
Review Buku Lebih Senyap dari Bisikan: Perjalanan Sunyi Perempuan Menjadi Seorang Ibu
Baru menyelesaikan dua buku: Anatomi Perasaan Ibu dan Lebih Senyap dari Bisikan. Ke duanya ternyata punya benang merah yang sama: tentang pergolakan seorang perempuan sekaligus istri dan ibu. Terasa cukup dekat dengan kehidupan yang sedang aku jalani dan mungkin banyak perempuan dengan status gandanya. Sebagai istri sekaligus ibu. Buku ke dua karya Andina Dwifatma yang aku baca, setelah Semusim dan Semusim Lagi.
Lebih Senyap dari Bisikan mengangkat kisah sepasang suami istri, Baron dan Amara. Ke duanya menikah atas pilihan masing-masing, meski ada perbedaan yang cukup besar. Perbedaan agama yang membuat mama Baron juga mami Amara tidak merestui hubungannya. Namun apa boleh buat, cinta lebih dulu mengikat hal lain tidak menjadi soal. Mereka menikah dan memulai perjalanan menjadi sepasang suami istri. Hari-hari terasa sempurna seperti dalam film drama keluarga. Sampai akhirnya perasaan sepi datang, terus datang dan mereka mulai mendamba seorang anak.
Sebetulnya cerita tidak dimulai dari manisnya masa pacaran atau perjuangan mendapatkan restu ibu. Tetapi ketika perasaan sepi yang perlahan datang dan terus menerus mengusik mereka. Kehadiran seorang anak yang awalnya tidak terlalu dipikirkan, pada akhirnya didamba. Cerita lalu bergulir tentang bagaimana mereka berdua berupaya hingga akhirnya testpack bergaris dua. Ada potongan cerita yang membuatku haru dan seperti kembali pada momenku sendiri. Saat sepasang ini berencana tes kesuburan.
“Apapun hasilnya, aku akan terima. Semoga kamu juga begitu.” Baron menyentuh kepalaku sekilas.
“Termasuk kalau aku mandul?” tanyaku.
“Termasuk kalau aku mandul?” Baron membeo. Aku tersenyum. Baron meringis. Kami berpelukan. (hal. 12)
Bagiku, demikian seharusnya menjadi pasangan. Tidak hanya mempertanyakan kenapa sang istri ga hamil-hamil tetapi juga harus adil untuk tes kesuburan. Lebih adil lagi, jika memiliki anak menjadi tujuan pernikahan seharusnya sebelum pernikahan melakukan tes kesuburan bersama.
Baca Juga Review Buku Potret Keluarga Karya Reda Gaudiamo: Kumpulan Cerpen yang Menghangatkan Hati
Pergolakan Perempuan, Istri dan Ibu
Masa kehamilan teramat melelahkan tetapi juga membahagiakan. Amara dan Baron mempersiapkan diri sebaik mungkin menjadi calon orang tua, dengan caranya masing-masing. Baron selalu ada untuk Amara: menyiapkan kamar kuning Zwitsal untuk Yuki, menemani kontrol ke dokter kandungan, dan menjadi suami siaga saat Amara mulai kontraksi. Rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan ketika bayi pertama mereka lahir.
Namun ada hal yang tidak diberitahukan orang kepadamu tentang menjadi orangtua: kamu akan merasakan kebahagiaan luar biasa, rasa cinta yang tak dapat dibandingkan dengan apapun juga, tapi pada saat yang sama, dirimu menjadi rentan (hal. 58).
Ya, di sinilah cerita sesungguhnya mulai bergulir. Ketika Baron selesai cuti dan kembali bekerja, Amara mulai “bekerja” sendiri di rumah. Rumah berantakan, lengkingan tangisan yang tak mengenal waktu, jadwal memompa ASI dan makanan yang tak selalu siap di meja makan. Apakah itu saja? Tentu tidak, pekerjaan ibu tidak selalu soal fisik atau yang terlihat. Ibu memiliki pekerjaan tambahan yang tak kalah melelahkan: mengurusi perasaan dan pikiran-pikirannya.
Menjadi ibu rumah tangga kerap dipandang sebelah mata meski kenyataannya kita sama-sama tahu. Tidak ada yang mudah. Ketika lelaki bertambah peran sebagai ayah, ia berada di posisi membantu istri mengerjakan ini dan itu, membantu pengasuhan anak. Sambil lalu tetap bekerja dengan pekerjaan utamanya. Berbeda dengan perempuan, ketika menjadi ibu banyak sekali yang harus dia relakan. Dirinya, pekerjaanya, waktunya dan hampir semua miliknya. 24 jam, tanpa jeda. Ah, rasanya ingin aku peluk erat Amara. Beruntung dia mengenal Macan.
Masihkah perlu kita memperdebatkan siapa yang paling berkorban, ibu rumah tangga atau ibu bekerja? Padahal ke duanya adalah orang yang sama, ibu. Orang paling tangguh, menerima semua rasa sakit dan menolak untuk kalah dengan keadaan. Termasuk saat Baron menghilang, entah ke mana.
Seluruh eksistensimu bukan lagi milikmu sendiri. Ukuran kebahagiaanmu tiba-tiba berubah. Kau akan bahagia ketika anakmu gembira, merana saat dia terluka, dan apapun yang dia rasakan, kau akan merasakannya dua belas kali lipat (hal 58).
Memilih pasangan lalu memutuskan menikah dengannya bukan hanya soal cinta dan mencintai saja. Apalagi jika kamu berpikir bahwa pernikahan akan menyelamatkanmu dari masalah. Kehidupan pernikahan tidak sesederhana itu, tapi ya juga tidak serumit yang dibayangkan. Kamu hanya perlu menemukan pasangan yang tepat agar kerumitan yang nantinya kamu dapat tidak semakin rumit. Buku ini menjadi pengingat, bahwa pernikahan adalah sebuah upaya bersama dan berkelanjutan. Tidak hanya untuk hari ini tetapi untuk masa yang teramat panjang.


Satu Komentar
Ping Balik: