Mega Merah yang Memerah
Orang-orang memiliki kenangan indah kala matahari mulai tenggelam dan meninggalkan bias kekuningan di langit. Senja, ya orang-orang menyebutnya senja. Tak hanya menjadi kenangan indah, bahkan senja merupa dalam kata-kata. Banyak penyair, penulis buku, pelukis, sinematografer, hingga fotografer menjadikan senja objek karya mereka.
Bahkan saat ini senja menjadi bagian dari tujuan wisata unggulan di berbagai daerah. Pemodal pun berduyun-duyun datang, melihat peluang, menitip uangnya untuk dilipatkangandakan melalui bisnis wisata. Pengembang wisata menciptakan tempat khusus untuk menikmati senja. Dan tugas pengelola wisata menciptakan narasi hebat tentang senja melalui para pendengung di media sosial.
Orang-orang lalu berbondong-bondong datang, menghabiskan banyak uang, waktu demi membeli kenangan saat senja. Jutaan potret diambil dengan latar senja, disimpan dalam album gadget atau dibagikan kepada pengikutnya di media sosial, lengkap dengan caption yang puitis. Ada kesan yang ingin mereka tinggalkan melalui gambar-gambar itu.
Tetapi jika kau tak punya cukup banyak uang untuk membeli kenangan saat senja (tentunya dengan potret senja yang penuh estetika) kau pun bisa menemukan senja dengan mudah di jalan yang kau tapaki. Di antara gang-gang sempit tempat tinggalmu, di atas genteng rumahmu, di tanah lapang, di balik gedung pencakar langit dan di mana saja matahari melabuhkan petangnya.
Sekalipun kau tak bisa benar-benar menikmati senja dengan selayaknya, kau pun bisa ikut menikmatinya melalui karya seniman yang terobsesi dengan senja. Lalu kau akan merasakan kenangan yang sama indahnya dengan mereka dan voila! Kau pun bisa memproklamirkan diri sebagai gadis senja, lelaki senja, penikmat senja, pemburu senja dan embel-embel maha keren lainnya.
Senja adalah milik semua. Ia tak dimiliki para pemilik wisata, seniman, penulis, fotografer dan siapapun itu. Kepemilikannya tunggal di bawah aset Tuhan. Manusia hanya berhak menikmati dan mengambil yang menurut dirinya cukup sebagai cara menyukai senja.
Sayangnya, hal yang sama tak pernah berlaku padaku. Sehebat apapun seniman menginterpretasikan senja dalam diksinya, dalam alunan melodinya, dalam tangkapan gambarnya, dalam goresan kuasnya, bagiku senja tetaplah menakutkan.
Ingatanku tentang senja atau mega merah (orang di kampungku lebih familier dengan nama ini) seperti sekumpulan bab dalam buku cerita horor yang menebar teror, ketakukan dan menjadi mimpi buruk berkepanjangan.
Maukah kau mendengar kisah menjelang petangku yang tak pernah bisa ku lupakan itu? Barangkali, sebelum kematian benar-benar menjemputku, ada satu atau dua orang yang sudi mengingat nama seseorang yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini. Agar ia tetap hidup dalam pikiran-pikiran orang selain diriku.
Mat Pi’i Sang Blater
Bab pertama tentang kisah horor ini dimulai pada pertengahan bulan Juni, 1998. Saat itu aku baru berusia sembilan tahun. Masa-masa ketika lèker (gundu/kelereng) yang kau punya bisa menentukan seberapa hebatnya dirimu. Masa-masa film Keluarga Cemara dan Jin dan Jun mengisi layar kaca, menjadi tontonan wajib setelah film kartun Doraemon dan Ninja Hatori.
Masa itu aku dikenal sebagai anak ingusan, ingusan dalam artian yang sebenarnya. Entah apa sebabnya ingusku tak pernah hilang. Padahal emak sudah membawaku berobat ke pak mantri dan aku pun rajin minum obat resepnya. Namun tetap saja ingus itu tetap ada dan membuatku dijauhi oleh teman-teman, kecuali satu orang. Mereka takut tertular, kecuali satu orang. Dan tak ada yang mengajakku main lèker, kecuali satu orang.
Satu orang itu bernama Mat Pi’i atau Ahmad Syafi’i. Mat pi’i adalah blater (jagoan) nya anak kecil di kampungku. Mat Pi’i dikenal cerdik, jago main lèker, bengalan (pemberani), ramah, dan punya codet di dahinya (sebelum JK Rowling memperkenalkan tokoh Harry Potternya yang bercodet, Mat Pi’i lebih dulu memiliki codet mirip petir). Bagaimana Mat Pi’i bisa punya codet sampai saat ini masih menjadi misteri. Tak hanya codetnya, segala hal yang berhubungan dengan dia pun cukup misterius. Salah satunya kenapa ia mau berteman denganku.
Mat pi’i dua tahun lebih tua dari ku. Tetapi ia baru naik kelas ke kelas lima setelah tiga caturwulan (Kurikulum 1994: di mana dalam setiap tahun ajaran itu dibagi menjadi tiga sesi, catur wulan pertama, kedua, dan ketiga). Untuk yang satu ini aku juga heran sama Mat Pi’i. Ia tergolong anak cerdas, hafal beberapa surat Juz Amma, nama-nama benua dan negara, pahlawan Indonesia dan pandai menghitung. Tetapi kenapa ia tak naik kelas? Pernah kutanyakan hal ini pada emak. Emak terdiam cukup lama (padahal biasanya cukup cerewet), lalu bilang, “makanya kamu sekolah yang rajin selagi emak-bapakmu mampu membiayai”. Aku melongo, aku rasa itu bukan jawaban yang tepat atas pertanyaanku.
Mat Pi’i tinggal bersama mbahnya yang seorang tetua kampung dan guru ngaji. Bapaknya meninggal dalam sebuah insiden perebutan lahan antara warga dan aparat negara. Bapaknya ditengarai sebagai provokator penolakan alih fungsi lahan persawahan menjadi kawasan industri. Peluru yang ditembakkan aparat negara menembus dada bapak dan membuatnya tewas seketika. Sementara emak Mat Pi’i meninggal karena penyakit ayan atau epilepsi, sebulan setelah kematian bapaknya.
Setelah kematian kedua orang tuanya, Mat Pi’i yang berusia 7 tahun diasuh sepenuhnya oleh si mbah. Sejak saat itulah aku mengenal ia sebagai anak yang berbeda dengan kebanyakan anak di kampungku. Ia anak yang aneh tetapi juga istimewa. Terutama kemampuannya dalam bermain lèker yang tak tertandingi.
Pantang Pulang Sebelum Petang
Sungguh melelahkan menjadi anak SD saat itu. Pulang sekolah tak berarti selesai kewajiban menuntut ilmunya. Masih ada kewajiban mencari ilmu agama di madrasah (sekolah khusus yang mempelajari ilmu agama Islam) dan mengaji Al Quran di malam harinya. Mat Pi’i sih enak, meski sering bolos dan tak ikut ngaji, ia selalu tahu hal-hal yang tak ia pelajari. Berbeda halnya denganku, selain kemampuan berpikirku sungguh lamban, peraturan emak tak bisa ku lawan. Salah satunya, peraturan untuk langsung pulang setelah sekolah maupun mengaji. Khususnya pulang madrasah yang selalu sore. Untuk yang satu ini emak sungguh cerewet dan tak ada tawar-menawar untuk pulang telat. Aku hanya bisa main lèker bersama Mat Pi’i saat libur sekolah.
“Kau tahu, waktu menjelang maghrib itu setan-setan ke luar dari tempatnya. Mereka akan mendatangi anak-anak untuk dibawa ke tempat mereka. Apalagi anak-anak nakal yang tak bisa mengaji.” Itu yang selalu dikatakan emak. Meski aku bukan kategori anak nakal tetapi aku masuk dalam kategori anak yang tak bisa mengaji. Bagaimana aku bisa mengusir setan jika melafalkan ayat suci saja masih banyak salahnya.
Hal itu juga ku katakan pada Mat Pi’i saat dia mengajakku bermain lèker sepulang madrasah. Bukannya takut dan ikut pulang bersamaku, dia justru enteng bilang, “Tak usah takut, Soleh. Kan ada aku yang bisa mengaji. Ku bacakan surat An-Nas sudah menggelepar itu setan-setan. Tak berani lagi dia mendekat apalagi menculik.” ujarnya meyakinkan. Aku percaya kemampuan mengaji Mat Pi’i tetapi cukup ampuhkah itu untuk mengusir setan?
“Ah, kelamaan berpikir kamu!” katanya sembari menarik tanganku lalu berlari ke arah lapangan desa. Gelagapan aku dibuatnya namun secepat mungkin aku menguasai diri. Ku angkat tepi sarung lalu mensejajarkan langkah kakiku dengannya. Bersama Mat Pi’i tak ada yang harus ku khawatirkan.
Langkah kami terhenti di lahan kosong milik Haji Salam. Letaknya berada cukup jauh dari pemukiman warga dan dekat area persawahan. Di lahan kosong inilah biasanya anak-anak kampung bermain sepak bola, lèker, dan layangan. Dan sore itu mereka sudah berkumpul setelah sepakat bertanding lèker. Namun kedatanganku disambut tatapan menyebalkan mereka, yang jika kubahasakan akan terdengar, “kenapa bocah ingusan harus ikut?” Tetapi inilah keistimewaan berteman dengan Mat Pi’i, tak ada satu pun yang berani mempertanyakan keikutsertaanku pada pertandingan kali ini.
Mat Pi’i mengisyaratkan untuk segera mempersiapkan permainan. Anak-anak dibagi menjadi tiga tim dengan masing-masing lima pemain. Juara di setiap tim akan dipertandingkan kembali hingga menyisakan satu juara yang akan menerima lèker dari pemain yang kalah. Sial, aku kebagian main di tim ke tiga. Mat pi’i memutuskan untuk tidak ikut bertanding.
Garis lingkaran dibuat, lèker dikumpulkan di dalam lingkaran. Para pemain dengan gacoannya (lèker yang digunakan sebagai eksekutor) mulai bergantian melempar gacoannya ke arah lingkaran. Lèker pemain yang terlempar paling jauh, dialah yang memulai pertandingan.
****
Matahari surut di balik rimbunan bambu. Mega merah muncul setelahnya. Suara qiraah yang menandai akan masuknya waktu Maghrib mulai diputar di speaker masjid dan terdengar sayup-sayup. Segerombolan burung pipit terbang pulang ke sarang setelah seharian singgah di tanaman padi petani. Para emak dan bapak berjalan terburu-buru di pematang sawah, bergegas pulang juga setelah seharian menunggui sawah mereka dari serbuan burung pipit.
Melihat burung-burung dan para emak-bapak itu suka membuatku bingung sendiri. Kepada siapa aku seharusnya menaruh simpati? Burung itu makan padi petani, ya untuk makan. Tetapi mereka lebih sering diusir oleh petani dan orang-orangan sawah sebelum sempat mematukkan paruhnya ke biji-biji padi. Berpindah ke sawah berikutnya pun sama. Mereka akan makan besar hanya saat sawah sedang tidak ditunggui petani. Bagi para burung, orang-orangan sawah tidaklah semenakutkan orang yang asli. Justru akulah yang takut dengan rupa mereka yang aneh.
Sedang bagi petani, padi-padi itu adalah penghidupannya. Emak dan bapakku saja menjadi sangat sibuk menjelang musim tanam. Dan aku berpikir kesibukan mereka selesai ketika musim tanam usai. Nyatanya emak dan bapak harus menyiangi rumput liar, menebar pupuk dan menunggui padi yang mulai menguning dari serbuan burung pipit.
Ah, emak! Aku jadi teringat dirinya dan sudah melanggar aturannya untuk pulang sebelum petang. Segera terbayang wajah marahnya akibat ulahku. Aku bergegas memberesi lèker dan mengajak Mat Pi’i pulang. Ya, aku harus pulang dengan Mat Pi’i agar setan-setan tak menculikku. Lagipula, sebab Mat Pi’i lah dua kantong celana ku penuh dengan lèker. Aku menang, Emak harus tahu.
