Ruang Kata & Rasa

Tanah Merah

Gadis itu bersimpuh disamping gundukan tanah merah. Tangannya memegang erat nisan kayu tak bernama. Bibirnya bungkam sejak satu jam yang lalu. Tatapan matanya kosong. Hanya desahan nafasnya yang terdengar begitu berat.

“Sebentar lagi hujan, sebaiknya kita pulang, kak.” bujuk Daun untuk kesekian kalinya. Ranting meliriknya getir.

“Pulang? Apa kita masih punya tempat untuk pulang?” tanya Ranting lesu. Daun  terdiam bisu dan menunduk sendu. Ia tak tahu harus menjawab apa, ia hanya bisa mengingat apa yang membuat mereka sampai di titik ini.

***

Dua hari yang lalu, Daun berulang tahun yang ke-12. Tak ada pesta atau perayaan lainnya. Ibu, Ranting, dan daun khidmat di atas sajadah dengan tangan menengadah, memanjatkan doa untuk kehidupan mereka. Usai salat, ibu menyerahkan kado pada putri bungsunya itu.

Daun memekik girang. Baru kali ini ibu memberi hadiah di hari ulang tahunnya. Sebelum-belumnya Daun harus puas dengan doa dan harapan-harapan ibu. Bahkan kakaknya, Ranting belum pernah mendapat hadiah dari ibu.

Ini hadiah pertama yang daun terima dan pasti sangat spesial. Daun segera melepas pembungkus kado dan dilihatnya lipatan kain berwarna merah muda. Daun mengulum senyum. Mungkinkah ini baju yang pernah dia pandang tak henti ketika menemani ibu kepasar kala itu. Kalaupun bukan, Daun akan tetap senang menerimanya. Sudah lama Daun tidak punya baju baru. Baju yang dimilikinya kebanyakan baju turunan dari Ranting atau pemberian seorang dermawan.

Tangan Daun menyentuh pelan kain merah muda itu, lalu jemarinya menarik ujung kain hingga kain itu terurai dan menunjukkan bentuknya. Daun tercekat dengan apa yang dilihatnya, bingung dan mencoba menerima dengan apa yang dilihatnya. Hadiah dari ibu bukan baju, tetapi kain polos berbentuk segi empat. Daun mendesah pelan, ia tahu betul maksud ibu menghadiahinya kain segi empat itu.

“Kamu suka?” tanya ibu, bingung dengan respon yang ditunjukkan Daun. Daun mengangguk dengan senyuman tak selebar beberapa menit yang lalu.

“Tentu saja dia suka, bu. Ranting saja dulu pakai taplak meja.” seloroh Ranting, berusaha menutupi kekecewaan di wajah Daun. Ibu tergelak mendengarnya lalu beranjak ke kamarnya.

Seperginya ibu, Ranting menarik tangan daun ke kamar mereka. Menutup pintu dan jendela serapat mungkin. Apa yang akan mereka bicarakan, sedikitpun ibu tak boleh mendengarnya. Ranting mendudukkan adiknya di pembaringan dan duduk tepat di hadapannya. Matanya menatap tajam Daun.

“Kamu tahukan ini sudah waktunya? Tapi kenapa kamu malah seperti kecewa”.  ucap Ranting sepelan mungkin. Daun menarik nafas berat, ia tahu hari ini akan datang dan dia siap untuk menjawab pertanyaan kakaknya.

“Tak bisakah jika Daun menentukan sendiri?” tanyanya membuat nyala dimata Ranting semakin terang.

“Kamu sudah baligh. Berhijab bukan urusan siap atau tidak siap. Ini kewajiban untuk perempuan yang sudah baligh.” ucap Ranting tegas.

Daun bergeming. Bukan itu yang membuat Daun gentar mengenakan penutup kepala. Ada sesuatu yang lebih berat dari itu. Sesuatu yang akan mudah mengubah jalan hidupnya.

“Bagaimana jika orang melihat Daun aneh dan berbeda?” gumamnya penuh keresahan.

“Kamu takut?” tanya ranting. Daun mengangguk. Ya, Daun terlalu takut dengan persepsi orang karena selama ini Daun hidup dibawah bayang-bayang persepsi orang tentang ibu, kakaknya dan alm. bapaknya.

Ranting mendesah pelan, diraihnya tangan daun dan digenggamnya erat.

“Kamu boleh takut tapi jangan jadi pengecut. Kamu harus berani menunjukkan identitas agamamu juga dirimu.” kata Ranting penuh keyakinan. Ranting meraih kerudung di sisi daun, melipatnya menjadi satu bagian lalu dibingkaikan di wajah cantik adiknya. Ranting tersenyum haru. “Lihat betapa kamu terlihat sangat cantik. Kerudung ini akan menjadi kehormatan dirimu.” tambahnya sembari memeluk Daun.

