kalian hidup dalam keluarga yang besar. Pertanyaan-pertanyaan, “kapan hamil?” akan selalu menyapa, tak henti. Seolah kamu hanya alat untuk memproduksi anak sebanyak-banyaknya, seolah itu menjadi tujuan utama pernikahan, seolah menjadi kewajiban untuk memperpanjang generasi penerus. Dari mulai kamu merasa tidak nyaman, stres hingga kamu sama sekali bodoh amat. Meski jauh di lubuk hatimu, pertanyaan-pertanyaan itu telah menjadi kubangan luka. Bahkan kamu mempertanyakan kualitas dirimu sebagai perempuan. Kamu akan merasa tidak sempurna karena dianggap tidak bisa memberikan keturunan. Bersiaplah untuk menerimanya sembari menguatkan hatimu.
Tuntutan demi tuntutan akan silih berganti datang. Kamu harus begini, begitu, agar suamimu begini dan tidak begitu. Seolah kesetiaan hanya dibebankan pada istri saja. Padahal menjadi sepasang adalah keputusan yang diambil dengan kewarasan akan tanggung jawab masing-masing. Kamu dan dia adalah dua orang dewasa yang tahu komitmen. Tetapi adakalanya suamimu dapat mengerti, tetapi mereka menolak memahami karena merasa memiliki pengalaman hidup.
Nak, kamu dan dia memang hidup dalam dua keluarga yang besar tetapi kamu memiliki keluarga kecil yang baru dimulai. Kamu dan dia. Jadikan ia tempatmu untuk pulang, selalu untuk pulang. Tak ada yang lebih nyaman daripada itu.
Menjadi ibu
Fase perempuan yang paling kompleks adalah menjadi ibu. Sebab di sanalah perempuan memiliki banyak peran dan tanggung jawab. Nak, persiapkan dirimu dengan sebaik-baiknya karena menjadi ibu adalah tentang persiapan untuk belajar dalam masa yang teramat panjang. Bahkan di mulai jauh sebelum mulut mungil anakmu dengan manja merajuk memanggilmu Ibu. Masa kehamilan yang menggembirakan juga melelahkan. Tubuhmu bisa saja beradaptasi dengan mudah ketika janin itu hadir atau sebaliknya. Entah berapa kali mual, pusing, muntah dan gejala awal kehamilan yang “menyiksa”. Tubuhmu akan berubah dengan perlahan, ya tidak hanya perutmu yang semakin membesar tetapi bagian tubuh lainnya jua. Perasaanmu akan sering berubah dengan cepat. Belum lagi suara berkedok kepedulian yang terkadang melebihi batasnya. Pada masa ini, tidak hanya janin yang berkembang, kamu dan suamimu sama halnya.
Setelah bayimu lahir, pelajaran berikutnya akan segera menghampirimu tanpa jeda. Proses pemulihan pasca lahiran, drama menyusui, tangisan-tangisan yang kadang tak dapat diterjemahkan, dan sindrom yang membabi buta perasaanmu. Ah, belum lagi kelelahan yang tak dapat dibendung: kamu akan sering kurang tidur, telat makan, tak sempat mandi, belum lagi harus menemui tamu-tamu yang merasa perlu menjenguk. Meski demikian, kamu boleh sekali merasa lelah, menangis atau meluapkan segala rasa agar kamu punya kekuatan untuk melanjutkan perjalanan yang masih teramat panjang ini.
Ketika kamu tiba di fase ini, menerima banyak pengetahuan baru, terkadang ada saja yang tak sejalan dengan keputusanmu. Padahal setiap keputusan yang kamu ambil untuk anakmu adalah adalah perjalanan panjang logikamu mengumpulkan berbagai informasi dan memilahnya untuk kemudian diproses oleh nuranimu. Artinya, setiap keputusan yang kamu ambil dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Namun bersiaplah jika nanti kamu akan tetap dipersalahkan dan menjadi lantaran setiap apa yang terjadi pada anakmu.
Nak, ketika kamu menjadi ibu, kamu harus terbiasa dilupakan siapa dirimu, apa kebutuhanmu, apa impianmu, bahkan namamu saja sering tak tersebut. Perhatian hampir sepenuhnya teralih pada anakmu. Lakon baru sedang dimulai, dan Ia peran utamanya, kamu hanya cameo yang menopang cerita. Dan, terkadang kita akan sering berdebat tentang apa yang terbaik untuk anakmu. Ibu yang merasa punya banyak pengalaman dan kamu yang merasa cukup dibekali pengetahuan baru. Pun kamu dengan ayahnya anakmu, perasaan kalian akan timbul tenggelam. Pada masa ini dan masa setelah ini jangan pernah menyerah meski teramat lelah. Meski peranmu dianggap cameo, anakmu sepenuhnya bergantung padamu. Kamu pun akan sangat bergantung padanya. Sebab kamu adalah dunianya dan dia adalah duniamu.
Apa menjadi seorang Ibu seberat itu?
Tidak juga, selalu ada hal-hal bahagia yang juga menyertainya. Ketika testpack bergaris dua, tidak ada rasanya kebahagiaan yang melebihi hal itu. Perasaan deg-degan tiap kali “mengintip” pertumbuhan anakmu, perut yang semakin membuncit dan momen menjelang kelahirannya. Apalagi saat tangis anakmu pecah untuk pertama kalinya, kamu akan merasa bahagia berkali lipat dari yang pernah dirasakan. Sejak kelahiran anakmu, kamu menjadi lebih sering tertawa, bahagia pada hal-hal kecil dan sepele. Hidup menjadi lebih menyenangkan. Semua lelah terkadang dengan mudah terbayar oleh senyuman atau rajukan manjanya.
Apa menjadi seorang Perempuan seberat itu?
Tidak juga. Menjadi perempuan adalah pengalaman terbaik menjadi manusia. Kamu akan banyak menerima kasih sejak masih dikandung ibu. Memiliki pengalaman reproduksi yang kompleks, menghadapi berbagai stigma, berperan ganda dalam kehidupannya. Semua hal itu akan menjadikanmu seorang yang tangguh dan bernilai. Menjadi agen perubahan untuk dirinya sendiri.
Pada masamu, Ibu berharap perempuan sudah sepenuhnya merdeka dan setara. Punya banyak kesempatan untuk belajar, mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, nyaman dengan pilihan hidupnya. Tidak lagi dipandang sebelah mata hanya karena seorang perempuan.
Dan semoga ketika kamu sudah bisa membaca tulisan ini, Ibu dan Ayah masih membersamaimu. Mungkin kita bisa berdiskusi tentang tulisan ini, apakah masih relevan pada masa mu nanti. Jika pun tidak, di mana pun Ibu dan Ayah akan selalu jadi orang pertama yang mendukungmu dan mencintaimu. Sampai kapan pun.
Surabaya, 15 Desember 2022