Kerikil yang Tak Punya Teman
Aku rasa, sekali-kali emak harus ikut aku main lèker dan bermain hingga petang. Bukannya malah mengomeliku panjang lebar dan melarangku bermain dengan Mat Pi’i. Padahal jika emak mau sebentar saja mendengar penjelasanku, aku yakin ia akan sama bangganya dengan ku karena aku jadi jagoan baru petang itu. Sejak petang itu, tak ada lagi anak-anak yang meragukan kemampuan bermain lèker ku. Sayangnya Emak keburu marah dan memukul bokongku.
“Mat, kenapa kita harus pulang ketika menjelang petang? Benarkah setan-setan akan menculik kita jika tidak pulang?” tanyaku ketika kami menikmati berondong jagung selepas berenang di sungai. Kami duduk di pinggir sungai dengan kaki menjuntai ke dalam sungai, sedang ikan-ikan nener sesekali mencumbui kaki kami.
“Entahlah. Tapi aku berpikir segala sesuatu itu memiliki masa, Leh, seperti bapak dan emakku. Ada masanya datang dan pulang. Petang, manusia pulang ke rumahnya, dan gantian setan kelayapan.”
“Tapi bapak dan emakmu bukan setan, Mat,” sahutku teramat polos. Mat Pi’i tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya sampai butir-butir kecil jagung kunyahannya muncrat ke wajahku. “Lalu benarkah anak nakal yang tak bisa mengaji akan hilang, diculik oleh mereka?”
“Hilang yang kita yakini itu kan apa yang tidak terlihat oleh mata. Selama ada yang berpikir kau ada, sekalipun kau tidak nampak di mata, kau tetap ada.”
“Maksudnya?”
“Begini, selama kamu memiliki orang yang peduli padamu, yang menganggapmu ada, kau takkan pernah hilang, Leh. Tak benar-benar hilang.”
“Maksudnya?”
Mat mencomot kerikil yang berserakan di tempat kami duduk. “Coba liat apa yang terjadi pada kerikil ini ketika aku lempar ke dalam sungai,” ucapnya sembari melempar kerikil ke sungai. Plung! Kerikil nyemplung menyibak air dan perlahan tenggelam ke dasar sungai.
“Bagi mata kita, kerikil itu hilang. Padahal kan dia ada, di dasar sungai sana.”
“Lalu?”
Mat mendengus, menandaskan berondong jagungnya lalu berdiri dengan posisi siap, “Byurr!!!”, Mat menceburkan diri ke dalam sungai. Seolah menyusul kerikil tadi yang dilemparnya, tubuhnya melesat cepat menyibak air. Bak ikan tuna yang lepas dari tangkapan nelayan, ia makin dalam menyelam hingga tak terlihat sama sekali. Mungkin Mat sudah sampai di dasar sungai, sama seperti kerikil tadi.
Satu, dua, tiga, dalam hitungan jari yang biasa kami lakukan kala bertaruh siapa yang paling lama menyelam, Mat Pi’i tak muncul. Empat, lima, enam, juga sama. Tujuh, delapan… Loh, ini kelewat dari kebiasaan.
“Mat!!!” panggilku, mulai panik. Kutinggalkan berondong jagung yang masih sisa setengah dan turun ke tepi sungai. Di detik yang sama, ketika tubuhku baru menyentuh air, kepala Mat Pi’i nampak di permukaan sungai. Aku urung menyelam. Dia cengengesan melihat kepanikan dan rasa ingin menangis di wajahku.
