rumah
Roma Rassa

Jalan Panjang Menemukan Rumah

Sudah berapa jauh jalan yang ku jejaki untuk menemukan rumah untuk pulang?

Adakah ratusan kilometer? Ataukah jutaan kilometer?

Entahlah, ingatanku tak mampu mengukurnya. Ia hanya dapat mengenang apa yang telah ditapaki kakiku di sepanjang perjalanan itu.

Pada perjalanan awal, aku mengenang sebuah rumah besar yang berdiri tangguh. Berpilar tinggi  di tiap sisinya, taman-taman indah yang mengelilinginya dan sekawanan anjing yang berlarian ke sana ke mari. Rumah itu berpagar cukup tinggi sehingga aku hanya dapat melihatnya dari jauh dan mengenangnya tak utuh. Rumah itu terkunci rapat, tak ingin siapapun mengunjunginya, bahkan seekor kecoak sekalipun tak dibiarkan menyapanya.

Kakiku kembali berjejak dan terhenti di sebuah rumah tua nan kosong. Pintunya terbuka dan menarikku masuk ke dalamnya. Apa yang bisa ku ingat adalah dinding lapuk, tumpukan sarang laba-laba, pigura-pigura tanpa foto, piano yang telah kehilangan tutsnya, retakan gelas yang terserak di lantai dan meja makan yang menyajikan kekosongan.

Lagu yang diputar di piringan hitam menyenandungkan irama duka, menyampaikan cerita-cerita lama yang pernah mengisi ruang di rumah ini. Tak sejengkal pun darinya yang tak dilewati bait-bait kenangan.

Rumah tua itu terisak dan sesak oleh kenangan. Tak ada ruang untukku tinggal di sana meski ia memintaku.

Rumah-rumah berikutnya yang ku temui nyaris sama. Ia membiarkanku singgah, sejenak, untuk kemudian enyah ke jalan yang panjang itu. Dan aku menekurinya. Barangkali sudah tak ada lagi yang menyisakan ruang yang benar-benar kosong untuk ku tinggali dan menetap di dalamnya. Haruskah aku berhenti mencari? Membiarkan rumah-rumah itu sendiri yang memungutku dari jalan?

Nyatanya tidak, sebab kakiku masih tangguh berjalan jauh. Meski perlahan ia mulai merapuh.

Kutapaki jalan lebih lama dengan rapalan doa. Berharap Tuhan akhirnya mau mengasihiku yang papa dan tunawisma ini. Selain pada-Nya, pada siapa lagi rapalan doaku akan didengar dan dijawab? Siapa pula yang dapat meneguhkan kakiku yang terluka dan terlunta-lunta selain kuasa-Nya?

Setapak lagi, setapak lagi, setapak lagi, lagi, dan lagi.

Rumah itu pun nampak. Ia menyambutku di teras dengan teh hangat, sepotong kue, kursi yang nyaman, alunan lagu yang syahdu dan sebuah buku catatan. Rumah itu memintaku untuk meletakkan letihku di kursi yang ia sediakan, mengisi perutku dengan teh hangat dan kue, menenangkan riuh di kepala dengan alunan lagu dan menuliskan perjalananku di buku catatan. Ia juga tawarkan dongeng tentang putri dan pangeran yang bahagia di istananya.

Sungguh ia rumah yang ramah.

Namun aku sangsi di depannya.

Rumah itu tak berpintu. Bagaimana caranya aku masuk dan memilih ruang untuk tinggal di dalamnya? Apakah ia hanya tempat singgah saja untuk tunawisma sepertiku? Ia menjamu tamu-tamu dengan sebaik-sebaiknya jamuan, menghabiskan banyak waktu dengan bercerita, memutar lagu-lagu syahdu. Dan ketika kau mulai nyaman, menaruh harapan untuk tinggal lebih lama, rumah itu memintamu pergi karena tamu berikutnya akan datang. Apakah ia rumah yang demikian?

Aku bergeming di depannya.

Tak duduk di terasnya, juga tak kembali melanjutkan perjalanan.

Jakarta-27/06/2018

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!