Perempuan Bergincu Merah: Uang (2)
Perempuan yang meriasi perilakunya dengan keagungan jiwa dan raga adalah sebuah hakikat
yang terbuka sekaligus penuh misteri
Ia hanya dapat dieja melalui cinta
Hanya bisa dibelai dalam kemuliaan
Tetapi manakala kau berjuang untuk melukisnya
Ia lenyap, menghilang layaknya segenggam asap
– Kahlil Gibran
Sudah kukatakan sejak awal, perempuan berlipstik merah ini berbeda dengan perempuan lainnya. Terlepas dari identitas dan penampilannya, perempuan ini memiliki semacam pesona dan kemisteriusannya tersendiri. Seperti model perempuan dalam sajak para pujangga, demikian pula dirinya.
Ketika hatiku sepenuhnya mencintainya, ia justru mengelaknya. “kenapa kau mencintaiku?” tanyanya dengan nada suara bergetar. “apa aku terlihat menyedihkan bagimu?” Bagiku itu terdengar bukan pertanyaan, tapi pernyataan penolakannya atas apa yang kuutarakan.
“tak bisakah kamu melihat kesungguhan hatiku?” Dia tergelak, mencemooh kejujuranku. “apa yang kamu harapkan dariku? Cinta? Aku tak pernah memilikinya dan tak pernah membutuhkannya.” “lalu kamu akan terus hidup seperti ini?”
“ya, jika ini membuatku terus hidup. Jangan datang padaku dengan sebuah omong kosong, datanglah dengan setumpuk uang. Mungkin itu bisa membuatku berubah pikiranku.” Tukasnya sembari meninggalkanku dalam kegamangan. Uang? Tentu saja segala permasalahan ini tentang uang.
******
Perlahan aku memahami penolakan perempuan itu. Mungkin ia masih kaget dengan kejujuranku. Mungkin pula ia butuh waktu untuk mencerna pengakuanku. Namun ada hal lain yang membuatku kecewa pada sikap yang ditunjukkannya. Syarat yang ia berikan padaku memposisikanku sama dengan laki-laki yang ia temui. Perempuan itu memberiku syarat setumpuk uang untuk mengubah pikirannya.
Ya, pikirannya bukan hatinya. Dia memintaku untuk “membeli” tubuh dan pikirannya. Setumpuk uang, itu jumlah yang banyak. Tak terbatas pada sebuah angka. Nominalnya bisa puluhan atau bahkan ratusan juta. Apalagi kalau semakin tinggi tumpukannya, semakin banyak pula jumlah nominalnya. Perempuan itu memberi syarat yang tepat agar aku menyerah dan melupakannya dengan mudah. Perempuan itu tahu siapa aku dan bagaimana kehidupanku di kota ini.
Setelah insiden subuh itu seolah ada ruang untuk saling mengenal diantara kami. Terkadang saat menunggu bus atau tengah naik bus kami mengobrol. Aku panjang lebar bercerita tentang diriku dan hidupku sembari berharap ia melakukan hal yang sama. Tapi ternyata tidak, perempuan itu seperti berusaha menyembunyikan dirinya yang lain, yang tak nampak dimataku. Ia lebih tertutup dari yang kuduga. Tak mudah mengenali dirinya secara personal, aku hanya bisa menebak dari setiap omongan yang terlontar, sikap tubuhya dan caranya tersenyum.
Ya, senyuman yang jarang kulihat itulah membuatku berasumsi, dia tak sekuat yang kulihat dan aku ingin melindunginya. Rasa itulah yang kemudian memberanikanku untuk mengakui cintaku dihadapannya dan menjadi serumit ini. Uang hanyalah bentuk ketidak percayaannya padaku.
*****
“Dam, kau tahu berapa biasanya tarif PSK?” Adam menatapku kaget. Ditinggalkannya tumpukan piring dan gelas kotor lalu mendekatiku buru-buru. “Pe-es-ka? Pekerja Seks Komersial?” Ulangnya, ragu dengan apa yang didengarnya.
Aku mengangguk. “kau gila Lif?” “aku masih sepenuhnya waras,” “lalu?” “tadi aku lihat berita di TV, artis-artis yang terseret kasus prostitusi.” Kataku mencari alasan. “aku hanya ingin tahu saja, tak lebih dari itu.” tambahku.
Adam manggut-manggut. “seperti yang kau lihat beritanya, tarif mereka puluhan juta rupiah. Berbeda dengan PSK yang di pinggir jalan, paling puluhan ribu.” “apa bedanya?” “di dunia seperti itu tentu saja ada bedanya. Sama halnya dengan minuman beralkohol macam wine dan bir. Keduanya sama-sama memabukkan, tapi jelas berbeda. Wine ini,” katanya sembari menunjuk barisan botol wine. “terbuat dari fermentasi buah dengan kadar alkohol yang lebih tinggi, semakin lama semakin bagus kualitasnya dan semakin mahal pula. Sementara bir hasil fermentasi biji-bijian gandum dan kualitasnya masih dibawah wine. Apalagi bir yang dijual di pinggir jalan.” Jelasnya.