“Sudah paham maksudku?” tanyanya, setelahnya. Aku menggeleng, sungguh tak paham apa yang barusan dia lakukan. “Kerikil itu sama seperti kita. Dianggap hilang oleh mata kita padahal sesungguhnya ia hanya tenggelam. Tetapi kerikil ya kerikil. Bukan kerikil bernama Abdul, Mat, Soleh. Ia pun tak punya teman. Ketika ia tenggelam, tak ada yang mengkhawatirkannya, tak ada yang memikirkan keberadaannya. Sementara aku punya teman, ketika tenggelam ada yang mengkhawatirkanku. Bahkan kau mencariku.” jelas Mat sembari menepi dan makan sisa berondong jagungku. Meski tak terlalu paham apa yang dikatakannya, aku merasa haru.
“Jadi ketika setan-setan itu akhirnya menculikku, kau mau mencariku kan, Mat?” tanyaku lagi, ingin kepastian dari Mat Pi’i yang banyak hafalan surat Juz Amma. Mat Pi’i mengangguk pasti.
“Mau kuberi tahu sebuah rahasia yang kudengar dari Mbah?”.
Aku mengangguk cepat.
“Setan-setan itu datang tidak hanya saat petang, ia ada setiap saat. Saat kau baru bangun tidur, mandi, makan, sekolah, bermain, mengaji, bahkan saat kau tidur lagi. Ia tak kasatmata dan merupa dalam tubuh kita. Kau tahu dari mana ia menemukan jalan ke tubuh kita? Lewat hati dan berwujud dalam perbuatan kita. Mbah bilang, setan itu merupa dalam banyak hal. Setan yang seperti itu yang bahaya karena ialah yang benar-benar menculik manusia.”
“Jadi manusia juga bisa jadi setan, Mat? Takutkah ia pada ayat-ayat Alquran?
“Jutsru mereka menghapalnya,”
“Loh, loh, kok aku ngeri ya, Mat. Lalu setan yang keluar saat petang, itu setan apa Mat? Di antara dua setan itu, mana yang paling kuat? Setannya manusia atau setannya setan?”
Mat menandaskan butir jagung terakhir ke mulutnya. Mengunyahnya tanpa berminat menjawab pertanyaanku.
Mega Merah yang Memerah
Sore di penghujung Mei itu masih kuingat dengan jelas. Puncak musim kemarau. Hawa panas dan gerah tambak garam yang terletak tak jauh dari madrasah, menyeruak ke dalam ruang kelas. Ustad Ahmad mengakhiri pelajaran Ilmu Tauhid dengan sebuah pesan bahwa tak ada kekuatan di muka Bumi ini yang bisa mengalahkan kekuatan Allah. Ia lalu menutup kelas dengan berderai keringat dan sedikit umpatan. Jalanan sepanjang madrasah menuju rumah, panas dan berdebu. Pohon kapuk meranggas, daun-daunnya gugur menimpa kami yang melintas di bawahnya.
Sore itu aku memutuskan untuk langsung pulang tanpa bermain lebih dulu. Kawanku, Mat Pi’i tidak masuk sekolah dan sudah pasti ia tak akan muncul di lapangan. Jujur saja, bermain tanpa Mat tidak menyenangkan karena anak-anak masih suka mengolokiku. Gelar jagoan lèker itu hanya berlaku ketika ada Mat. Selain itu aku kembali menjadi anak ingusan dan tak ada yang mau berteman denganku.
Sesampainya di rumah, ku lihat bapak sedang sibuk di halaman. Ada setumpuk bambu kuning di sisinya. Tangannya terampil menanam bilah bambu muda hampir di sepanjang pagar kayu. Di teras rumah, emak bersama para tetangga sedang berbincang cukup serius. Nampaknya bukan obrolan tentang tengkulak yang sudah turun ke kampung dan mencari petani yang mau menjual hasil panennya, bukan pula obrolan cabe, bawang merah, dan kebutuhan dapur.
Aku mendekat, mencuri dengar.
“Korbannya sudah banyak. Bukan hanya yang dituduh dukun santet tapi kalangan kiai juga kena. Ninja-ninja itu mengincar siapa saja,” Bi Rohmah berbicara dengan raut wajah yang menyiratkan kengerian pada tiga emak di hadapannya, termasuk emakku. “Aku ngeri yu, makanya aku dan suamiku langsung pulang dari acara besanan. Tak terbayang bermalam di sana dengan situasi seperti itu.”
