
PULANG
Ia tahu betul aku bukan orang sekuat itu. Kepura-puraan justru membuatku nampak menyedihkan di matanya.
Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Juli – 2015, 12 Pm.
Bus-bus antar kota, provinsi maupun antar pulau berbaris rapi. Beberapa kondektur hilir mudik mencari penumpang dengan tawaran harga tiket yang cukup murah, bertransaksi lalu setuju dengan harga yang disepakati. Pedagang asongan mulai dari menjajakan tisu, permen, jam tangan, kaca mata bahkan penukaran uang baru berseliweran disana-sini. Calon penumpang nampak ribet dengan barang bawaannya yang tak sedikit.
Terminal ini selalu sibuk, setiap hari melayani trayek ke berbagai kota di pulau jawa maupun luar pulau jawa. Apalagi menjelang hari raya idul fitri, hampir separuh dari penduduk kota ini berbondong-bondong untuk pulang ke kampung halaman.
“Mau kemana neng?” Tegur kondektur bus padaku yang mematung sekian menit di depan loket. Aku menggeleng. “Ke bandung, semarang, atau jogja?” Katanya. Aku kembali menggeleng dan menarik koperku menjauh dari orang itu. Aku datang ke tempat ini karena memiliki tempat yang akan ku tuju dan tiket di tanganku ini adalah buktinya. Namun, sejak memutuskan untuk pulang hingga berdiri di terminal ini, aku ragu dengan keputusan yang kuambil.
Pulang ke tanah lahirku tak pernah seberat ini. Dulu, pulang adalah hari yang paling ku tunggu dari 365 hari yang ku lalui. Pulang memberiku suntikan semangat setelah energiku tersedot habis oleh rutinitasku di kota ini. Hari ini pun aku masih merasakan hal yang sama walau harus ternoda oleh sebuah alasan yang cukup klise. Aku terlalu takut menghadapi sebuah kenyataan yang tak sejalan dengan yang ku harapkan.
Ya, itulah yang membuat ragaku ingin tertahan disini meski hatiku jelas menginginkan hal yang sebaliknya. Saat aku pulang nanti, tak kan lagi ku temui dia sebagaimana sebelumnya. Semuanya berubah dan aku naif karena tak bisa menerimanya. Tak hanya rasa, takdir diantara kita tak lagi sama. Aku berdiri di sisi jalan yang tak dapat dia sebrangi.
Pulang akan membuka cerita dan luka lama. Aku akan lebih terluka lagi saat menghadapinya.
He’s my everythink.
Ku tarik mundur koperku, berbalik arah. Aku tak cukup tangguh berhadapan dengan masalahku.
Kamu memilih lari dan sembunyi? Lalu bagaimana dengan keluargamu? Bukankah keluarga selalu menjadi alasanmu untuk pulang?
Sisi lain hatiku bicara. Aku menarik nafas berat. Keluarga. Tak seharusnya aku mengesampingkan mereka. Kenapa aku malah melupakan banyak orang hanya demi seorang?
Aku menahan langkahku sebelum semakin jauh meninggalkan terminal. Keraguan ini hanya akan membuatku semakin takut dan pengecut.
Aku akan pulang, pulang ke hati keluargaku bukan ke hatinya.
***
Kampungku berada diantara bentang bukit dan laut. Kehidupan disini selalu membuatku rindu. Di kampung aku bisa menemukan matahari terbit dan terbenam dengan mudah. Menikmati udara pagi yang segar maupun senja yang selalu menakjubkan. Disinilah aku lahir dan tumbuh menjadi seorang perempuan yang agak berbeda dengan perempuan lainnya. Berbeda bukan berarti aku istimewa tapi justru sebaliknya. Aku perempuan berpikiran dan berkeinginan liar. Menentang keras tradisi perjodohan yang buatku merampas hak seorang perempuan untuk menentukan hidupnya. Perempuan harus mandiri dan aku pikir pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk itu. Buah pemikiran yang tak sejalan dengan adat di kampungku itu membuatku jadi cibiran orang-orang.
Perjodohanku selalu gagal dengan seribu satu alasan. Hei, apa diriku terlalu cantik sampai berkali-kali dijodohkan? Jelas tidak. Aku hanya perempuan biasa. Dikampungku, perempuan yang sudah baligh (puber) sudah boleh dinikahkan oleh walinya dan agama tidak melarang hal itu. Aku hanya satu diantara sekian banyak perempuan yang dijodohkan.
Awalnya aku menolak karena idealisme. Namun sejak mengenal dia, aku memiliki alasan yang berbeda. Alasan yang tak pernah ku kemukakan secara jujur karena hal itu akan menjadi bumerang bagiku. Aku menyukai seseorang. Seseorang yang ternyata dekat dengan kehidupanku. Aku dan dia, lahir dan tumbuh dilingkungan yang sama. Dialah yang menjadi alasanku, yang membawaku semakin nyata melihat masa depanku.
******
Bagaimana aku harus bersikap ketika bertemu dengannya?
Tersenyum dan menyapanya? Bersikap seolah aku baik-baik saja tanpanya dan kita masih bisa menjadi teman? Akh! munafik sekali jika aku melakukannya. Ia tahu betul aku bukan orang sekuat itu. Kepura-puraan justru membuatku nampak menyedihkan di matanya.
Ataukah aku harus marah? Kenapa dia begitu mudah melepasku dengan alasan yang cukup klasik, dijodohkan. Hei kau lelaki, kau lebih berhak menentukan pasangan hidupmu. Berbeda dengan perempuan sepertiku, yang selalu mencari alasan menolak perjodohan hanya karena ingin bersamamu.
“kalau jodoh, kita pasti akan bersama.” Ucapnya saat itu. Bagiku, ucapannya seperti ketidak berdayaannya melawan kuasa keluarganya. Aku tak menyalahkan perjodohan itu. Sungguh. Aku kecewa pada sikapnya karena dia memilih menyerah tanpa mau memperjuangkannya. Sikapnya membuatku bertanya, apakah ia sungguh mencintaiku? Apakah aku berarti untuknya? Apakah hanya aku saja yang terluka?
Nyatanya, aku hanya terpaku ketika bertemu dengannya.
******
Ku temui wajah-wajah orang terkasihku begitu kakiku berpijak di tanah lahirku. Pelukan hangat menyambutku. Bagaimana mungkin suasana seperti ini sempat menjadi pertimbanganku untuk pulang?
Aku memang naif. Masih saja naif bahkan ketika sebuah undangan berwarna merah marun singgah di tanganku. Aku tergugu melihatnya. Melihat sebuah nama tertera begitu indah diatas untaian kata penuh basa-basi. Ada namanya disana, bersanding dengan nama yang tak ku kenal. Tangisku tertahan. Aku baru saja memulainya, aku harus bisa menerimanya.
Aku tak bisa pulang lagi ke hatinya.
Dia, tetap saja saja di angan. Bukan di masa depan yang aku impikan.
Cerpen ini ditulis dalam perjalanan pulang ke kampung halaman dan kembali ke perantauan. Juli-september 2015.

