Ruang Kata & Rasa

Aku Ingin Menjadi Cerutumu

“Sebatang lagi,” katamu sembari menyulut api di ujung cerutumu. Dan seperti biasa aku selalu menikmati bagaimana bara api itu membakar sedikit demi sedikit tembakau yang kau pilin sendiri. Lalu kamu menyesapnya dalam-dalam dan mengembuskannya menjadi kepulan asap putih. Kamu lakukan berulang  hingga wajahmu yang tadinya lusuh berangsur teduh. Perjumpaan kita yang selalu terbilang waktu memang tak pernah dilewatkan tanpa sebatang cerutu di bibirmu. Bahkan nyaris tidak ada kegiatanmu tanpa pilinan tembakau itu. Oleh karenanya melihat rokok, melihat orang merokok selalu membuatku ingat akan dirimu. Seperti perjumpaanku dengan banyak lelaki selain dirimu. Pertemuanku dengan mereka selalu melibatkan rokok. Aku memang tak pernah menuntut mereka untuk berhenti merokok, sekalipun mereka menawarkan diri untuk tidak merokok di depan ku. Aku hargai sopan santun mereka. Namun tetap ku katakan pada mereka, merokok adalah bentuk kebebasannya sebagai seorang manusia. Aku meyakini tak seorang pun dapat mengebiri kebebasan seorang manusia, kecuali Tuhan. Namun dengan catatan, ia tidak merenggut kebebasan manusia lainnya. Sejak saat itu aku dan lelaki-lelaki yang aku temui sepakat. “Kenapa kamu tidak membenci rokok, sebagaimana perempuan kebanyakan?” tanya ini pernah diutarakan salah satu di antara mereka. “Untuk apa membenci jika ternyata ia lebih banyak menghidupi keluarga, membuat orang merasa nyaman dan lebih baik setelah menyesapnya, ” jawabku. “Tetapi perempuan selalu punya alasan untuk membenci rokok,” sergahnya. “Persis, sama dengan laki-laki yang selalu punya alasan untuk menanyakan keberatan perempuan atas lelakinya yang merokok,” “Lalu mengapa kamu tidak merokok? Karena kamu perempuan? Lekat dengan identitas perempuan nakal, pergaulan bebas,” pertanyaannya berujung pada sebuah tuduhan. Aku tak suka itu. “Orang-orang sepertimu lah yang membuat rokok punya banyak identitas.” kataku cukup ketus. Aku renggut saja rokok di bibirnya, menyesapnya dan ku kembalikan lagi pada mulutnya yang melongo. Lalu pernyataan bodoh lainnya menyusul, “Pantas kamu tidak benci, kamu sendiri perokok.” selorohnya. “Bermain dengan anjing, tidak menjadikanmu seekor anjing.” jawabku, sungguh sebal kala itu. Entah dari mana aku mendapatkan ide melibatkan anjing menjadi metafora atas pernyataannya yang benar-benar tolol. Kamu tahu betul kan, aku bukan perokok. Hanya kebetulan bisa menyesapnya karena terbiasa melihatmu dan lelaki yang ku temui merokok. Adakah yang salah dengan itu? Aku benci simbol-simbol maskulinitas dan feminitas. Kenapa benda harus diberi kelamin juga. Apa yang melekat di tubuh kita, tidak selalu merepresentasikan tentang kita sebagai manusia. Simbol-simbol itu justru menjadikannya bias. Tawamu pecah, begitu pun batukmu. Lalu di antara keduanya itu, kamu masih sempat menimpali ucapanku. “Untuk menjadi anjing, kamu tidak perlu menjadi seekor anjing. Aku suka metaforamu,” katamu, masih dalam kuasa cerutu. “Entitas kerap membuat pikiran kita terbatas. Menafsirkan apa yang diterima oleh satu atau dua panca indera. Padahal seharusnya semua panca indera itu bekerja agar tafsiran-tafsiran itu semakin kaya, tidak kurang makna.” ucapmu. “Dan cerutu adalah benda yang paling sering dinilai dan dimaknai tidak utuh. Ia banyak disalahpahami. Bahkan dicemburui,” tambahnya seraya melirikku. Kalimatnya yang terakhir, jelas sedang menyindirku. Aku tersenyum kecut. Ketika aku dapat menerima situasi yang kontradiksi, beragumen denga logika, ternyata perihal yang lebih personal aku masih sama saja. Merebut perhatianmu dari candu cerutu seperti tabu. Sebab aku tahu itu hal yang membuat binar wajahmu terang setelah redup oleh pekerjaan-pekerjaanmu. Ya, aku mencemburuinya. Aku mencemburui setiap hal yang kamu sukai. Cerutu hanyalah salah satu di antaranya. Dan aku merasa sangat buruk karena aku bukan bagian dari hal-hal yang membuat kerut di bibirmu nampak. Tahukah kamu soal itu? “Lihat lebih luas, sayang. Hidupku tidak melulu tentang mu. Begitu pun hidupmu, tidak selalu tentangku. Dalam semesta ini, kita saling mengambil peran. Tidak hanya manusia, tetapi segala hal yang berwujud ataupun tidak. Termasuk hal yang kamu cemburui itu.” Cerutumu habis dan seperti katamu, hanya sebatang, kamu menepatinya. Lalu kamu melumat habis apa yang ada di depanmu. Dan kali ini, aku merasa kamu sepenuhnya milikku.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!