“Itu baru di Jawa ya, yu. Lah yang sudah satu pulau, di dusun Krawu, guru ngaji, disabet clurit lehernya sama si ninja itu.” imbuh Bi Lastri sembari menirukan gerakan menyabet dengan tangannya.
“Tanem, tanem bambu kuning. Itu penangkalnya. Ya sudah, mega merah sudah mau muncul saya pulang dulu. Gak berani keluyuran menjelang petang. Anak-anak juga harus pulang dan dijaga biar tak main ke mana-mana.” Bi Atun pamit diikuti emak-emak yang lain. Seperginya mereka, emak menyuruhku masuk, mandi, makan dan nonton televisi. Anehnya lagi, emak memintaku libur mengaji dulu.
Ku tatap mega merah yang memerah. Ada perasaan tak nyaman melihatnya setelah sekian lama aku mengabaikan keberadaannya. Apa sejak awal ia memang semerah itu warnanya? Kenapa aku tiba-tiba seperti melihat mata merah seorang iblis atau pendosa dalam sampul komik siksa neraka? Merah yang ganjil dan mengganjal.
Di saat yang bersamaan, kosa kata yang baru kudengar terngiang-ngiang di kepalaku. Korban, dukun santet, kiai, guru ngaji, disabet, clurit, ninja, bambu kuning, mega merah, petang. Tapi di antara kosa kata tadi, kata ninja yang paling menggangguku. Siapakah dia? Apakah ia ninja yang sama seperti ninja yang kulihat di TV. Jika iya, mengapa ia harus membunuh orang? Bulu kudukku berdiri, merinding oleh sesuatu yang tak ku pahami. Aku bergegas masuk ke rumah dan segera menyalakan televisi untuk mengalihkan dari kesan mega merah yang kulihat tadi dan kosa kata yang memenuhi kepala.
Malam yang Merah
Sesungguhnya manusia takut pada kematian bukan karena takut bertemu malaikat Izrail sang pencabut nyawa, malaikat Munkar dan Nakir yang akan banyak bertanya di alam kubur. Manusia takut pada dunia yang akan ditinggalkannya, pada hal-hal bersifat duniawi yang selama hidupnya dicari tak henti. Orang-orang di kampungku merasakan hal itu dalam beberapa hari terakhir, merasa dekat dengan kematian dan takut karenanya. Sebab anak-anak mereka akan menikah, baru masuk sekolah unggulan di kabupaten, benih padi baru saja ditabur, pohon mangga baru berbunga, hutang-hutang baru diperpanjang, uang-uang ditukar perhiasan emas, karapan sapi sebentar lagi, dan mereka sudah menaruh harapan besar pada hidupnya esok.
Tetapi aroma kematian yang disampaikan burung Kedasi petang itu membuat mereka gentar. Satu sama lain resah, menutup pintu rumah rapat-rapat, anak-anak dilarang ke luar menjelang petang hingga matahari terbit. Aktivitas warga kampung lumpuh kala malam hari. Jalanan kampung lengang, pos ronda kosong, masjid apalagi karena pengajian diliburkan dan tak ada salat berjamaah, warung makan dan toko-toko kelontong hanya buka saat siang hari.
Petang dan malam di masa itu menjadi sangat berbeda. Terasa lebih gelap dan panjang dari biasanya.
Ya, sebabnya tak lain adalah sosok ninja yang meneror ke kampung kami. Ninja yang aku maksud tidaklah seperti yang kupikirkan kemarin. Menurut cerita bapak, ia makhluk jadi-jadian. Pembunuh brutal yang memiliki kemampuan layaknya seorang ninja: beladiri, menyusup, dan menggunakan pedang. Barangkali ialah yang dimaksud Mat, manusia setengah setan.
Teror yang ia sebar lebih menakutkan dari pada sosoknya sendiri.
****
Sebenarnya aku, emak dan bapak baru saja terlelap ketika pintu rumah diketuk cukup keras dan suara gaduh seperti suara kentungan, teriakan, dan tangisan serta merta menyerang pendengaran kami. Bapak buru-buru bangun, disusul aku dan emak, membuka pintu.
