zawawi imron
Novel/lainnya,  Rak Buku

Zawawi Imron, Madura Akulah Darahmu dan Puisi-puisi Lainnya

Nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena celurit itu akan menjadi taring langit,
dan matahari akan mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci

Jika harus menyebut nama sastrawan Madura yang paling populer, mudah sekali menempat sosok D Zawawi Imron di posisi pertama. Puisi-puisi karyanya telah membuat harum sang sastrawan hingga mendapatkan julukan Sang Celurit Emas. Sajak Zawawi banyak mengangkat tema alam, tradisi dan budaya Madura yang sangat kental dengan tradisi keagamaannya.

Melansir Ensiklopedia Kemendikbud, bakat penyair kelahiran Sumenep ini pertama-tama ditemukan dan dipromosikan oleh penyair Subagio Sastrowardojo. Subagio memilihnya sebagai salah satu penyair terbaik dalam acara Temu Penyair Muda di Taman Ismail Marzuki (1982). Subagio juga pernah mengangkat dua kumpulan puisi Zawawi, yaitu Bulan Tertusuk Ilalang dan Nenek Moyangku Air Mata, sebagai topik makalahnya pada Pertemuan Sastrawan Nusantara V di Makasar tahun 1986. Puisi-puisi Zawawi ternyata memikat seorang sutradara kenamaan, Garin Nugroho. Puisinya yang berjudul Bulan Tertusuk Ilalang mengilhami Garin membuat film dengan judul yang sama.

Madura, Akulah Darahmu

zawawi imron
Berkesempatan bertemu dan menikmati puisi yang dibacakan langsung oleh Sang Celurit Emas

Membaca puisi-puisi Zawawi sangat mudah sekali mengidentifikasi latar belakang sang penyair. Banyak sekali tema alam yang mengambarkan tanah kelahirannya. Tema sosial, budaya hingga falsafasah orang Madura dalam sajaknya. Lokalitas yang diangkat Zawawi ini menandakan bahwa sastra sangat dekat sekali dengan kehidupan manusia. Dalam buku kumpulan puisi Madura, Akulah Darahmu Zawawi memilih sajak yang terbit di tahun 1966 hingga 1996. Masa awal dia menulis sajak, belum pernah dipublikasikan hingga masa keemasan dan namanya banyak dikenal bahkan disejajarkan dengan penyair lain.

Dalam pengantar buku, Zawawi mengatakan bahwa ia cukup berat memilih ratusan sajak dari seluruh kumpulan sajaknya. Ia beralasan karena setiap sajak merupakan representasi perjalanannya selama 30 tahun kepenulisannya. Akhirnya dari sekian banyak sajak karyanya, terpilih 138 sajak.

Sajak Ibu menjadi sajak pertama yang dipilih di buku ini. Zawawi menempatkan Ibu sebagai puisi pembuka, seolah mengingatkan kita bahwa ibu adalah pembuka kehidupan dari seorang manusia. Melalui rahimnya, air susunya, air mata dan doa-doanya yang mengantar anaknya bertualang di kehidupan manusia. Ibu pula yang menjadi tempat ia berpulang ketika tersesat. Setidaknya itu yang bisa aku tafsirkan dari sajak Ibu. Zawawi menunjukkan sikap dan penghormatannya pada sosok ibu melalui sajak ini. Bahkan dalam buku ini, setidaknya ada empat puisi yang membahas ibu.

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau sumur-sumur kering,
daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu,
Yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah guru pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci mulut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu ibu yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku

1966

Pada suatu waktu, aku berkesempatan berjumpa, menikmati dan mendokumentasikan langsung Sang Celurit Emas saat membawakan puisi Ibu dan puisi lainnya.

Puisi Ibu
Puisi Bercakap dengan Sungai
Puisi Zikir

Celurit Emas

Roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari jiwa
Celurit itu hanya mampu berdiam, tapi ketika tercium bau tangan
yang pura-pura mati dalam terang
Dan bergila dalam gelap

Ia jadi mengerti wangi yang menunggunya
Di seberang meski ia menyesal namun
Gelombang masih ditolak singgah ke dalam dirinya

Nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena
Celurit itu akna menjadi taring langit dan
Matahari akan mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci

Celurtit itu punya siapa?
Amin!

1984

Madura, Akulah Darahmu

Sebagai pamungkas, Zawawi menempatkan puisi Madura, Akulah Darahmu.

Di atasmu, bongkahan batu yang bisu

Tidur merangkum nyala dna tumbuh berbunga doa

Biar berguling di atas duri hati tak akan luka

Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak akan layu

Dan aku

Anak sulung sekaligus anak bungsumu

Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah

Bahwa aku sapi karapan

Yang lahir dari senyum dan air matamu

Sesuap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah, sebasah madu hinggaplah

Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini

Perkenankan aku berseru

Madura, engkaulah tangisku

Bila musim labuh hujan tak turun

Kubasahi kau dengan denyutku

Bila dadamu kerontang

Kubajak kau dengan tanduk logamku

Di atas bukit garam

Kunyalakan otakku

Lantaran aku adalah sapi karapan

Yang menetas dari senyum dan airmatamu

Aku lari mengejar ombakku terbang memeluk bulan dan memetik bintang gemintang

Di ranting-ranting roh nenek moyangku

Di ubun langit kuucapkan sumpah

Madura, akulah darahmu

1980

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!