tellasan
Carèta Embuk

Tellasân: Memaknai Hari Raya Dalam Tradisi Orang Madura

Kenangan masa kecilku tentang tellasân (lebaran/hari raya) tak selalu tentang baju baru, THR, atau kegembiraan menikmati olahan ayam dan kue lebih banyak dari biasanya. Kenangan itu juga tentang kerepotan Embuk (Ibu), Embuk Nyai (nenek), dan Mak Nyai (kakek) kala mempersiapkan tellasân. Sehari sebelumnya, Mak Nyai mengasah tajam pisau Cap Garpu-nya untuk menyembelih ayam. Biasanya tetangga berdatangan ke rumah untuk menyembelihkan ayamnya. Embuk kebagian tugas untuk membersihkan ayam sembelihan. Ayam diguyur dengan air panas, bulu-bulu dicabut, lalu dibakar sebentar, sekiranya bulu-bulu halusnya hilang. Kemudian ayam dipotong menjadi beberapa bagian. Sedangkan Embuk Nyai membuat olahan dumasah (madumongso) di depan tungku tanah liatnya. Sungguh dapur tua kami teramat sibuk menjelang hari raya.

Ketika sekarang turut menjadi bagian dari kesibukan dapur, makna tellasân menjadi lebih kompleks. Barangkali karena aku seorang perempuan dan ibu sehingga dianggap paling bertanggung jawab pada dapur. Juga pada keberlangsungan tradisi keluarga dan suku kami. Sebab tellasân lebih dari sekadar perayaan karena ada tradisi, budaya, dan hubungan antar manusia.

Atellasân Ater-ater

Bagi orang Madura, istilah tellasân bermakna hari raya atau perayaan keagamaan seperti idulfitri (tellasân pètra, topa’, pètto’), iduladha (tellasân ajjhi, rèyajâ, kurban), dan maulud nabi (tellasân molod). Dalam tradisi tellasân, ter-ater atau mengantar makanan adalah yang paling utama. Ter-ater merupakan budaya saling berbagi makanan ke tetangga, kerabat, hingga handai tolan. Tidak hanya pada tellasân saja, ter-ater juga digunakan dalam kegiatan atau perayaan lain.

Hal yang paling khas dari tradisi ini adalah sajian dan cara mengantarnya. Sajiannya berupa nasi tumpeng kecil berbungkus daun pisang, lauk ayam palappa mèra (bumbu bali), dan aneka kue tradisional seperti tapay (tape ketan), dumasah (madumongso), gudir pandân (puding pandan), dan lainnya. Sajian ini kemudian diantarkan dengan cara menyunggi nampan di atas kepala.

Baca Juga Warisan Ibu: Kecakapan Memasak dan Seperangkat Alat Masak

Pada idulfitri 1446H/31 Maret 2025 kami masih menyajikan kue tradisional. Memang, proses pembuatannya terbilang lama namun pengetahuan mengolah kue tradisional harus tetap lestari. Tak boleh kalah pamor apalagi sampai terlupakan. Mewarisi pengetahuan kue tradisional sama halnya melanggengkan tradisi dan budaya itu sendiri. Hari ini aku belajar dari Embukku, kelak anakku akan belajar dariku. Begitupun generasi berikutnya.

Ruang Berpulang

Populasi Orang Madura di perantauan cukup besar sehingga hari raya menjadi pengingat untuk pulang ke tanah leluhur. Oleh karenanya di Madura ada tradisi toron dan ongghâ. Toron (turun) bermakna pulang dari perantauan, sedangkan ongghâ (naik) bermakna kembali ke perantauan. Setiap momen tellasân, tradisi toron-ongghâ pun mengikuti, Orang Madura berbondong-bondong pulang. Meninggalkan sejenak tanah rantauan menuju tanah kelahiran demi merayakan hari raya bersama.

Selain tradisi toron-ongghâ, tradisi bersilaturahmi antar kerabat pun tak boleh terlewat. Adakalanya berkumpul di rumah keluarga tertua atau di rumah ibu. Ada juga moy-tamoyan (bertamu) dengan saling menyambangi satu sama lain. Kunjungan lainnya adalah nyelasè atau berziarah kubur. Ziarah dilakukan dua kali, pertama pada malam 27 ramadan, kedua saat lebaran.

Seorang Perempuan, Istri dan Ibu Purnawaktu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!