Di depan pintu nampak wajah orang-orang yang kami kenal membawa obor dan bambu kuning runcing. Mereka menyampaikan pada kami, bahwa ninja telah datang ke kampung kami. Ia telah menjemput jiwa Mbah Taqim pada keabadian dan meninggalkan jisimnya dalam ketidakutuhan. Aku limbung mendengarnya, mbah Taqim yang sangat dihormati warga itu adalah mbahnya Mat Pi’i. Bagaimana kabar kawanku itu? Aku menyeruak dari pelukan emak. Kutanyakan kawanku itu pada mereka. Apakah ia baik-baik saja, di mana ia sekarang?
Tak sempat tanya itu keluar dari mulutku, aku tersentak dengan teriakan mereka. Takbir, amarah, takbir, seruan, takbir, umpatan, istighfar, takbir. Nyala api yang berkobar seolah melalap habis ketakutan yang selama ini menggentayangi mereka. Ketakutan itu telah berubah menjadi kemarahan dan keberanian. Ya, mereka telah terbakar emosi.
Aku ngeri melihatnya, sebab mengingatkanku pada mega merah yang kulihat kemarin dan gambar pada cover komik siksa neraka. Aku surut, kembali berlindung dalam pelukan emak dan menangis sejadinya.
*****
Malam itu, kampung kami hidup kembali, bahkan lebih hidup dari sebelumnya. Tak seorang pun yang tidur, semua terjaga: tubuh, jiwa, pikiran, dan kesadaran mereka. Obor menyala di mana-mana, warga turun ke jalan, menyelisik satu tempat ke tempat lain, suara pentungan mengiringinya bersama rapalan ayat suci Al Quran yang menggema di speaker masjid dan sebuah panggilan yang nyaris putus asa.
Panggilan itu seragam, meneriakkan satu nama yang sama. Mat Pi’i.
Ya, malam itu Mat Pi’i hilang saat warga menemukan tubuh Mbah Taqim sudah tak bernyawa di langghar (mushola) rumahnya. Bocah lelaki itu lenyap begitu saja dan tak seorang pun yang dapat menemukannya, bahkan jejak kehilangannya.
Upaya pencariannya tak membuahkan hasil. Mat tak ditemukan di mana pun mereka mencari. Warga mencoba berasumsi, menghibur pikiran mereka masing-masing bahwa mungkin saja saat kejadian Mbahnya terbunuh Mat memang sedang pergi. Sebagaimana ia yang biasanya, Mat yang misterius yang kadang melakukan hal nyeleneh atau luarbiasa yang tak pernah dilakukan anak sesusianya. Warga sungguh berharap bocah itu tidak sedang diculik, dibunuh atau yang terburuk, mengejar pelaku alias ninja yang membunuh mbahnya. Seperti yang dulu pernah ia lakukan kala Bapaknya tewas di tangan petugas.
Asumsi itu mereka yakini hingga pagi datang, hingga jenazah Mbah Taqim dikebumikan, hingga tahlil tujuh hari-tahlil 40 hari-tahlil 100 hari, hingga masuk musim panen dan tengkulak ramai mendatangi para petani, hingga tahun ajaran baru sekolah, hingga turnamen karapan sapi dimulai, hingga anak-anak beranjak remaja lalu menjadi dewasa, dan hingga kehidupan bergulir menjadi lebih baik.
Lalu orang-orang lupa bahwa pernah ada yang hilang di kampung kami, lupa bahwa pernah ada anak laki-laki bernama Mat Pi’i, lupa bahwa mereka pernah berharap anak bercodet di dahinya itu pulang. Mat Pi’i telah dilupakan oleh mereka tetapi tidak dengan ku. Selama aku berpikir ia ada, maka ia ada, begitulah dulu ia pernah berkata tentang sebuah kehilangan. Yang tak terlihat oleh mata, belum tentu ia tak ada.
Maka bagiku Mat Pi’i tetap ada dan hidup meski raganya tak kasatmata.