Mungkinkah perempuan itu umpama dua minuman yang adam sebutkan tadi. Sekelas winekah? Yang satu teguk saja merogoh kocek ratusan ribu. Atau sekelas bir murahan, yang jauh lebih murah. “dari mana kita bisa membedakannya?” “kemasannya. Wine sama bir kan beda.” Ya, kemasan wine dan bir berbeda hingga menentukan kualitas dan harganya. Mungkinkah perempuan itu layaknya wine? Karena tampilan dirinya sangat mahal. Tak ada kesan murahan. Jika memang demikian, aku membutuhkan lebih banyak uang. Bukan puluhan juta tapi ratusan juta dan itu bukan jumlah yang sedikit, yang tak bisa aku dapatkan hanya dari gaji seorang pelayan café. Tapi itu bukan berarti mustahil untuk aku cari. Akan ku buktikan sebesar apa kesungguhan hatiku padanya.
*****
Pikiranku sepenuhnya teralih pada uang yang harus kudapatkan. Dengan nominal yang banyak, aku tak bisa mengandalkan gaji bulananku yang tak seberapa. Aku harus punya penghasilan yang jauh lebih besar dari yang kudapatkan saat ini dan itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Dua tahun atau bahkan lebih lama. “bisakah kau menungguku?”pintaku.
Perempuan itu bergeming, tak acuh dengan keberadaan maupun permintaanku. Ya, sejak pengakuan cinta itu dia memilih menghindar dan mengabaikanku. Sikap dingin dan diamnya justru membuatku lebih terluka dibandingkan penolakan dan syarat yang ia berikan.
“aku butuh waktu yang lama untuk..” “kalau begitu berhentilah dengan omong kosongmu itu,” tukasnya dingin. “aku belum mulai bagaimana aku bisa berhenti. Aku akan buktikan jika itu bukan omong kosong.” Kataku penuh keyakinan. Sebuah keyakinan yang kemudian mengantarku pada dunia yang berbeda. Dunia yang mengandalkan akal demi uang. Dunia yang mengubah keseluruhan cerita hidupku dan dimulai ketika aku berhenti jadi pelayan café.
*****
Seorang pria bersetelan rapi dan menjadi tamu VIP café menawariku pekerjaan dengan jumlah rupiah berkali lipat dari yang kudapat. Aku terima tanpa banyak pertimbangan. Toh pekerjaannya hanya membuntutinya kemana pun ia pergi. Ya semacam menjadi sopir pribadi atau kasarnya menjadi kacungnya. Bukan pekerjaan yang berat karena saat di kampung pun aku pernah menjadi sopir pengantar barang. Aku cepat beradaptasi sehingga menjalani pekerjaan baruku dengan baik. Bossku bahkan memuji kemampuanku dalam mengingat jalanan ibu kota yang super rumit. Bergumul dengan kesibukan membuatku jarang pulang ke kontrakan.
Waktuku lebih banyak dihabiskan dikerjaan karena bos selalu memberi uang lebih jika melewati jam kerjaku. Lemburan demi lemburan aku terima. Ya, semacam kesempatan besar untuk mendapatkan uang banyak dan secepat mungkin. Kerja keras ini tak hanya untuk perempuan itu, tapi juga untuk kelangsungan hidupku. Terkadang aku merindukannya ketika pulang ke kontrakan dan aku tak melihatnya.
Aku rindu saat-saat menunggu bus, mengobrol, dan berjalan disepanjang gang bersamanya. Sungguh, aku rindu kebersamaan itu. Berbulan-bulan bekerja dengan orang yang ku panggil Bos, “karir”ku merangkak naik. Dari seorang sopir pribadi yang mengantarnya kesana-kemari, aku menjadi tangan kanannya, menjadi salah satu orang kepercayaannya. Itu sesuatu yang luar biasa bagiku karena aku tak lagi menungguinya di mobil atau diparkiran berjam-jam penuh kebosanan. Aku menemaninya bertemu beberapa rekan kerja yang belakangan aku tahu jika wajah mereka sering wara-wiri di televisi. Mereka orang penting di negeri ini. Bos mengenalkanku pada mereka sebagai tangan kanannya. Loyalitasku diapresiasi begitu tinggi olehnya hingga aku berikrar pada diri sendiri jika aku akan setia padanya. Lalu sebuah proyek bernilai milyaran rupiah hasil kerjasama bos dengan rekannya melibatkanku.
Dari situlah aku tahu dari mana sumber gajiku berasal dan siapa orang yang kupanggil bos itu.