****

Di pembaringan tua itu, Ranting menatap langit-langit kamar yang kosong. Percakapan dengan Daun sore tadi berarti begitu banyak baginya. Ketakutan Daun beralasan sama seperti ketakutan yang pernah ia rasakan beberapa tahun yang lalu.

Ketika bapak masih hidup, di sekolah Ranting tersohor sebagai anak yang berbeda. Bapak yang  kerap berpakaian gamis panjang dianggap beda. Begitu juga dengan ibu yang sehari-hari mengenakan pakaian yang menutupi tubuh kecuali kedua matanya. Pekerjaan bapak yang berkeliling jualan buku-buku agama pun dianggap menyebarkan paham baru. Sama halnya dengan ibu yang dulu mengajari ngaji anak tetangga. Apapun yang ibu dan bapak lakukan disalahartikan. Padahal, sungguh tak ada yang berbeda antara kewajiban yang mereka lakukan dengan yang orang lain lakukan. Semuanya sama.

Namun bapak yang malang ditangkap oleh polisi karena dianggap menyebarkan aliran sesat dan mengusik ketenangan masyarakat. Bapak tak punya daya untuk melawan, pembelaan dirinya tak mempan. Ibu mencoba tegar dan berharap bapak segera dibebaskan. Tapi harapan itu pupus sebulan kemudian ketika datang kabar jika bapak meninggal di tahanan. Bapak meninggal tanpa keadilan.

Ibu sama sekali tak menangis meski wajahnya menunjukkan kedukaan yang dalam. Ibu membesarkan hatinya dan hati kedua anaknya dengan berucap. “Kematian bukanlah kematian, karena itu hanyalah perpindahan arwah ke dunia yang berbeda. Kematian yang sesungguhnya adalah matinya nurani seorang manusia”. ujar ibu kala itu. Ya, sampai kini pun bapak hidup di hati mereka.

Ranting memejamkan mata, mencoba melupakan pahit yang dulu ia rasa.

****

Hari itu segala sesuatunya berjalan sebagaimana mestinya. Ranting pergi bekerja, Daun ke sekolah dan ibu melakukan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga. Menjelang sore mereka berkumpul dan melaksanakan kewajiban bersama.

“Bagaimana hari pertamamu?” ibu membuka obrolan. Daun tersenyum lebar sembari mengangguk.

“Tak seperti yang aku takutkan bu. Maaf kemarin Daun sempat ragu.” Sesal daun. Ibu mengusap punggung Daun lalu mendekapnya. Ranting tersenyum lega, tak seperti yang ia takutkan pula.

Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dan menyita perhatian tiga perempuan itu. Mereka saling pandang. Sejak kepergian bapak, tak ada satu pun orang yang datang ke rumah mereka. Mereka  diasingkan di tanah mereka sendiri.

Ibu beranjak menuju ruang depan. Dua anak gadisnya mengekori langkahnya. Pintu terkuak dan menunjukkan sosok di balik pintu. Seorang gadis seumuran Daun berdiri memeluk kitab suci. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Daun segera mengenalinya, ia teman sekolahnya. Ia datang seperti yang ia janjikan pada Daun tadi pagi. Namun daun tak menyangka jika ia akan datang untuk belajar mengaji.

Daun melihati ibu ragu tapi ibu justru sebaliknya. Ibu membuka pintu lebar dan membiarkan gadis itu masuk.

****

Ranting berharap ini mimpi karena ia baru saja terlelap ketika semua itu terjadi.

Samar-samar terdengar suara makian dikejauhan. Menyusul derap langkah yang saling memburu. Ranting mencoba menajamkan pendengarannya, suara-suara itu semakin dekat dan jelas terdengar. Makian itu ia hafal dan terlalu ia hafal. Detik-detik berikutnya lebih mengerikan dari sekadar mimpi. Suara kaca pecah sontak menyentaknya dari tidur. Belum hilang rasa kagetnya, ia sudah merasakan hal lainnya. Hawa rumah mendadak panas membara. Ranting membangunkan Daun cepat. Daun segera memahami situasinya dan memeluk kakaknya penuh kekalutan.

Segalanya berjalan begitu cepat, hanya dalam hitungan menit sijago merah menguasai rumah. Asap hitam mulai masuk dari celah-celah pintu dan mulai menekan udara di paru-paru mereka. Ranting kalut karena ibu terjebak dalam kepungan api. Daun menangis histeris. Teriakan minta tolong mereka berlalu begitu saja. Tak ada yang peduli. Sungguh, tak ada yang peduli meski mereka terkepung api.

***

“Lantas kemana kita akan pergi kak?” daun kembali bersuara, ketika kenangan itu selesai.

“Ke tanah yang mau menerima kita sebagai manusia bukan pendosa.”

*Jakarta, 11 Maret 2015

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!