pelabuhan sunda kelapa
Cerita Embuk

Puisi Pelabuhan Sunda Kelapa dan Potret yang Membersamainya

Menyebut nama Pelabuhan Sunda Kelapa, kosa kata yang paling mudah terlintas adalah Jakarta Utara, Tanjung Priok, Keras, Kontainer. Padahal dalam setiap memori manusia yang pernah mengunjunginya tentu sangat berbeda. Seperti yang terekam di ingatanku kala mengunjunginya pada tahun 2017 lalu bersama seorang kawan baik. Kami menyusuri area pelabuhan yang cukup luas dengan berjalan kaki. Langit kala itu mendung tetapi kami memutuskan untuk memotret aktivitas pelabuhan.

Di sepanjang dermaga, kapal-kapal berlabuh. Sauh ditautkan. Ada yang memang telah usai perjalanannya, ada yang sedang bongkar muatan, adapula yang bersiap berangkat memulai perjalanan baru. Kesibukan seperti itu adalah pemandangan yang biasa di sebuah pelabuhan. Kami sempat bertemu dengan seorang awak kapal yang berasal dari Sulawesi, yang telah melaut puluhan bahkan ratusan hari. Di sana kami juga menjumpai berbagai macam manusia dengan profesi yang berbeda. Ada pedagang kopi, nasi, kuli, juru parkir atau wisatawan.

Menutup tulisan ini, aku kutip puisi Pelabuhan Sunda Kelapa, karya Wayan Jengki Sunarta

aku berkawan debu
air keruh, dan udara bertuba
langkah gontai menyusurimu
di terik siang, sunda kelapa

tongkang, perahu kayu, tiang layar
tak lagi rindu lengking camar
hanya seringai kuli-kuli pelabuhan
menahan lapar
di legam kulitnya matahari mati rasa

seorang tua menawariku bersampan
“kan kuajak kau melayari masa silam
sunda kelapa,” ujarnya

aku seperti akrab dengan senyum kakek itu
dia begitu saja muncul dari muara keruh,
di antara tongkang, perahu,
dan sampah kota jakarta

dari atas sampan, kakek bertopi pandan itu,
kembali bersuara: “anak muda,
kau seperti tak asing di mataku.
mungkinkah dulu kita pernah bertemu?”

aku hanya senyum santun
tak ada kata yang mampu
menjelaskan pertemuan

kakek itu lenyap dari pandangan
kembali kususuri jalanan berdebu
hingga ujung pelabuhan

langit tiba-tiba menghitam
di tiang layar
seekor anak camar
gemetar
menahan angin garam

di jalanan pulang
aku terkenang
kisah yang lekang
kakek tua itu adalah aku.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!