puisi
Rak Buku

Saat Jatuh Hati Pada Puisi

Kebanyakan orang mengenal puisi melalui karya sastrawan hebat Chairil Anwar melalui penukilannya dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Sebagian yang lain melalui karya Sapardi Djoko Damono dengan diksinya yang populer, aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Bagaimana denganku? Sejujurnya puisi adalah karya sastra yang telat aku kenal, dibandingkan karya sastra lainnya. Aku mengenal lalu jatuh hati pada puisi, justru berawal dari sebuah pertemuan yang tak direncanakan.

Kala itu, aku mengunjungi Rumah Muara untuk menghadiri acara Sastra Masuk Kampung yang digagas oleh idolaku, Okky Madasari. Di acara itu, salah satu yang menarik perhatianku adalah musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Komunitas Ranggon Sastra. Sekelompok anak muda yang membawakan puisi dengan cara yang sangat menarik, bernyanyi. Maka sejak saat itu aku suka puisi dan bagaimana ia dibawakan sehingga lebih mudah menyentuh hati. Pada saat yang sama, ada ibu-ibu, anak-anak hingga aku yang baru kenal puisi diajak membaca puisi bersama di panggung Sastra Masuk Kampung.

Pada momen berikutnya, aku bertemu dengan trio Waktu Jeda yang beranggotakan Clarasia Kiky, Ruth Binari dan Daniel Abraham. Aku dibuat merinding dan terkesan, tidak hanya oleh aransemen musiknya tetapi cara membawakan dan intonasi pada setiap diksi puisi. Ketika mereka membawakan puisi “Satu Mimpi, Satu Barisan, karya Wiji Thukul, kamu akan merasakan kepiluan dan kemarahan yang sama. Ia seperti mewakili tokoh dan cerita dalam puisi. Itu perasaaan yang sama sekali tidak nyaman tetapi membukakan kesadaran baru bahwa puisi bisa menyuarakan ketidakadilan dan pesan-pesan kemanusiaan.

Pada penampilan yang lain, masih oleh Waktu Jeda aku dibuat senyam senyum sendiri. Berandai-andai tokoh dalam puisi yang mereka bawakan adalah aku. Ya, musikalisasi yang mereka bawakan adalah puisi Kau membakarku berkali-kali, karya Aan Mansyur. Kira-kira begini petikan puisinya,

Aku pernah tinggal di buku catatan harianmu
Dan kau bakar di kaki pohon mangga di samping kamar tidurmu.
Kau kembalikan aku jadi pohon dan aku semakin mencintaimu

Berkesempatan dan mengabadikan momen berharga saat Reda Gaudimo tampil bersama Ari Malibu atau dikenal dengan nama panggung AriReda. Musikalisasi puisi mereka membuatku sepenuhnya jatuh hati pada puisi. Dua pertemuan dengan kelompok musik ini membuatku mencari tahu tentang puisi dan siapa penyairnya. Berjumpalah aku dengan Wiji Thukul, Aan Mansyur, Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma, WS Rendra dan penyair lainnya.

Waktu Jeda
AriReda
Waktu Jeda

Puisi yang Menyapa Hati

Perjumpaan yang sebentar namun membekas itu membuatku punya pemaknaan tentang sebuah puisi. Puisi adakalanya berisikan metafora dengan diksi yang asing. Sulit dipahami dan multitafsir. Padahal kalimatnya tidak sebanyak karya sastra macam prosa. Jika dengan membaca novel aku bisa dapat cerita yang jelas, lengkap dan bernas, tidak dalam puisi. Penafsirannya pun kerap berbeda, tergantung pada siapa yang membaca karena memang objek dan subjeknya tidak pasti.

Namun ada juga puisi yang sejak awal lugas pada suatu peristiwa atau tokoh. Pembaca menjadi lebih mudah merasakan emosi yang diselipkan pada setiap diksi tanpa harus berpikir, ini tuh maknanya apa? Puisi semacam ini aku temukan dalam karya Wiji Thukul. Sang penyair konsisten membuat puisi yang menyuarakan ketidakadilan, kemanusiaan. Sama halnya dengan karya Taufik Ismail yang populer dengan puisi-puisi demonstrasinya. Puisi demikian yang menggugah kesadaran pembaca tentang hal-hal yang terjadi di negeri ini.

Dalam kalimat yang sederhana, tak terlalu banyak bicara, puisi-puisi justru yang paling banyak menggugah hati manusia.

puisi

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!